Minggu, 10 Juli 2011

Perempuan di Kilometer Nol

Dewi Nova Wahyuni
Voice of Human Rights,  Desember 2007



Dua tahun sudah Qonun Syariat Islam diberlakukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Peraturan itu sebagai implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh, "hadiah" dari presiden saat itu yang juga perempuan pertama yang memimpin negara ini, Megawati Soekarnoputri.


Ironisnya peraturan itu dalam praktiknya justru menjadikan perempuan sebagai pihak yang paling dirugikan. Mulai dari pelarangan khalwat (mesum) yang lebih memberatkan hukuman bagi perempuan, sampai peraturan wajib jilbab yang hukumannya juga menjatuhkan martabat kaum Hawa. Peraturan berdasarkan hukum-hukum Islam itu antara lain qonun tentang larangan minuman keras, perjudian, dan berbuat mesum.

Lembaga hukum baru sebagai penopang pemberlakuan Qonun Syariat Islam pun satu per satu dibentuk. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), yang berperan memberikan masukan dalam menentukan kebijakan daerah terkait syariat Islam melalui fatwa hukum, adalah lembaga yang pertama kali dibentuk. Selanjutnya dibentuk Dinas Syariat Islam yang berperan menyiapkan qonun dan melakukan penyuluhan serta pengawasan.

Dalam menjalankan fungsi pengawasan, Dinas Syariat Islam membentuk wilayatul hisbah (pengawas wilayah, sering disebut polisi syariah). Selanjutnya proses penyelidikan dan penyidikan tetap dilakukan kepolisian dan kejaksaan. Sedangkan pengadilan pelanggaran qonun dilaksanakan oleh Mahkamah Syar'iyah. Peraturan berdasarkan hukum-hukum Islam antara lain qonun tentang larangan minuman keras, perjudian, dan berbuat mesum

Tahun pertama pemberlakuan qonun di Aceh mulai menunjukkan kesewenang-wenangan menggilas kebebasan perempuan. Menurut catatan Komnas Perempuan tahun 2005, dari total 46 kasus pelanggaran Qonun, 35 di antaranya mendakwa perempuan.

Meskipun prosedur penangkapan dan peradilan bagi pelanggar syariat Islam sudah diatur dalam qonun, pelaksanaannya juga menimbulkan pelanggaran hak perempuan. Penangkapan yang dilakukan wilayatul hisbah atau polisi syariah sering hanya didasari laporan masyarakat tanpa proses verifikasi. Contohnya penangkapan Yn (38) pada 15 September 2005. Perempuan warga Bireuen ini ditangkap masyarakat karena diduga berprofesi sebagai pekerja seks komersial. Yn kemudian diusir dari kampungnya tanpa penyidikan terlebih dahulu. Pada hari yang sama nasib serupa menimpa dua perempuan asal Bieruen. Mereka kebetulan berada di sebuah rumah dan di rumah itu didapati pasangan muda-mudi yang dituduh melakukan perbuatan mesum. Masyarakat dan polisi syariah kemudian menangkap tidak hanya pasangan yang dituduh berkhalwat, tapi juga dua perempuan yang tidak terlibat itu. Mereka kini menunggu keputusan Mahkamah Syar'iyah.


"Qonun semakin
mendeskriminaskikan perempuan."
(Dona, warga Lhoksumawe)

"Saya tidak setuju pemberlakuan Qonun Syariat Islam, karena membuat masyarakat semakin mendiskriminasikan perempuan," kata Dona, warga Lhokseumawe, Aceh Utara. Berdasarkan pemantauan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Aceh, sepanjang tahun 2005 dari 30 kasus penangkapan perempuan yang diduga melanggar Qonun, 28 penangkapan dilakukan oleh masyarakat. Beberapa waktu lalu di Sawang dan Krungmane, Aceh Utara, santri dari dayah (pesantren) melakukan razia busana dan "menjatuhkan hukuman" dengan menyemprotkan cat pada celana jins yang dikenakan perempuan. Tampaknya mengenakan celana dianggap tidak menggambarkan busana perempuan muslim. Di Aceh Besar, Mei 2007, sekelompok pemuda bahkan memaksa sepasang remaja yang ketahuan berduan (berkhalwat) untuk beradegan mesum dengan ancaman akan dilaporkan ke polisi jika menolak.

Beberapa kasus penangkapan yang dilakukan polisi syariah diperparah dengan melibatkan wartawan dalam penggerebekan. Hal itu jelas bertentangan dengan asas praduga tak bersalah, karena melakukan penghukuman dengan mempermalukan tersangka lewat publisitas media sebelum Mahkamah Syar'iyah memutuskan bersalah atau tidak.

Sebagai sosialisasi pemberlakuan syariat Islam, sampai hari ini polisi syariah sering melakukan razia pakaian muslim terhadap perempuan di jalan raya, tempat keramaian, bahkan hotel. Beberapa waktu lalu di jalan utama Bireun polisi syariah menangkap perempuan-perempuan yang dianggap belum memakai pakaian sesuai dengan aturan Islam. Padahal, para perempuan itu sudah mengenakan jilbab. Mereka diangkut dengan tiga mobil bak terbuka dan dibawa ke kantor polisi syariah terdekat. Praktik seperti ini menimbulkan diskriminasi terhadap warga perempuan dan bertentangan dengan undang-undang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Hukum cambuk sebagai salah satu bentuk hukuman atas pelanggaran qonun kali pertama dilaksanakan di Kabupaten Bireun, Juni 2005.Eksekusi hukum cambuk terhadap perempuan, yang dipertontonkan pada publik, membuka peluang hujatan dari masyarakat dan perlakuan diskriminatif lainnya. Bahkan, eksekusi hukum untuk tuduhan khalwat di Bireun yang mendesak terdakwa segera menikah agar terhindar dari hukum cambuk, menunjukkan semakin berkurangnya kebebasan perempuan dalam urusan perkawinan akibat pelaksanaan hukuman ini. Hal itu jelas bertentangan dengan Pasal 16 UU 7/1984 mengenai hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan dan hak yang sama untuk memilih suami secara bebas.


"Dari dulu masyarakat
Aceh menjalankan
syariat. Tapi dengan
qonun, masyarakat
jadi dipaksa."
(Yanto, warga Lhoksukun)

"Dari dulu masyarakat Aceh sudah menjalankan syariat. Tapi kalau qonun, masyarakat jadi dipaksa. Menurut saya, bubarkan saja qonun," kata Yanto, warga Lhoksukun, Aceh Utara. Berbagai kritikan mulai dilancarkan organisasi yang menolak qonun di ujung barat Indonesia itu. Gender Working Group (GWG), jaringan aktivis yang memberikan perhatian khusus pada masalah perempuan, dalam pernyataan pers peringatan Hari Perempuan Sedunia 8 Maret 2007, mengkritisi pemberlakuan Qonun Syariat Islam yang mendiskriminasikan perempuan. Tikar Pandan, komunitas budayawan Aceh, dalam jurnal tahunannya Jurnal Gelombang bahkan mengulas pemberlakuan Qonun Syariat Islam sebagai mesin yang menggilas kebudayaan masyarakat Aceh. (E1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar