Minggu, 10 Juli 2011

Penjara Waria di Rumah Syariah

Foto cherrie.com.au

Dewi Nova Wahyuni

Voice of Human Right,  2 Maret 2010
Ourvoice, 4 Maret 2010

Kontes Waria di Banda Aceh pada 13 Februari 2010 menimbulkan reaksi keras dan penolakan beberapa pihak. Kontes pemilihan Duta Sosial dan Budaya Aceh 2010 dianggap mencemarkan Aceh dan tafsiran islami yang diusung pemerintah Aceh melalui pelembagaan syariat Islam.

Majelis Permusyawaratan Ulama yang harus dimintai persetujuan untuk setiap perlehatan publik, merasa kecolongan atas berlangsungnya kontes tersebut. Kepada Acehkita.com, Ketua Permusyawaratan Ulama Banda Aceh Teungku Kariem Syeikh menyatakan tidak pernah memberikan izin dan restu penyelenggaraan kontes itu. Teungku Karim berencana menuntut panitia penyelenggara yang dianggapnya telah merugikan lembaga ulama Banda Aceh.

Hal senada disampaikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Darmuda. "Kita juga mengecam dan tidak menoleransi digelarnya kontes waria. Apa pun alasannya, jelas bertentangan dengan mayoritas penduduk Aceh yang Islami," kata Darmuda seperti dikutip Republika.co.id. Raihan, koordinator mahasiswa, juga mengatakan kepada Acehkita.com, “Kita tidak mau ada waria dari Aceh yang dikirimkan dalam kontes waria di tingkat nasional. Kontes waria itu telah mencemarkan nama daerah Aceh.”

Waria sebagai bagian  kelompok minoritas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) adalah keluarga, sahabat, teman, tetangga, dan warga negara yang lahir dan hadir pada setiap masyarakat di dunia, termasuk di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penafikan terhadap eksistensi mereka, apalagi penghakiman mereka sebagai pencemar praktik berislam dan “ber-Aceh”, tidakkah melanggar hak-hak dasar kemanusiaan mereka? Bagaimana kita hidup beragama dan bernegara dengan menolak sebagian dari penganut agama dan warga negara? Kita yang heteroseksual memang berbeda dari LGBT, namun perbedaan ini tidak boleh dijadikan dasar untuk menekan dan mendiskriminasikan LGBT. LGBT sebagai bagian masyarakat dan warga negara perlu dipertimbangkan kepentingan dan kebutuhannya dalam menyepakati setiap kebijakan publik.

Prasangka Negatif
Sudah terlampau berat hari-hari yang dilalui LGBT. Pelabelan dan prasangka negatif masyarakat terhadap mereka mengakibatkan mereka rentan menghadapi tindak kekerasan dan diskriminasi, baik yang dilakukan oleh perseorangan, lembaga-lembaga berpengaruh, maupun negara. Masyarakat dan negara seringkali melanggar hak mereka karena mereka mengekspresikan gender mereka. Kita sering dengan sewenang-wenang menertawakan atau merendahkan laki-laki yang berpenampilan atau berperilaku perempuan. Di televisi, penampilan menyerupai waria bahkan dijadikan tayangan hiburan. Kita juga secara diam-diam atau terang-terangan mengambil jarak sosial dengan mereka, sehingga semakin luput upaya untuk memahami realitas mereka.

Lebih buruk lagi, praktik pelabelan terhadap mereka sebagai “jahat”, “menular”, “membahayakan” dapat membawa pada gagasan biadab mengenyahkan mereka dari “lingkungan aman hetero”. Pada tahap ini, biasanya kejahatan berdasarkan kebencian muncul di kepala  masyarakat dan negara. Di Banda Aceh, kejahatan serupa yang terekspose publik terjadi pada pasangan gay pada tahun 2007. Sekitar 14 orang menyiksa dan membawa pasangan ini ke kepolisian. Selama di kantor polisi, mereka juga disiksa, dipaksa telanjang, dan melakukan oral seks oleh aparat negara yang harusnya menegakkan hak-hak mereka sebagaimana hak warga negara yang lain. Apakah Majelis Permusyawaratan Ulama, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, dan mahasiswa pernah memberikan pernyataan publik bahwa tindakan masyarakat dan anggota Polri tersebut mencemarkan “ke-Acehan” dan praktik islami?

Ini masalah klasik yang terus menyerang warga minoritas. Masyarakat dan negara cenderung diam ketika secara terang benderang terjadi tindak kejahatan terhadap warga minoritas. Bukankah praktik seperti itu menyatakan persetujuan dan toleransi kita pada penyerangan hak-hak dasar LGBT? Di sisi lain, masyarakat dan negara sibuk membuat fatwa, aturan, imbauan yang membatasi identitas gender, orientasi seksual, dan kebebasan berekpresi mereka. Sungguh hal itu tindakan yang sia-sia, karena mereka hadir dalam realitas beragama dan bernegara yang kita jalani dan terutama tidak adil untuk mereka.

Kerena itu, gagasan-gagasan pembatasan dan pelarangan terhadap kehidupan LGBT penting ditinjau ulang. Majelis Permusyawaratan Ulama sebagai kiblat sosial, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, dan mahasiswa sebagai perwakilan warga Aceh, juga kita semua, perlu memikirkan ulang praktik beragama dan bernegara yang adil untuk semua. Bukankah tujuan syariah  untuk keadilan (al adl), kemaslahatan  (al maslahah), kebijaksanaan (al hikmah), berkasih sayang (al rahmah), menghormati keberagaman (al ta aduddiyah), dan menegakkan hak-hak dasar kemanusiann (al huquq al insaniyah)?  

Kewajiban Negara
Dalam hidup bernegara, Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi konvensi hak-hak sipil politik dan sosial budaya. Karena itu, negara wajib menghentikan praktik, peraturan, dan tradisi yang melanggar hak-hak dasar warga minoritas. Negara juga wajib membuat kebijakan yang menjamin hak-hak LGBT serta menyediakan infrastruktur perlindungan dan layanan untuk mereka yang mengalami diskriminasi dan tindak kekerasan.

Negara dan lembaga-lembaga kiblat sosial itu pun tak dapat bekerja banyak tanpa dukungan kita sebagai masyarakat. Mari pahami realitas LGBT dan membangun hidup bersama yang saling menghormati dan menyayangi. Buka mata, buka telinga, buka hati, di Banda, teman-teman LGBT ini pun telah berkontribusi dalam gerakan melindungi masyarakat dari HIV/AIDS. Juga dalam kampanye-kampanye antikekerasan berbasis gender.

Melihat fenomena ini, jaringan pekerja kemanusiaan di Provinsi Aceh dan seluruh Indonesia sudah saatnya bahu-membahu memberikan perhatian pemantauan terhadap realitas LGBT di Aceh untuk menumbuhkan kehidupan yang lebih adil dan aman bagi warga LGBT. Teman-teman LGBT teruslah berjuang mengekpresikan kepentingan kalian dan memahamkan kami –masyarakat, negara, lembaga berpengaruh - yang dominan hetero dan sering abai terhadap penegakan hak-hak dasar LGBT. (E4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar