Minggu, 10 Juli 2011

Rehabilitasi Aceh di Simpang Jalan

Foto sunspiritweb.wordpress.com
Dewi Nova Wahyuni
Voice of Human Rights, 15 November 2007 

Program pembangunan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam harus berpijak pada kebutuhan masyarakat. Pembangunan yang dilakukan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh ternyata tidak berpengaruh terhadap perkembangan pasar ekonomi di provinsi itu.  

Dalam diskusi publik bertajuk "Mengawal Demokrasi Membangun Aceh Baru: Siapkah NGO Lokal?" di Banda Aceh, Rabu (14/11), sosiolog Imam Prasodjo mengatakan, masyarakat Aceh dituntut cepat merespons proses transisi yang kini terjadi. Masyarakat harus cepat meningkatkan kapasitas pengelolaan uang yang demikian berlimpah.

Bambang Ismawan, Direktur Bina Swadaya, mengusulkan pemerintah mengalokasikan dukungan dana bagi usaha kecil yang saat ini menyokong 90% perekonomian di Aceh. Komunitas internasional sebagai penyumbang terbesar bantuan telah sepakat memberdayakan kaum perempuan sebagai penyokong perekonomian. Kesepakatan ini seharusnya mendorong Pemprov NAD membuka peluang usaha yang lebih besar bagi kaum perempuan. 

Aktivis NGO yang juga pemerhati Aceh, Otto Syamsudin, mengkritisi langkah Pemprov NAD dalam merancang kebijakan yang terlalu besar memberikan peran bagi akademisi. Usulan rancangan kebijakan daerah seharusnya lebih banyak diserahkan kepada masyarakat biasa. "Ini berbahaya, karena mereka (akademisi) tidak terlibat di masa konflik dan reformasi. Cara  berpikirnya masih konservatif," ujarnya. 

Menurut Otto, secara politik masa stransisi ini dapat dijadikan peluang menata kehidupan Aceh yang lebih demokratis. Konteks Aceh sekarang menjadi penting, terkait gelombang bantuan uang yang akhirnya menjadi pusaran pertukaran kebudayaan. Aceh kini menjadi laboratorium pertemuan suku-suku dan komunitas internasional yang menuntut keterbukaan perubahan cara pandang masyarakatnya. (E1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar