Minggu, 10 Juli 2011

Berharap Damai untuk Semua

Foto sekitarkita.com
Dewi Nova Wahyuni
Voice of Human Rights, 2007



“Dengan membentuk peacebuilding commission, kita menunjuk determinasi mencegah konflik-konflik berulang dan memajukan rekonstruksi, pembangunan kelembagaan, dan pembangunan berkelanjutan. Tantangannya adalah meyakinkan upaya-upaya ini mencakup, dan meningkatkan, kehidupan sehari-hari baik perempuan maupun laki-laki.”  (Surat dari 14 menlu dan satu Commissioner Komisi Eropa kepada PBB Cq Sekjen PBB Kofi Annan & Presiden Majelis Umum Jan Eliasson) 

PERANG selalu memorak-porandakan tatanan kehidupan. Celakanya, kaum perempuan, ibu segala jenis manusia, yang paling menderita dalam dan akibat perang. Padahal, dalam setiap konflik bersenjata, kontribusi perempuan selalu dibutuhkan untuk turut bertempur di garis depan ataupun memberikan dukungan logistik dan menjaga keberlangsungan hidup keluarga yang ditinggal. Namun, saat masa damai dan reintegrasi tiba akses perempuan terhadap penikmatan atas pemulihan sosial, politik, dan ekonomi sering kali sangat terbatas.

Akses perempuan diabaikan karena perannya dianggap kecil. Juga karena cara pandang diskriminatif berbasis gender dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan reintegrasi. Perlakuan diskriminatif dilakukan pemerintah sebagai otoritas berwenang ataupun kelompok sendiri tempat berafiliasi atau berkontribusi.

Dalam konteks Aceh, upaya perdamaian antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditandai dengan kesepakatan damai (MoU) yang ditandatangani di Helsinki 15 Agustus 2005. Dalam perjanjian yang melibatkan Crisis Management Inititative (CMI) dan Uni Eropa sebagai mediator itu kedua pihak bersepakat membangun kepercayaan dan upaya damai menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat.

Perjanjian itu itu antara lain menyepakai pengaturan keamanan berupa demiliterisasi, perlucutan senjata, reintegrasi GAM ke masyarakat, dan pembentukan Aceh Monitoring Mission (AMM) untuk memantau pelaksanaan kesepakatan damai.

Dalam hal penegakan hukum, MoU mengatur pemenuhan hak sipil-politik dan hak ekonomi, sosial, budaya, sistem peradilan yang menjamin kesetaraan dan keadilan dalam hal access to justiceSedangkan untuk menangani pelanggaran HAM akan dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

MoU juga menjamin amnesti bagi seluruh anggota GAM dan program-program reintegrasi yang merupakan upaya memulihkan relasi sosial antara masyarakat sipil dan kombatan ataupun nonkombatan GAM.

Sejauh mana perempuan Nanggroe Aceh Darussalam dapat mengakses dan mengontrol kesepakatan-kesepakatan dalam MoU? Sejauh mana kebutuhan dan kepentingan spesifik perempuan Serambi Mekah dipenuhi?

Dalam Pusaran Konflik
Merefleksikan pengalaman perempuan Aceh, setidaknya terdapat empat kondisi akibat konflik bersenjata. Pertama, perempuan menjadi kombatan. Kedua, perempuan ditinggalkan keluarganya untuk berperang --kelompok ini ada yang tinggal di komunitas asal dan di pengungsian. Ketiga, perempuan menjadi tahanan politik. Keempat, perempuan menjadi korban penyiksaan oleh pihak-pihak yang berkonflik dan menjadi janda karena suaminya meninggal akibat konflik. Celakanya, seorang perempuan dapat sekaligus mengalami semua kondisi tersebut.

Konflik bersenjata mengakibatkan laki-laki yang berperang bergantung banyak pada perempuan yang ditinggalkan. Mereka menggantungkan sebagian bantuan logistik dan transportasi pada perempuan yang bertahan di komunitas. Demikian pula keberlangsungan hidup keluarga yang ditinggal, nafkah sehari-hari, serta pemenuhan pendidikan dan kesehatan. Akhirnya banyak perempuan berperan sebagai kepala keluarga. Karena perannya sebagai penopang kelompok bersenjata dan posisinya yang tinggal di komunitas, perempuan kelompok ini rentan mengalami interogasi, penahanan, dan penyiksaan oleh pihak lawan.

Menurut pemantauan Komnas Perempuan dan enam organisasi perempuan di Aceh terdapat 34 perempuan tahanan politik, sebelum masa damai. Dari jumlah itu, 7 perempuan ditahan sebagai sandera agar anggota keluarga yang terlibat GAM datang dan TNI dapat menangkapnya; 6 orang ditahan karena dituduh menjadi anggota Inong Bale; 10 orang ditahan dengan tuduhan membantu GAM; 6 orang ditahan karena suaminya anggota GAM; 2 perempuan ditahan karena saudara kandungnya anggota GAM; 1 perempuan ditahan GAM karena suaminya anggota TNI; dan 2 perempuan ditahan GAM karena berpacaran dengan anggota TNI. Tujuan penahanan dan tindak kekerasan terhadap perempuan itu tidak terlepas dari upaya mendapatkan informasi keberadaan anggota GAM dan sebaliknya.
Para perempuan tahanan politik itu mengalami penyiksaan psikis, fisik, dan seksual. Penyiksaan psikis berupa ancaman ditembak, dipotong telinganya, disetrum, dan rumah mereka dibakar jika tidak memberikan informasi. Salah seorang diancam dengan ditunjukkan kain kafan sebagai ancaman kematian.

Penyiksaan psikis juga dilakukan dengan cara-cara berbasis gender, yaitu menyiksa anak di hadapan perempuan tahanan. Penyiksaan ini menyerang motherhood perempuan. Apalagi dalam konstruksi sosial kita, peran perawatan, pengasuhan, dan perlindungan hampir sepenuhnya dijalankan oleh ibu. Penyiksaan psikis juga berupa memperdengarkan penyiksaan sampai pembunuhan suami tahanan.
Kekerasan fisik berupa dipukul, diikat, kaki ditusuk bayonet, dijemur berjam-jam di bawah terik matahari, dan ujung telinga ditembak. Beberapa tahanan jatuh pingsan karena beratnya siksaan. Seorang perempuan menuturkan, dia direndam berjam-jam di dalam rawa yang banyak lintahnya.
Penyiksaan seksual merupakan metode penyiksaan untuk menyerang integritas perempuan sekaligus membuat mereka merasa bersalah dan malu, sehingga penyiksaan seperti ini sulit terungkap. Dari 34 perempuan tahanan politik, 5 orang mengungkapkan dipukul payudaranya, difoto saat tidur, dan diancam serta diperkosa.

Penyiksaan dan kekerasan berbasis gender tak hanya menimpa perempuan tahanan, tetapi juga menimpa perempuan yang tinggal di komunitasnya atau di pengungsian.
Tanpa konflik saja perempuan rentan mengalami kekerasan di level keluarga, komunitas, dan oleh negara. Situasi konflik bersenjata memperburuk kerentanan itu. Konsentrasi kelompok bersenjata di komunitas sipil, sweeping, proses interogasi memperkuat relasi tidak imbang antara sipil dan kelompok bersenjata serta perempuan dan laki-laki. Negara dan GAM juga memperkuat kondisi tersebut, karena tak pernah membuat aturan yang ketat terhadap para kombatan untuk menghindarkan penyiksaan dan kekerasan berbasis gender pada masa perang.

Dampak penyiksaan seksual membatasi kehidupan sosial korban. Korban menanggung pelabelan negatif dari masyarakat. Mereka akan diperlakukan sebagai perempuan yang tidak berharga lagi. Sebab, dalam konstruksi patriarkal, masyarakat tak peduli dengan cara apa perempuan mengalami penyiksaan seksual.

Temuan Komnas Perempuan menunjukan perempuan rentan mengalami penahanan dari kedua pihak yang berkonflik. Kenyataan ini mempertegas kenyataan kedua pihak sama sekali tidak mengakui integritas dan perlidungan HAM perempuan, kecuali alat konflik yang darinya mereka mengambil keuntungan baik dalam hal informasi maupun seksualitas.

Kekerasan dan penyiksaan terhadap perempuan terus-menerus dijadikan strategi dalam konflik bersenjata. Hal itu dipengaruhi cara pandang patriakal yang memosisikan perempuan sebagai milik kelompok dan laki-laki sebagai pemimpin kelompok. Karena itu, penghancuran tubuh dan jiwa perempuan dianggap penyerangan terhadap ego pemilik perempuan. Ideologi perempuan milik laki-laki juga membutakan pihak-pihak yang berkonflik terhadap independensi pilihan politik perempuan. Perempuan yang berpacaran dengan anggota TNI otomatis dituduh sebagai kaki tangan TNI. Demikian juga perempuan yang anggota keluarganya terlibat GAM dituduh sebagai Inong Bale. Akibatnya, perempuan yang berada dalam lingkaran pihak-pihak berkonflik rentan mengalami penangkapan, penahanan, dan penyiksaan dari pihak lawan.

Pemerintah juga tidak bisa menyangkal kenyataan konflik bersenjata di Aceh membuat perempuan menjadi janda karena suami tewas dalam peperangan. Beberapa desa di Aceh disebut ”kampung janda”. Namun, apa yang dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk memberikan dukungan kepada para perempuan malang itu untuk melanjutkan hidup di masa damai?

Pengabaian Hak Asasi
Melihat kondisi perempuan Aceh di masa konflik, terlalu banyak pengabaian dan pelanggaran HAM perempuan oleh pemerintah Indonesia ataupun GAM, dari penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pengabaian perlindungan terhadap tahanan politik, pemulihan segera para korban, dan tertutupnya akses korban untuk menuntut pelaku penyiksaan melalui proses hukum. Padahal, begitu besar pengorbanan perempuan Aceh.

Tidak semestinya melupakan kontribusi para perempuan itu. Menyangkal pemenuhan hak mereka di masa reintegrasi hanya menciptakan “perdamaian” diskriminatif gender. Bila yang diharapkan Aceh damai untuk semua warganya, perempuan dan laki-laki, maka kepercayaan tak cukup dibangun antara pemerintah Indonesia dan mantan GAM serta antara kombatan dan sipil, tetapi juga antara perempuan dan laki-laki. Perlu dipastikan Inong Bale, sebagaimana kombatan laki-laki, menikmati hak-haknya terkait reintegrasi.

Secara prinsip program reintegrasi memastikan para eks kombatan, perempuan dan laki-laki, mendapatkan kembali status sebagai masyarakat sipil, termasuk akses sosial, politik, dan ekonomi setara dengan anggota masyarakat lainnya.

Untuk memastikan Inong Bale menikmati proses itu, sebagaimana eks kombatan laki-laki, beberapa hal harus dikritisi. Di masa damai, perempuan eks kombatan sering diabaikan oleh kelompoknya, karena perannya tidak dibutuhkan lagi. Mereka juga menghadapi kebijakan dan perilaku diskriminatif gender dari pemerintah ataupun kelompoknya. Jadi, perlu dikritisi bersama, apakah Inong Bale mempunyai akses informasi dan kontrol yang sama dengan kombatan laki-laki terhadap setiap program reintegrasi. Apakah mekanisme yang dikembangkan pemerintah terkait reintegrasi telah memperhatikan kebutuhan spesifik dan kepentingan Inong Bale?

Pada masa reintegrasi semua eks kombatan perempuan dan laki-laki mesti mendapatkan akses sama terhadap hak-hak sipil, hak atas tanah, akses terhadap kredit, akses terhadap pendidikan dan lapangan pekerjaan, persiapan untuk menghadapi kesulitan-kesulitan terkait penerimaan masyarakat dan kerentanan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ketika kembali ke keluarganya.
Layanan pemulihan kesehatan untuk perempuan dan laki-laki mesti dibedakan. Kebutuhan layanan spesifik ini seperti pemulihan kesehatan reproduksi, keluarga berencana, pelayanan untuk kehamilan serta masa melahirkan, dan perawatan setelah kekerasan
enyiksaan seksual.


Untuk mengembalikan kehidupan ekonomi para Inong Bale, semua pihak dituntut peka terhadap kondisi khusus mereka sebagai perempuan angkatan perang. Kondisi di mana sebagian dari mereka berlatar belakang pendidikan rendah dan kurang keahlian karena selama masa konflik seluruh kemampuan ditujukan untuk berperang. Dalam melakukan program pengembalian kekuatan ekonomi mereka, baik oleh pemerintah maupun NGO, penting memperhitungkan kondisi khusus tersebut. Karena itu, selain kompensasi atau dukungan modal, dukungan untuk keterampilan melanjutkan hidup adalah hal mendasar. Pada prinsipnya program reintegrasi mesti peka terhadap problem psikologis dan keterbatasan perempuan akibat masa konflik yang mereka lalui.

Terkait proses kembalinya para perempuan itu ke masyarkat, perlu disadari bahwa mengangkat senjata dalam masyarakat kita masih dianggap peran maskulin. 
Peran Inong Bale dapat bertentangan dengan harapan masyarakat soal citra perempuan. Akibatnya, masyarakat bisa saja “iritasi” terhadap kepulangan Inong Bale, karena dianggap perempuan keras dan hanya tahu pegang senjata. Pemerintah dan NGO mesti memikirkan model-model sosialisasi reintegrasi sosial yang bisa membedah sampai pada persoalan citra gender itu. Demikian juga ketika mereka kembali ke keluarga, sehingga dapat meminimalisasi kerentanan mereka terhadap kekerasan dalam rumah tangga.

Dewan Keamanan PBB telah menyeru agar mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan khusus perempuan dan laki-laki eks kombatan dalam perencanaan penyerahan senjata (decommissioning), demobilisasi, dan reintegrasi.

Program pemulihan untuk perempuan korban penyiksaan dan kekerasan dari kedua pihak yang berkonflik harus menjadi agenda utama dalam reintegrasi. 
Pemulihan medis, psikis, ataupun sosial perlu memberikan perhatian khusus pada perempuan korban penyiksaan dan kekerasan seksual. Mereka sering ditolak atau didiskriminasikan oleh keluarga dan komunitas karena dianggap tidak suci lagi. Perilaku masyarakat yang meminggirkan korban penyiksaan dan kekerasan seksual membuat korban kesulitan dan tidak merasa aman untuk mengungkapkan pengalaman pahitnya. Kondisi tersebut kemudian menjauhkan perempuan korban terhadap akses pemulihan.

Pemerintah dan NGO perlu memikirkan mekanisme pemulihan yang membuat perempuan korban kondusif untuk mengadu dan mendapatkan pelayanan yang aman dan nyaman. Korban harus terlindungi kerahasiaannya dan mendapatkan pelayanan yang memenuhi standar medis dan psikologis. Selain itu, korban harus terbebas dari perilaku aparat pemberi layanan yang memungkinkan mereka menjadi korban kedua kalinya. Prinsip yang sama perlu diciptakan ketika korban memilih mencari keadilan melalui proses hukum. Dalam hal ini akan teruji sejauh mana Undang-Undang Perlindungan Saksi diterapkan oleh aparat hukum sebagai bagian integral dalam upaya menolak impunitas di masa reintegrasi Aceh.

Pentingnya menjatuhkan hukuman terhadap pelaku kejahatan dalam konflik diserukan pada Komisi Status Perempuan, Sidang Ke-48 Maret 2004, dalam partisipasi seimbang perempuan dalam pencegahan, penanganan, dan penyelesaian konflik serta pembangunan perdamaian pascakonflik. Dinyatakan, ”Komisi mengakui, pada saat laki-laki dan perempuan mengalami konsekuensi sering kali menjadi subjek bentuk-bentuk khusus kekerasan dan pengabaian. Komisi menyeru langkah-langkah mencegah kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak perempuan serta perdagangan manusia khususnya terhadap perempuan dan anak perempuan akibat konflik bersenjata dan dalam situasi pascakonflik serta menghukum para pelaku kejahatan semacam itu.”

Perempuan keluarga kombatan telah membantu logistik dan transportasi dan berjuang bertahan hidup bersama anak-anak mereka di komunitas.  
Namun, pada masa reintegrasi pemerintah sering kali hanya memperhitungkan eks kombatan dan abai atas kebutuhan keluarganya. Padahal, sebagian dari perempuan itu ditahan sampai berbulan-bulan di pos militer, sebagai sandera, dan menghadapi kondisi tidak aman, serta keterbatasan mobilitas dan layanan publik selama masa konflik. Kondisi tersebut dapat menurunkan derajat hidup mereka.

Jika kompensasi untuk pemulihan ekonomi hanya diberikan pada para suami eks kombatan, para perempuan akan menggantungkan good will kepada suami. Jadi, mesti dicari jalan keluar yang memastikan pemenuhan hak keluarga kombatan juga, termasuk memikirkan mekanisme pemulihan ekonomi untuk janda korban konflik.

Perdamaian untuk Semua
Program reintegrasi mesti menyumbang perdamaian tidak hanya di level kehidupan bernegara dan komunitas, tapi juga di level keluarga. Pemerintah ataupun NGO yang memfasilitasi program reintegrasi semestinya membaca kebutuhan dan kepentingan khusus perempuan dan lelaki. Juga mengenali perubahan relasi kuasa tidak hanya di level kehidupan bernegara dan komunitas, tetapi sampai level keluarga.

Kebutuhan integrasi gender pada masa damai diserukan Dewan Keamanan PBB melalui Keputusan 1325 tahun 2000. Diserukan agar seluruh aktor mengadopsi perspektif gender pada saat merundingkan dan melaksanakan perjanjian-perjanjian damai. Juga mengangkat kebutuhan perempuan dan anak-anak perempuan pada saat repatriasi, pemukiman kembali, rehabilitasi, dan reintegrasi.

Komisi Status Perempuan pada Sidang Ke-48 Maret 2004 juga menyerukan jaminan partisipasi perempuan dalam proses rekontruksi dan rehabilitasi, akses terhadap pelayanan-pelayanan sosial dan peluang-peluang pekerjaan seimbang bagi perempuan dan laki-laki. (E4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar