Minggu, 10 Juli 2011

Setelah Ruyati Dipancung

Foto indonesia.faithfreedom.org

Dewi Nova Wahyuni

Voice of Human Rights, 6 Juli 2011 

Prakarsa Rakyat, 7 Juli 2011
Majalah Potret, Edisi 47 Tahun 2011
Keberangkatan Ruyati dari Bekasi ke Arab Saudi bukanlah peristiwa alami.  Bukan pula pilihan bebas sebagai manusia.  Jika mengamati di kampung dan kota tempat para perempuan menjadi buruh migran, kita akan dihadapkan dengan 
sumber penghidupan lokal yang semakin tak kuasa menghidupi.

Ruyati binti Satubi dipancung di Mekkah, Arab Saudi, Sabtu 18 Juni 2011. Buruh migran asal Kampung Ceger RT 03 RW 01, Kecamatan Sukatani, Bekasi, Jawa Barat, ini dihukum mati dengan dakwaan membunuh majikannya, Khoiriyah Omar Moh Omar Hilwani, di Mekkah, 12 Januari 2010. Pembunuhan terjadi setelah bertengkar dengan majikan, karena keinginan pulang tak dikabulkan. Ruyati berangkat ke Arab Saudi untuk menjadi pembantu rumah tangga melalui Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) PT Dasa Graha Utama pada 2008.  

Sebelum eksekusi mati dilaksanakan, pada Maret 2011 Migrant Care menyampaikan perkembangan kasus ini ke pemerintah Indonesia. Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah meminta akses seluas-luasnya kepada Kementerian Luar Negeri Arab Saudi dan fasilitas pendampingan bagi Ruyati melalui dua nota diplomatik. KJRI kemudian mendampingi Ruyati dalam dua kali persidangan di Mahkamah Am (tingkat I) pada 3 dan 10 Mei 2010. Namun, pemerintah Arab  Saudi lebih mendengarkan suara ahli waris Khoiriyah Omar daripada hubungan diplomatiknya dengan Indonesia. Dan pemancungan perempuan yang menghidupi keluarga, merawat majikan, dan penyumbang terbesar devisa Indonesia itu tak terelakkan.

Setelah Ruyati dipancung, pemerintah berencana membentuk satuan tugas untuk melindungi tenaga kerja Indonesia di luar negeriyang terancam hukuman mat idan akan menempatkan atase hukum dan HAM untuk melindungi TKI. Pemerintah juga akan melakukan moratorium pengiriman buruh migran ke Arab Saudi.  Sedangkan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat memberikansantunan uang duka bagi keluarga Ruyati.

Pemancungan Ruyati juga membuat beberapa organisasi kemanusiaan seperti Imparsial dan Migrant Care mendesak pemerintah agar lebih menjalankan kewajiban dalam perlindungan dan penghormatan hak buruh migran. Amnesti Internasional  melaporkan peningkatan signifikan terkait jumlah eksekusi hukuman mati dan mendesak pemerintah Arab Saudi menghentikan pelaksanaan hukuman mati. Komnas Perempuan akan mengirimkan surat kepada Raja Abdullah dari Kerajaan Arab Saudi untuk meminta pengampunan atas beberapa PRT migran Indonesia yang terancam hukuman mati.

Upaya-upaya tersebut tidak mengubah fakta kegagalan negara melindungi warga negaranya. Jika perubahan benar-benar dijalankan, Ruyati akan menjadi martir bagi para buruh migran yang saat ini terancam hukuman pancung. 

Melampaui upaya-upaya tersebut,  realitas Ruyati sebagai perempuan PRT migran tidak sebatas hukum pancung. Ruyati, salah seorang dari ratusan ribu PRT migran, memiliki pengalaman hidup yang kompleks, yang pada bagian besar pengalaman mereka telah dikontruksi oleh sistem ekonomi politik dan tata hidup berbangsa-bangsa.  Antara lain, human security mereka sebagai perempuan telah dibuat mudah sekaligus rentan dalam proses migrasi, sejak di rumah, di kampung, di penampungan, proses keberangkatan, di negara tujuan, di rumah majikan, hingga kematiannya.  

Pasar yang Rakus
Keberangkatan Ruyati dari  Bekasi ke Arab Saudi bukanlah peristiwa alami. Bukan pula pilihan bebas sebagai manusia. Jika mengamati di kampung dan kota tempat para perempuan menjadi buruh migran, kita akan dihadapkan dengan sumber penghidupan lokal yang semakin tak kuasa menghidupi. Dari sektor pertanian hingga perikanan, dari  industri rumahan  hingga industri yang lebih besar.  Masifnya keberangkatan buruh migran ke negara yang lebih kaya, sebanding lurus dengan lemahnya dukungan dan perlindungan perekonomian lokal dan nasional. Sebagian buruh miran membuka kenyataan: “Jika ada kerjaan, upah layak di negeri sendiri, ngapain jauh-jauh ke Arab atau Malaysia?”  

Globalisasi, khususnya pasar bebas dan privatisasi, memakan rakus sumber-sumber penghidupan: Pertanian, air, perikanan, yang idealnya dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat. Kendali kesejahteraan dan derajat hidup tak lagi di tangan rakyat dan negara. Melalui berbagai kebijakan ekonomi dunia yang diikuti pemerintah Indonesia, kendali pindah ke pemilik modal kelas dunia. 

Sepintas, pasar bebas seperti memberikan peluang kerja yang lebih luas bagi warga perempuan, memberikan jalan pada hak dasar perempuan untuk bermigrasi dan mencari nafkah.  Namun, di sisi lain, pasar bebas yang kompetitif juga menginginkan jasa dan produk terbaik dengan modal serendah mungkin, antara lain melalui pengguntingan terus-menerus hak para buruh.  Bagi masyarakat di kampung dan desa yang dimiskinkan, menjadi buruh, apalagi PRT, apalagi perempuan, menjadi jawaban untuk mengatasi kemiskinan. Situasi yang diciptakan pasar bebas ini sekaligus memenuhi kebutuhan mereka terhadap buruh murah, minus perlindungan kerja, yang diinginkan pengendali pasar bebas.

Tak dapat dibayangkan bagaimana sistem pasar bebas akan berhasil bekerja tanpa topangan PRT di rumah-rumah mereka.  Siapa yang mengurus anak-anak dan rumah mereka, ketika para pemilik modal berkompetisi di luar rumah?

Jadi, bagaimana bisa terjadi kegagalan diplomatik pemerintah pada persidangan Ruyati? Apakah ini terkait kelemahan harga diri bangsa penjual buruh pada negara kaya pembeli jasa, yang darinya devisa Indonesia bergantung?

Buruh Migran, PRT Pula
Pasar bebas  terus bekerja menggunting hak-hak dasar buruh. Buruh yang dimaksud adalah jenis pekerja yang diakui keberadaannya, sehingga diatur melalui  undang-undang perburuhan. Buruh yang  diakui ini lebih memiliki ruang negosiasi untuk mengklaim hak-hak dasarnya. Namun, sebagian besar undang-undang perburuhan lebih menguntungkan pemilik modal daripada buruh. 

Oganisasi buruh industri di negerinya sendiri terus berjuang untuk mengklaim hak-hak dasar mereka. Perjuangan semakin berat jika buruh berada di negara lain atau menjadi buruh migran. Mereka memperjuangkan hak-hak perburuhan sekaligus hak-hak migran. Antara lain terkait adaptasi hidup di negeri orang, dokumen migrasi, dan diskriminasi hingga kebencian terhadap kaum migran. 

Daftar perjuangan dan kerentanan hidup di negeri orang  bertambah pada mereka yang bekerja sebagai buruh informal migran, antara lain PRT, sebagaimana dialami Ruyati. PRT di sebagian besar negara masih diposisikan sebagai buruh informal, yang belum diakui sebagai buruh, sehingga negara tidak mengatur perlindungan hukumnya. Akibatnya, posisi buruh migran informal ini, rentan dua kali, menjadi buruh yang dieksploitasi dan diambil keuntungannya oleh agen perekrut, majikan, pemerintah di negara asal dan negara tujuan. Mereka juga rentan berada dalam kondisi kerja yang buruk, bekerja melebihi jam kerja, dan dibayar rendah. Tiadanya perlindungan untuk mereka juga membuat mereka paling rentan dijadikan pekerja paksa dan diperdagangkan (trafficking).

Sebagaimana pada kasus Ruyati, publik tidak mendapat informasi banyak mengapa Ruyati ingin pulang sebelum membunuh majikan perempuannya? Bagaimana kondisi kerjanya? Apakah ia mengalami eksploitasi? Ini salah satu bukti begitu tertutupnya realitas PRT migran sebelum akhirnya divonis membunuh dan menjalani hukuman pancung.   

Ruyati yang Perempuan
Kerentanan Ruyati dan PRT migran yang lain untuk menghadapi kondisi kerja yang buruk juga terkait dengan jenis kelamin sebagai perempuan dan profesi PRT yang memainkan peran gender perawatan yang secara sebab akibat dikonstruksi sebagai peran gender perempuan.

Sistem budaya yang membagi peran gender perempuan di bidang reproduksi dan sosial, laki-laki di bidang produksi dan politik, berimplikasi pada cara keluarga, masyarakat, dan negara memberikan peluang pada perempuan dan laki-laki sejak anak-anak. Jika pekerjaan PRT di setiap belahan dunia dipenuhi buruh perempuan, ini produk sistematis dari ketimpangan peluang pendidikan dan keterampilan yang lebih minim diberikan pada warga perempuan.  Kondisi ini kemudian dimakan oleh kebijakan pasar  bebas untuk mendapatkan buruh murah, zero perlindungan, sehingga mudah dieksploitasi dari semua sisi. Termasuk kerentanan diperdagangkan untuk tujuan dijadikan buruh paksa atau komoditas industri seks.

Pada kasus Ruyati, level kerentanannya sebagai PRT lebih rentan dari sektor informal lain, semisal pedagang kaki lima atau pelayan restoran. Ini karena sifat pekerjaannya yang tertutup di dalam rumah, jam kerja yang tidak jelas, dan upah rendah karena PRT dianggap peran tradisional perempuan. Ditambah budaya Arab yang lebih tertutup dan represif terhadap perempuan. Semua itu berjalan tanpa pengawasan dan perlindungan publik dan negara.

Apakah pemerintah Indonesia sudah mengintegrasikan aspek gender ini pada setiap kebijakan terkait migrasi dan perburuhan? Ketimbang kebanggaan semu bahwa  pemerintah setiap tahun semakin banyak mengirim buruh migran perempuan dibandingkan laki-laki. 

Industri PRT Migran
Permintaan pasar bebas akan buruh murah minus perlindungan , telah menggeser tanggapan keluarga dan  masyarakat terhadap perempuan buruh migran.  Sepuluh tahun lalu masyarakat desa masih menggunjingkan perempuan yang jadi buruh migran, karena dianggap meninggalkan kewajiban sebagai istri dan ibu. Juga digunjingkan “entah apa yang sesungguhnya mereka kerjakan di luar sana”. Dulu guru-guru ngaji masih mengajarkan bahwa tidak baik menjadi buruh migran.  Hari ini, para suami mendorong istrinya, para orang tua mendorong anak perempuannya menjadi buruh migran. Juga para kiai. Tetapi dorongan itu tidak didasarkan pada penghormatan hak perempuan untuk bermigrasi dan bekerja, melainkan perempuan sebagai aset  pendapatan keluarga.  Tidak mengherankan di tempat asal PRT migran, masyarakat mulai menyambut lebih hangat kelahiran bayi perempuan dibanding bayi laki-laki.  

Sepuluh tahun yang lalu PRT migran bercita-cita mengumpulkan uang agar anaknya bisa kuliah. Hari ini para calo agen perekrut nongkrong di warung-warung depan sekolah, terutama menjelang masa kelulusan SMA. Banyak orang tua bilang, “Daripada kuliah ngabis-ngabisin uang, belum tentu nanti kerja layak upah layak, lulus SMA mending jadi TKW.” Sepuluh tahun yang lalu anak perempuan tidak kuliah karena kemiskinan dan diskriminasi prioritas. Hari ini anak perempuan sejak bayi diimpikan cukup menjadi buruh migran.

Apakah selain menikmati devisa dari perempuan buruh migran, negara mengkritisi pergeseran peran gender yang mempersempit cita-cita perempuan Indonesia?

Pemerintah Bisa Apa?
Pemancungan Ruyati adalah peristiwa kompleks dan kisah panjang tentang mengapa perempuan Indonesia menjadi buruh, migran dan informal pula, dan pada level terentan sebagai PRT.  Mempertimbangkan kompleksitas realitas tersebut, penanganannya tidak bisa disederhanakan hanya pada soal penghapusan hukuman mati atau perlindungan hak-hak buruh. Sedikitnya ada empat hal yang mesti dipikirkan oleh negara dan masyarakat, yaitu bagaimana sistem dan praktik kebijakan ekonomi, perburuhan, migrasi, dan bangunan gender untuk meningkatkan derajat hidup Ruyati dan PRT migran yang lain.

Ruyati  dipancung tanpa perlindungan adalah setitik dari jutaan titik akibat, ketika pasar bebas yang rakus diterima begitu saja oleh negara dan bangsa-bangsa. Ada sekian banyak Ruyati yang telah gugur dan sekian Ruyati yang terancam hukuman mati. Seberapa pemerintah punya daya dan harga diri untuk mengurus sekian persidangan yang mengancam nyawa warga negaranya? Seberapa intervensi ini efektif, jika sumber kerentanan warga atas tindak pemancungan tidak diubah?

Saatnya Indonesia mengevaluasi seluruh kebijakan ekonomi dan relasi-relasi kuasanya dengan lembaga keuangan dunia. Melakukan otokritik pada praktik liberalisasi ekonomi dan mencegah perjanjian dagang yang semakin membahayakan derajat perempuan sebagai PRT migran.

Ketika  pasar bebas meningkatkan permintaan akan buruh yang lebih murah, minus perlindungan, termasuk buruh migran, maka pemerintah Indonesia dan negara-negara tujuan harus mempermudah buruh mengakses migrasi yang aman dan membuat perjanjian melalui kerja sama antarpemerintah. Perjanjian ini mesti berpusat pada pemenuhan hak-hak buruh migran, antara lain masing-masing pihak mempermudah akses buruh untuk melakukan migrasi berdokumen. 

Semakin mempermudah akses migrasi berdokumen, semakin terlindungi hak para migran. Sebaliknya semakin sulit akses migrasi berdokumen, buruh akan jatuh pada cara migrasi sembunyi-sembunyi, bahkan penyelundupan. Cara migrasi seperti ini yang membuat buruh rentan diperlakukan sewenang-wenang oleh majikan, akibatnya berpengaruh buruk pada  hak-hak perburuhannya. Praktik korupsi dan biaya mahal untuk pengurusan dokumen migrasi yang dilakukan agen perekrut dan petugas keimigrasian harus dihentikan.  Situasi sulit sering kali membuat calon buruh migran menempuh cara di luar hukum yang dianggap lebih murah dan cepat, padahal membahyakan pada proses migrasi selanjutnya.

Penting juga pemerintah membangun saling pemahaman budaya dengan negara-negara tujuan. Sehingga tidak ada pernyataan enteng pejabat negara merespons pemancungan warga negara oleh pemerintah negara lain. “Hukuman di Arab Saudi memang demikian adanya. Bila seseorang membunuh, pengadilan akan melaksanakan hukuman mati, jika keluarga korban tak memberi maaf, ” kata Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono, merespons pemancungan Ruyati.  Jika buruh migran terus-menerus diminta memahami budaya negara tujuan, tanpa ada dialog budaya dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, ini tak bedanya hubungan bangsa terjajah dan bangsa penjajah.

Pada aspek perburuhan, permintaan buruh migran dari negara tujuan harus direspons oleh pemerintah dengan permintaan perlindungan buruh pada negara tujuan. Aparat negara tak bisa lagi mengelak jika terjadi pelanggaran hak-hak buruh di negara tujuan bahwa itu urusan negara tujuan. Atau berlaku diskriminatif dalam perlindungan buruh migran yang tak berdokumen. Sikap seperti itu merendahkan kemanusiaan buruh migran di hadapan majikan dan pemerintah negara tujuan.  Penghormatan dan perlindungan terbaik untuk buruh migran mesti menjadi jiwa rencana pemerintah membentuk satuan tugas untuk melindungi TKI di luar negeriyang terancam hukuman mati, penempatan  atase hukum dan HAM untuk melindungi TKI, perjanjian yang akan ditandatangani pada tahun ini dengan Arab Saudi, dan kebijakan yang lain.

Kebijakan sesaat seperti moratorium pengiriman buruh migran ke negara tujuan, sudah pernah dicoba, dan pelanggaran hak-hak buruh migran terus berlangsung. Belum lagi pro dan kontra karena di Indonesia tak tersedia cukup lapangan kerja, jika moratorium dijalankan. Yang lebih prinsip dari moratorium adalah bagaimana membangun kedaulatan ekonomi lokal dan nasional, sehingga pencaplokan sumber daya lokal oleh pemodal kelas dunia tidak terus sebanding lurus dengan semakin tingginya ekspor buruh murah, minus perlindungan.

Terkait peran gender perempuan, pemerintah juga mesti mengkritisi tren migrasi dan perlakuannya terhadap buruh perempuan, terutama buruh yang tak diakui seperti PRT. Mengapa semakin banyak permintaan buruh migran PRT, bagaimana proses mereka bermigrasi dan menjadi buruh? Ke negara tujuan mana saja dan bagaimana negara tujuan memperlakukan gender perempuan migran kelas PRT? Apakah tren yang berkembang menghormati  kemerdekaan perempuan untuk bermigrasi dan bekerja, atau sebaliknya? Pemerintah mesti memperjuangkan jalan migrasi dan bekerja yang menghormati hak-hak perempuan.

Mempertimbangkan kompleksitas  realitas yang dihadapi Ruyati dan ribuan PRT migran yang lain, pemerintah tak mungkin mampu memperbaiki sendiri, apalagi dikerjakan bagian kecil dari departemen. Perlu duduk bersama antara pemerintah lintas departemen, sedikitnya dengan pihak yang kompeten dan memberikan perhatian di bidang sistem ekonomi yang pro rakyat, migrasi, perburuhan dan hak-hak perempuan. Merespons hanya dari satu sisi atau hanya oleh satu pihak berakibat pada penyederhanaan masalah kemanusiaan. Serupa tindakan penyembuhan gejala masalah, sedangkan akar dan cabang masalahnya terus dibiarkan melahirkan persoalan baru dari hari ke hari. (E3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar