Minggu, 10 Juli 2011

Apa yang Sudah Dijalankan Pemerintah NAD untuk Perempuan Korban?

Foto www1.harian-aceh.com
Dewi Nova Wahyuni

Pada suatu diskusi, Mutia –seorang pekerja kemanusiaan- di Desa Kuala Simpang Ulim, menyampaikan temuannya mengenai seorang ibu yang mengalami kekerasan dari suaminya. ”Kami bingung bagaimana membantu mereka, tanpa menimbulkan persoalan baru,” kata Mutia. Mutia bingung karena di satu sisi ia ingin membantu korban, di sisi lain berhadapan dengan penyikapan masyarakat yang masih menganggapnya aib, apalagi kekerasan itu terjadi dalam keluarga.  Selain itu, layanan infra struktur untuk korban pun belum tersedia. Belum ada Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kepolisian. Belum ada layanan kesehatan yang memberikan perhatian pada korban, baik di puskesmas maupun rumah sakit pemerintah. Apalagi layanan konseling untuk pemulihan korban. Agak sulit membayangkan layanan psikolog seperti di kota besar, tetapi upaya untuk membangun layanan konseling di tingkat gampong pun belum tergagas. Sejak tahun 2004, Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUP KDRT) disahkan, pemerintah belum juga memberikan layanan lintas sektoral yang memadai untuk korban.

Sementara Siti (bukan nama sebenarnya) mengeluhkan kondisinya yang tidak dapat memiliki anak lagi, sejak rahimnya diinjak-injak oleh TNI pada masa Darurat Militer. Saat itu, Siti sedang hamil dan akibat penyiksaan itu, ia mengalami keguguran. Selain kekerasan  yang terjadi di dalam keluarga, Aceh yang bersejarah panjang melalui konflik bersenjata, menimbulkan pekerjaan rumah yang banyak terkait penyiksaan yang menyerang perempuan selama konflik. Upaya-upaya pengungkapkan penyiksaan ini telah dilakukan oleh beberapa NGO perempuan dan NGO HAM di Aceh. Antara lain, sejak tahun 2003, RPUK, LBH APIK Aceh di Lhokseumawe, YPW di Takengon, PASKA di Pidie, Pekka di Bireun dan PHIA di Aceh Timur, bekerja sama dengan Komnas Perempuan, mendokumentasikan kasus-kasus kejahatan kemanusiaan berbasis gender sepanjang konflik. Temuan mereka telah disampaikan kepada Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan pada konsultasi nasional di Jakarta, 29 Juli 2004. Pada konsultasi itu, aktivis perempuan Aceh menyampaikan pengabaian proses hukum terhadap kejahatan tersebut. Dari 23 kasus perkosaan yang terlapor, hanya 1 yang diproses di Pengadilan Militer.

Konflik bersenjata dan tsunami mengakibatkan perempuan Aceh juga hidup di pengungsian. Di pengungsian, perempuan tidak hanya berhadapan dengan layanan publik yang terbatas, tetapi juga kekerasan, baik dari keluarga maupun komunitas. Pada tahun 2006, 21 perempuan pengungsi dibantu NGO perempuan dan Komnas Perempuan, telah bekerja keras mendokumentasikan diskriminasi dan kekerasan yang dialami perempuan di pengungsian. Mereka bekerja di 59 lokasi pengungsian di 15 kabupaten. Mereka mengungkapkan 191 kasus pelanggaran HAM perempuan: 38 kasus diskriminasi, 7 penggusuran paksa dan 146 kekerasan. Laporannya telah mereka sampaikan kepada  Otoritas NAD dan publik Aceh melalui dialog publik pada 27 Maret 2006 di Banda Aceh. Waktu itu, Gubernur NAD melalui tanggapan tertulisnya, antara lain mengusulkan melakukan sosialisasi UU PA, UU PKDRT dan perda pelaksanaan Syariat Islam. Sementara tanggapan MPU provinsi NAD antara lain, bahwa  mengawinkan korban perkosaan dengan  pelaku bukanlah tindakan yang sesuai dengan  penerapan Syariah Islam yang kaffah[1].  

Penafsiran dan penyalahgunaan terhadap pemberlakuan Qonun Syariat Islam juga, telah memperburuk kondisi kekerasan terhadap perempuan Aceh. Sepanjang tahun 2006, 3 orang perempuan Aceh mengalami hukum cambuk, 2 terkait khalwat dan 1maisir[2].  Yang disayangkan dari proses ini, mereka belum mendapatkan hak-haknya selama proses peradilan. Antara lain, tidak didampingi kuasa hukum. Dan proses pencambukan di depan publik yang memungkinkan mereka mendapatkan caci maki dari publik.

Sudah terlalu banyak potret buram kekerasan dan penyiksaan yang menimpa perempuan Aceh. Sudah banyak korban yang mengungkap pengalamannya. Telah 3 tahun lebih sejak laporan kekerasan disampaikan pada PBB.  Telah  1 tahun lebih, sejak Gubernur NAD mengusulkan untuk sosialisasi aturan terkait perlindungan korban kekerasan. Kemajuan apa yang sudah dinikmati perempuan korban?

Dalam hiruk pikuk rekontruksi dan reintegrasi Aceh, kita tidak boleh melupakan pentingnnya pembangunan infra struktur untuk layanan perempuan korban. Bagaimanapun ’Aceh Baru’ tidak akan ada, tanpa perempuan yang telah menjadi korban sekaligus penyokong masyarakat Aceh dalam sejarah sulit yang mereka lampaui.

Pada bulan Februari 2007, Kementerian Pemberdayaan Perempuan (PP) melakukan inventarisir potensi dan kemungkinan program kerja sama lintas sektor untuk meningkatkan upaya penanggulangan tindak kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).  Pada pertemuan ini, Wagub Muhammad Nazar menjelaskan, salah satu kebijakan yang akan dilakukan Pemerintahan baru Aceh adalah tidak ada lagi diskriminasi terhadap kaum perempuan dan anak-anak[3]Sudah harus secepatnya, pemerintah baru NAD mengkaji ulang regulasi dan kebijakan diskriminatif yang memperburuk kondisi kekerasan terhadap perempuan. Tanggung jawab ini, sudah diamanatkan kepada pemerintah sejak tahun 1984, ketika CEDAW (Convention Elimination on all forms of Discrimination Against Women) diratifikasi menjadi UU No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Demikian juga proses sosialisasi UU PKDRT  yang diusulkan Gubernur NAD, mesti dipercepat dengan pembangunan infra struktur dan kerja sama lintas sektoral yang sudah diamanatkan sejak tahun 2004.

Tidak akan berarti banyak Aceh Baru, pemerintahan baru tanpa disertai sikap responsif terhadap penanganan perempuan korban kekerasan. Kita bisa belajar dari pemerintah di provinsi lain yang telah lebih dulu mengupayakan perlindungan korban. Pada tahun 2006, sedikitnya 2 pemerintah daerah dan 2 pemerintah kota telah mengupayakan layanan terpadu. Pemda Lampung telah mengeluarkan perda No. 6 Tahun 2006 tentang Pelayanan Terpadu terhadap Perempuan dan Anak. Hal yang sama dijalankan Pemda Jawa Barat melalui Perda No. 5 tahun 2006. Sementara itu, Wali Kota Yogyakarta mengeluarkan regulasi sejenis melalui Peraturan Wali Kota No. 16 Tahun 2006. Di Bengkulu, melalui SK walikota Bengkulu No. 255 tahun 2006. Pemerintah Aceh juga dapat mensinergikan kebijakannya dengan peraturan di tingkat nasional, antara lain PP RI No. 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja sama dalam Upaya Pemulihan Korban KDRT.

Bulan ini, seluruh gerakan didunia yang memberikan perhatian pada perempuan.  Marilah kita berefleksi, melihat apa yang belum dan seharusnya segera kita lakukan untuk perempuan korban. Karena layanan dan keadilan yang telah menjadi hak mereka, tidak boleh ditunda lagi. Kalau tidak, kita semua akan menjadi pelaku kekerasan selanjutnya karena membiarkan kondisi buruk ini terus berlangsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar