Minggu, 10 Juli 2011

Layanan Kesehatan Masyarakat dan Pemulihan Korban Kekerasan

Foto: rilisindonesia.com
Dewi Nova Wahyuni
Voice of Human Rights, 27 April 2011

Layanan kesehatan masyarakat dalam skala kecil seperti posyandu bisa jadi ujung tombak perlindungan perempuan dan kaum transgender dari kekerasan seksual
  
Perempuan dan Transgender Korban Kekerasan
Dari Januari hingga Maret 2011, Radar Banten dan Tangsel Pos memberitakan tak kurang dari 19 kasus kekerasan  terhadap  35 perempuan. Kasus tersebut, antara lain kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pelecehan seksual terhadap anak perempuan. Dari 19 tindak kekerasan mengakibatkan kematian pada 3 korban. Pembunuhan dilakukan oleh pasangan ketika korban diketahui hamil di luar nikah, seorang mahasiswi UIN yang dibunuh rekannya, dan mayat perempuan yang terpotong kepala, kaki, dan tangannya yang ditemukan penduduk di Pantai Tanjung Pasir, Tangerang.  

Kekerasan yang dilatarbelakangi ketimpangan relasi kuasa perempuan dan laki-laki tersebut juga menyerang warga transgender. Mereka adalah waria yang mengekpresikan dan berperan gender  sebagai perempuan serta berorientasi seksual pada laki-laki. Berdasarkan pemantauan pemberitaan pada kedua media lokal tersebut, sejak Februari – Maret, setiap satu bulan diberitakan satu orang waria dibunuh.  Berdasarkan hasil pemeriksaan medis, terjadi aktivitas seksual antara korban dan pelaku sebelum pembunuhan terjadi. Pada kedua kasus tersebut, tindakan pembunuhan masing-masing dilakukan oleh 2 orang laki-laki. Dua dari 4 pelaku, adalah anak laki-laki yang masih pelajar SMP di Kota Tangerang. 

Terdapat beberapa benang merah yang menghubungkan rasa senasib sepenanggungan antara perempuan dan waria korban kekerasan. Pertama, kesamaan peran dan ekpresi gender yang mengacu pada peran perempuan. Peran perempuan ini yang pada sistem politik dan  budaya yang menganut heteronormatif sekaligus patriah membuat keduanya rentan mengalami kekerasan. Kerentanan lahir akibat sistem politik dan kepercayaan tata masyarakat yang mengunggulkan warga laki-laki dan memosisikan perempuan sebagai warga kedua. Warga kedua dalam hidup bernegara, warga kedua dalam praktek bermasyarakat, warga ke dua di rumah-rumah dalam hidup berkeluarga dan warga kedua dalam relasi intim antara perempuan – laki-laki. Warga ke satu memiliki priveleg lebih banyak untuk menentukan dan sebaliknya warga kedua. Termasuk menentukan hidup perempuan, seperti yang dilakukan Ahmad Gozali warga Tangerang, yang membunuh kekasihnya yang sedang hamil (Tangsel Pos, 4/2). Demikian juga yang dilakukan teman  laki-laki pada 2 warga transgender.  

Kedua, anggapan perempuan dan transgender yang berperan perempuan sebagai objek seksual laki-laki. Jika ditelusuri cerita kekerasan yang dialami warga perempuan dan waria, terdapat benang merah terkait kepercayaan masyarakat mengenai seks dan perempuan sebagai sasaran aktivitas seks. Akibatnya, sebagian besar pelaku kekerasan hingga pembunuhan terhadap perempuan dan waria adalah orang dekat yang mereka percayai. Orang dekat (suami, pasangan) yang idealnya memberikan rasa aman dan sayang yang terbaik dalam kehidupan paling intim mereka.  

Kepercayaan tentang relasi gender perempuan dan laki-laki, tentu bukan satu-satunya sumber kekerasan. Sebaliknya kepercayaan ini saling terkait dengan sistem politik dan ekonomi yang belum menghormati dan merawat derajat kemanusiaan perempuan dan transgender yang berperan perempuan. Sistem yang memiskinkan warga antara  lain juga  yang memperburuk situasi kekerasan pada warga perempuan. Laporan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Kabupaten Tangerang menyatakan jumlah KDRT tertinggi terjadi di area pantura yang merupakan kantong kemiskinan di kabupaten tersebut (Tangsel Pos, 19/3).

Di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, pemerintah Banten telah mengadopsi kebijakan nasional untuk mengembangkan pusat layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang bernama P2TP2A. Lalu apakah P2TP2A juga dapat membuka pintu layanan bagi warga transgender yang mengalami kekerasan berbasis gender sebagaimana warga perempuan?

Memahami Kesehatan Perempuan dan Transgender
Kematian adalah situasi terburuk dari peristiwa kekerasan, karena korban tak lagi punya kesempatan untuk mengklaim hak dasarnya pada negara terkait kebenaran, keadilan dan pemulihan. Meski mereka telah gugur tanpa pencegahan yang memadai, negara berkewajiban memenuhi hak kebenaran agar kasus ini diungkap dan hak atas keadilan melalui penghukuman pada pelaku. Bagi korban yang terselamatkan dari peristiwa pembunuhan, adalah kewajiban negara untuk juga memenuhi ke-3 hak korban tersebut. 

Sejak diberlakukannya SKB antar Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, Kepala Kepolisian RI tentang  Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Perempuaan dan Anak pada 2002, badan negara mulai mengembangkan layanan untuk korban. Kepolisian meningkatkan komitmennya untuk perlindungan perempuan korban kekerasan melalui pembentukan Unit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak)  dengan menempatkan polwan sebagai pemberi layanan pada perempuan dan korban kekerasan. Unit PPA ini tumbuh jatuh bangun, tetapi tak bisa mundur dari tanggungjawabnya sebagai  badan negara. Unit PPA idealnya menjadi pintu masuk untuk menjawab pemenuhan rasa adil korban melalui mekanisme hukum. 

Realitasnya peristiwa kekerasaan juga menyerang keseluruhan hidup korban, selain rasa adil, korban  mengalami kekerasan seksual, fisik dan psikis yang membutuhkan pemulihan kesehatan. Perempuan dan transgender yang mengalami luka-luka tubuh akibat serangan pelaku, membutuhkan perawatan medis dan pemulihan psikologisnya. Korban yang mengalami perkosaan, membutuhkan perawatan kesehatan dasar dan kesehatan reproduksi, termasuk pemeriksaan apakah perkosaan menimbulkan penyakit menular seksual, HIV/AIDS dan atau menimbulkan kehamilan (untuk perempuan biologis)? 

Pengalaman  korban tersebut juga menunjukan bahwa derajat kesehatan warga perempuan  tak terbatas dipengaruhi lingkungan yang sehat –air dan udara bersih yang memadai-, akses terhadap pengetahuan dan layanan kesehatan yang cepat, terjangkau dan menghormati persetujuan pasien. Derajat kesehatan mereka juga saling terkait dengan seberapa kondusif perempuan terbebas dari ancaman dan tindak kekerasan, termasuk otoritas perempuan terhadap tubuh dan seksualitasnya. Berangkat dari itu, alat ukur negara mengenai derajat kesehatan warga perempuan misalnya dari ukuran AKI (Angka Kematian Ibu), basis pengukurannya perlu diperluas pada analisa relasi gender dari para ibu tersebut. 

Pada sistem bernegara dan bermasyarakat yang masih berpusat hanya pada 2 gender perempuan dan laki-laki, kondisi lebih buruk dialami oleh gender ke-3 dan seterusnya. Akibatnya, perlindungan bagi waria korban kekeresan lebih diabaikan dibanding perlindungan bagi perempuan yang juga belum memadai. Hal itu juga menjadi catatan kritis kerangka layanan kekerasan berbasis gender baik di Banten maupun Indonesia keseluruhan. Seberapa konsep layanan dan perlindungan membebaskan diri dari nilai-nilai heterormativitas yang melanggengkan diskriminasi pada gender minoritas?
  
Berharap pada Posyandu 
Menyadari keterkaitan antara peristiwa kekerasan dan derjat kesehatan perempuan, maka pencegahan kekerasan dan integrasi pemulihan korban pada layanan kesehatan masyarakat tak lagi bisa diabaikan. Mekanisme integrasi layanan ini, dapat terwujud jika negara mempersiapkan para medis dan kader-kader kesehatan di masyarakat yang memiliki pengetahuan, keterampilan, kepekaan, dan responsif terhadap korban kekerasan. Di Pemkot Semarang, Jateng,  integrasi layanan ini mewujud dalam bentuk PPT (Pusat Pelayanan Terpadu). Dimana puskesmas menyediakan prosedur khusus untuk perempuan korban yang diterima langsung oleh konselor, untuk selanjutnya mendapatkan pemulihan psikis, perawatan medis dan layanan hukum dari kepolisian.  Dan ujung tombak layanan kesehatan yang paling dekat dengan warga adalah posyandu berserta kader-kadernya.  

Di Banten, pemerintah mengandalkan posyandu dan kader-kadernya sebagai mitra Puskesmas untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan masyarakat. Di Kelurahan Jatimulyo,  Pemkab Lebak melalui PNPM-MP (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan) mendorong posyandu untuk membantu menurunkan angka kematian balita, memerangi berbagai penyakit di masyarakat dan meningkatkan kesehatan ibu (Radar Banten, 12/2). Hal yang sama dilakukan Pemkot Tanggerang Selatan yang memosisikan posyandu sebagai garda terdepan pengentasan gizi buruk (Tangsel Pos, 21/2). Dalam hal upaya peningkatan kesehatan ibu, apakah pemerintah Banten telah menyadari dan membangun kesadaran kepada petugas kesehatan dan kader kesehatan tentang mengapa kesehatan perempuan umumnya rendah?  Bahwa ada soal realsi gender yang timpang perempuan – laki-laki yang mengakibatkan peran tradisional perempuan lebih berat. Juga ada soal hal akses dan kontrol perempuan terhadap layanan kesehatan lebih rendah, antara lain karena penyusunan kebijakan layanan kesehatan pada rencana pembangunan belum sepenuhnya melibatkan dan menjawab kebutuhan perempuan. Dan ada perilaku kekerasan berbasis gender pada masyarakat yang terus menerus memperburuk derajat kesehatan perempuan.   

Jika belum, inilah saatnya pemerintah Banten memperbaiki tanggung jawabnya pada warga perempuan dan transgender.  Tahun 2011 tahun yang tepat untuk meningkatkan komitmen, terkait beberapa pilkada  di pemkot/pemkab dan pemilihan gubernur yang sedang berlangsung. Integrasi pemulihan korban pada layanan kesehatan masyarakat mesti menjadi agenda utama peningkatan komitmen negara pada hak atas kesehatan seluruh warga tanpa mengabaikan perempuan dan transgender. Pengembangan pelayanan posyandu yang responsif korban sebagai ujung tombak kesehatan masyarakat, perlu didukung dengan peningkatan kapasitas bidan dan dokter di puskeskmas yang menjadi mitra mereka. Selain responsif dalam memberikan pemulihan bagi korban, posyandu juga dapat dijadikan agen pendidikan masyarakat untuk pencegahan tindak kekerasan, sebagaimana yang sudah mereka lakukan terkait gizi buruk, dll. 

Di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, pemerintah juga masih punya pekerjaan rumah untuk mengalokasikan APBD dan dukungan lain yang lebih baik bagi kinerja P2TP2A. Sehingga tak ada lagi alasan lemahnya layanan akibat kurangnya dukungan infrastruktur dari negara sebagaimana disampaikan P2TP2A Pemkot Serang (Radar Banten, 30/3). 

Perluasan mandat layanan kesehatan masyarakat yang mengintegrasikan pemulihan korban, saatnya diwujudkan dari tingkat RSUD, Puskesmas hingga Posyandu untuk meningkatkan derajat kesehatan warga perempuan secara menyeluruh. Tanggung jawab negara ini juga telah diatur melalui SKB 3 Menteri (2002), UU No. 7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dan UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Banten sebagai bagian Indonesia dan Indonesia sebagai anggota PBB juga berkewajiban menghapuskan kebijakan dan praktek yang mendiskriminasikan perempuan yang berakibat pada rendahnya derajat kesehatan perempuan. Negara juga wajib menjamin layanan kesehatan yang setara bagi  warga perempuan dan laki-laki. Dan negara wajib membuat kebijakan yang menjamin pemenuhan hak atas kesehatan yang adekuat tanpa diskriminasi gender, termasuk pada warga negara transgender. (E3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar