Selasa, 19 Juli 2011

Persidangan Kasus Cikeusik: Diskriminasi Mengancam Keadilan

FOTO ANTARA/Asep Fathulrahman/Koz/pd/11. ANTARAFOTO


Dewi Nova Wahyuni
Voice of Human Rights, 20 Juli 2011
Kaskus, 28 Juli 2011
Cepathost.com, 28 Juli 2011
Prakarsa Rakyat, 28 Juli 2011

Pemusnahan sistematis dan berulang terhadap keyakinan kelompok minoritas akan mengancam kehidupan berbangsa. Kasus penyerangan Jemaat Ahmadiyah ujian independensi pengadilan Indonesia.


Pada  6  Februari 2011 sekitar 1.500  orang menyerang 20 warga Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Penyerangan yang disaksikan aparat Polri ini menewaskan 3 warga Ahmadiyah dan melukai 5 orang. Penyerangan yang terekam video amatir ini tersebar ke seluruh dunia, mempertanyakan kembali toleransi beragama di Indonesia yang populasi muslimnya terbesar di dunia.
Dari aspek penegakan hukum, pemerintah menyikapi kasus ini melalui pengadilan 12 terdakwa pelaku penyerangan di Pengadilan Negeri Serang. Pasal-pasal yang didakwakan terhadap mereka adalah pasal kekerasan terhadap orang/barang yang menyebabkan kematian, penganiayaan, kepemilikan senjata tajam, hingga pasal tentang penghasutan. Empat dari 12 terdakwa didakwa melakukan penghasutan. Perbuatan mereka diancam Pasal 160 KUHPidana dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara. Selain pasal penghasutan, empat orang itu didakwa melakukan kekerasan secara bersama yang mengakibatkan maut, sebagaimana diatur dan diancam Pasal 170 ayat (1) dan ayat (2) ke-3 KUHPidana dengan ancaman penjara maksimal 12 tahun. Jaksa menjerat 9 terdakwa yang lain dengan Pasal 170 ayat (1) dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun 6 bulan dan ayat (2) ke-3 KUHP dengan ancaman penjara 12 tahun tentang kekerasan bersama-sama yang mengakibatkan maut. Selanjutnya Pasal 358 ayat (2) KUHP mengatur mengenai turut serta dalam penyerangan atau perkelahian yang berakibat kematian dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun. Kemudian Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan dengan ancaman penjara maksimal 2 tahun 8 bulan. Juga Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12  Tahun 1951 tentang tanpa hak menguasai, membawa, mempunyai, atau menggunakan senjata pemukul, penikam atau penusuk, yang ancaman pidananya maksimal penjara 10 tahun.
Pada Juli 2011 jaksa menuntut para terdakwa paling lama 7 bulan penjara.Tuntutan yang rendah ini menjadi preseden buruk untuk menempuh keadilan melalui proses hukum bagi seluruh warga Indonesia, terutama mereka, penganut agama/keyakinan minoritas. Sebaliknya, tuntutan seperti itu membuka peluang lebih lebar pada perilaku melawan hukum, bagi warga yang  memilih diskriminasi dan kekerasan sebagai cara menjalankan hidup beragama.

Perlindungan Hukum Lemah
Peradilan memiliki keterbatasan untuk memenuhi rasa keadilan. Untuk merawat keadilan bagi setiap ragam keyakinan/kepercayaan, negara perlu menjalankan beberapa hal melalui kebijakan yang melindungi ragam keyakinan/kepercayaan, pencegahan tindak diskriminasi dan penyerangan serta pembunuhan terhadap penganut minoritas. Juga pemulihan menyeluruh bagi korban pasca-penyerangan.    
Karena sifatnya yang terbatas tersebut, proses persidangan dituntut mampu membaca konteks sosial politik, termasuk efek tuntutan jaksa terhadap masa depan hidup berbangsa. Karena itu, dasar tuntutan jaksa idealnya tidak terbatas pada berita acara pemeriksaan (BAP), apalagi dengan penggalian bukti pelanggaran yang lemah, yang mengakibatkan tuntutan hukuman yang rendah terhadap terdakwa.
Persidangan kasus Cikeusik ini bagian kecil kasus yang diproses ke persidangan dari banyak  kasus penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah yang pada beberapa tahun terakhir meningkat. Setara Institute melaporkansepanjang tahun 2010 Jemaat Ahmadiyah mengalami 50 pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Tahun-tahun sebelumnya Jemaat Ahmadiyah mengalami 15 pelanggaran (2007), 193 pelanggaran (2008), dan 33 pelanggaran (2009).Peningkatan kekerasan akan terus berlanjut, antara lain karena rendahnya hukuman terhadap penyerang dan sebaliknya hukuman yang lebih tinggi terhadap warga Ahmadiyah yang mempertahankan diri. Misalnya pada April 2011, Pengadilan Negeri Cibinong menjatuhkan hukuman antara 4 bulan dan 6 bulan penjara terhadap para penyerang dan perusak mesjid, sekolah, dan rumah warga Ahmadiyah di Desa Cisalada, Bogor. Sedangkan warga Ahmadiyah yang menusuk penyerang sebagai pembelaan diri dihukum 9 bulan. 
Apakah Pengadilan Negeri Serang akan mengulang preseden buruk sebagaimana dilakukan Pengadilan Negeri Bogor? Apakah polisi, jaksa, dan hakim akan terus mendengarkan suara warga yang tak ramah kepada minoritas dan terus menumbuhkan perilaku diskriminatif dan tindak kekerasan, ketimbang keadilan yang menjadi tanggung jawab mereka?

Siapa Menggugah Keadilan?
Tuntutan jaksa pada persidangan kasus Cikeusik terbukti rendah. Upaya pengadilan yang fair tinggal bergantung pada putusan hakim. Pembuktian, berikut prosedur peradilan yang lainnya, bukan satu-satunya landasan hakim untuk memutuskan penghukuman. Hakim juga wajib memperhatikan rasa keadilan masyarakat.
Sudah menjadi pengetahuan publik, cara kerja kelompok penyuka kekerasan selalu menggunakan kekuatan massa yang sewenang-wenang, baik pada proses penyerangan maupun pada saat para penyerang diproses hukum. Ketika sekian peristiwa penyerangan "dimenangi" melalui mobilisasi massa, mereka juga terus mempengaruhi persidangan dengan strategi serupa. Sementara itu, pengamanan di pengadilan belum berhasil mengantisipasi situasi tersebut, meski aparat keamanan sudah menghadapinya berulang-ulang. Di negara ini sungguh biasa menyaksikan ruang sidang di bawah tekanan massa. Situasi ini juga terulang pada pengadilan kasus Cikeusik. Walaupun Komisi Yudisial akan memantau sejauh mana imparsial proses pengadilan, publik tahu kehadiran  massa tersebut akan berpengaruh pada keberanian aparat hukum untuk menegakkan keadilan.
Hal itu terbukti dengan tekanan massa sebelum jaksa medakwakan tuntutan. Kalangan ulama Banten meminta tuntutan ringan terhadap 12 terdakwa yang telah menyerang dan membunuh warga Ahmadiyah. KH Muhtadi, pemimpin Pesantren  Raudatul Ulum, Pandeglang, meminta tuntutan ringan dengan alasan, “Saya mengikuti persidangan kasus ini sejak awal, dan saya melihat para terdakwa itu, terutama yang bukan dari Ahmadiyah memiliki tanggung jawab dan beban  untuk menghidupi keluarga masing-masing.” (Radar Banten, 8 Juli 2011).
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Tim Advokasi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Warga Negara, yang memantau proses persidangan, hingga Juni 2011 menemukan beberapa kelemahan pada proses persidangan. Antara lain dalam dakwaan jaksa tidak terdapat uraian mengenai konteks kekerasan berbasis keagamaan. Dalam hal ini jaksa tidak mengurai antara hasutan yang dilakukan Ujang, salah satu terdakwa, dengan tindakan brutal massa. Lemahnya uraian ini menghilangkan konteks kebencian berbasis keagamaaan dengan peristiwa penyerangan  dan pembunuhan. Hal itu yang selanjutnya mengakibatkan lemahnya tuntutan, sebagaimana penuturan anggota Divisi Advokasi Hukum Elsam, Andi Muttaqien. “Jaksa penuntut umum tidak maksimal dalam melakukan proses penuntutan. Karena Pasal 170 itu kan mereka ini kena pasal kekerasan terhadap orang yang berakibat maut. Itu maksimal hukumannya 12 tahun. Sedangkan jaksa dari proses persidangan ada yang menyatakan terdakwa memukul warga Ahmadiyah, sedangkan jaksa hanya sebentar memberikan tuntutan. Tujuh bulan itu jauh sekali dari hukuman maksimal,”kata Andi. (KBR68H, 7 Juli 2011)
Selain tekanan massa terhadap proses persidangan, sulitnya tuntutan dan putusan yang adil pada kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah bisa jadi terkait dengan keyakinan pribadi aparat hukum yang sejalan dengan pemikiran massa penyerang, yaitu menganggap keyakinan Ahmadiyah sesat. Anggota Komisi Yudisial  Bidang Pengawasan dan Investigasi, Suparman Marzuki, mengatakan, “Hakim tidak boleh hadir di persidangan dengan prasangka, dengan kecurigaan. Apalagi prasangka buruk terhadap siapa yang akan diadili, siapa yang menjadi terdakwa, termasuk dia harus mengesampingkan keyakinannya sendiri. Jadi, kalaupun dia membenci Ahmadiyah karena tidak sealiran dengan dia, itu dalam konteks keyakinan dia. Tapi itu tidak boleh mewarnai, mempengaruhi akal sehatnya, hati nuraninya didalam menyusun dan memproses persidangan itu, apalagi sampai putusan.”(KBR68H, 28 Juni 2011)
Berdasarkan pengalaman penanganan hukum pada kasus-kasus sebelumnya, agak sulit berharap putusan yang adil akan dihasilkan Pengadilan Negeri Serang. Namun, jika putusan yang rendah terulang lagi, maka aparat hukum secara langsung mencipta ruang kondusif bagi tindak kekerasan di Indonesia.

Independensi Pengadilan
Proses peradilan yang tidak fair dan putusan hakim yang belum memenuhi rasa keadilan, bukan satu-satunya kesulitan yang dihadapi warga Ahmadiyah. Sebelum persidangan digelar, bertahun-tahun warga Ahmadiyah menghadapi peristiwa kekerasan sistemis dan berulang.
Pada kasus kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Lombok, Nusatenggara Barat, Cianjur, Bogor, hingga Cikeusik, pola kekerasan dan penanganan negara belum berubah. Pada tahap penyerangan selalu melibatkan organisasi Islam radikal yang didukung fatwa MajelisUlama Indonesia bahwa Ahmadiyah sesat. Fatwa itu kemudian dilegitimasi pemerintah dan pemerintah daerah melalui penerbitan kebijakan-kebijakan diskriminitaif dan intoleran.
Praktik kekerasan dan kebijakan pemerintah saling menguatkan untuk memperburuk situasi warga Ahmadiyah. Hal itu tampak pada intensitas penyerangan tertinggi pada tahun 2008 (193 kasus pelanggaran) terkait upaya dan terbentuknya Keputusan Presiden tentang Pembubaran Ahmadiyah. Karena itu, argumen para pendesak kebijakan diskriminatif terhadap Ahmadiyah, yang senantiasa beralasan negara perlu mengatur atau membatasi Ahmadiyah untuk menjawab keresahan masyarakat, tidak pernah terbukti. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan tersebut terus dipakai untuk melegitimasi sikap intoleran mereka.
Catatan lain, merujuk cara penyelesaian kasus Cisalada dan Cikeusik, Polri memperlakukan peristiwa penyerangan menjadi bentrokan, yang mengakibatkan penghukuman terhadap warga Ahmadiyah yang diserang. Pada kasus Cisalada, warga Ahmadiyah bahkan dihukum lebih berat, yaitu 9 bulan, dibandingkan massa penyerang yang dihukum antara 4 bulan dan 6 bulan. Upaya penghukuman terhadap korban penyerangan terulang pada kasus Cikeusik. Pada 2 Maret 2011 Polri memproses Deden Sujana, warga Ahmadiyah, sebagai provokasi “bentrok”.
Seberapa berani pengadilan menjaga independensinya pada konteks praktik bernegara seperti itu? Jika berhenti merawat independensi, pengadilan akan masuk pada rombongan kekuatan negara dan kelompok penyuka kekerasan untuk memusnahkan ragam keyakinan, salah satunya Jemaat Ahmadiyah. Proses pengadilan dapat dijadikan tunggangan tambahan setelah kebijakan negara dan fatwa MUI bagi kelompok-kelompok yang menolak hidup bersama warga Ahmadiyah.
Pemusnahan sistematis dan berulang terhadap keyakinan minoritas yang dilanggengkan akan mengancam kehidupan berbangsa secara keseluruhan. Selamat memilih, para penegak hukum! (E4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar