Minggu, 10 Juli 2011

Kontroversi Qanun Jinayat: Rajam Bukan Jalan Damai Aceh

Dewi Nova Wahyuni
Voice of Human Rights, 
18 September 2009
Dokumen Pribadi




Mengapa dikeluarkan hukuman mati di provinsi yang sudah demikian banyak warganya terbunuh?

“Keceriaan masa kecilku berakhir ketika pulang sekolah mendapatkan mayat di depan rumah. Setelah MoU Damai, masa remajaku tertekan dikejar-kejar WH (Wilayatul Hisbah: petugas pemantau pelaksanaan qanun syariah Islam),” tutur seorang perempuan muda pada pelatihan peace maker di Aceh Tengah pada tahun 2007.

Sudah banyak laporan mengenai penyiksaan pada masa konflik bersenjata yang dipublikasikan dan dikonsultasikan dengan pemerintah Aceh dan pemerintah nasional, baik oleh LSM, ormas, maupun sesama lembaga negara seperti Komnas Perempuan dan Komnas HAM. Namun sejak sejak kesepakatan damai Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia tiga tahun lalu, belum juga terwujud pemulihan yang sistemik-holistik bagi korban konflik, pengadilan HAM terhadap pelaku penyiksaan, dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Alih-alih mengutamakan ketiga poin penting itu, pemerintah justru mengedepankan pengesahan qanun jinayat (hukum pidana materil) yang kontroversial.

Penyalahgunaan Wewenang
Qanun jinayat kontroversial karena peningkatan jumlah hukuman cambuk atas tindak pidana, kemunculan hukuman rajam dalam sistem hukum Indonesia, dan perluasan cakupan hukum Islam ke jenis-jenis tindak pidana yang merupakan kewenangan hukum positif nasional. Qanun jinayat juga ditujukan untuk menyempurnakan tiga qanun sebelumnya, yaitu Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar (minuman yang memabukkan), Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum). Padahal, realitas menunjukkan pemberlakuan ketiga qanun sebelumnya menimbulkan tindak sewenang-wenang sekelompok orang dan memperburuk diskriminasi terhadap warga perempuan. Belum lagi penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan Wilayatul Hisbah dan Polri.

Dua persoalan tersebut sampai saat ini belum dapat diatasi oleh pemerintah Aceh dan pemerintah nasional. Artinya, pemerintah masih mempunyai PR melakukan refleksi, review, terhadap substansi dan pelaksanaan ketiga qanun sebelumnya. Namun, yang terjadi bukannya mengkaji ulang, malah mengesahkan hukum acaranya melalui Qanun Jinayat dan memperberat bentuk penghukuman sampai pada bentuk yang merendahkan kemanusiaan (hukum rajam). 

Bukan rahasia umum, efek pemberlakuan ketiga qanun sebelumnya menimbulkan tindak sewenang-wenang sekelompok masyarakat yang tidak pernah ditangani secara optimal oleh negara. Antara lain, remaja perempuan yang dipaksa beradegan mesum lalu direkam dengan kamera handphone dan diancam dilaporkan kepada Wilayatul Hisbah jika tidak bersedia; penangkapan oleh massa terhadap perempuan dan laki-laki yang bahkan tidak sedang berdua-duaan di rumah, yang kemudian dibawa ke musala dan disiksa sepanjang malam, lalu diserahkan ke Dinas Syariah dan terpaksa menikah untuk menghindari hukum cambuk.

Dokumen Pribadi


Peran Polisi
Apakah Polri mengusut tuntas dan membawa ke pengadilan para penyiksa yang memanfaatkan pemberlakuan qanun syariah? Apakah Dinas Syariat Islam melihat persoalan itu sebagai tidak islami dan harus dicegah dan dihentikan? Praktik razia busana muslim yang menyasar warga juga memperlakukan perempuan seperti penjahat, ditangkap di area publik, diangkut dengan kendaraan pick up. Dalam beberapa kasus para korban diarak berkeliling kota dengan kesengajaan untuk mempermalukan. Masyarakat juga tidak akan lupa pencambukan terhadap anak di Takengon, karena tertangkap sedang makan rujak dan ditafsirkan sebagai khalwat.


Dua hal yang memperburuk tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan di Aceh adalah ketiga qanun sebelumnya memungkinkan siapa pun untuk melaporkan siapa pun kepada Wilayatul Hisbah. Juga logika keliru masyarakat dan aparat negara bahwa jika atas nama syariat Islam, orang menjadi takut atau tidak berpikir untuk mencegah orang lain bertindak sewenang-wenang. Sungguh ini tafsiran terhadap praktik ajaran Islam yang paling menyedihkan!

PR Negara
Negara juga masih punya PR tidak hanya menindak kelompok masyarakat yang sewenang-wenang, tetapi juga kesewenang-wenangan aparatnya. Masyarakat Banda Aceh tidak akan lupa pada peristiwa penggerebekan pasangan gay oleh warga yang lalu diserahkan ke kantor polisi. Petugas Polri menyiksa kedua orang itu dengan memaksa berbuat mesum di kantor polisi. Banyak kasus menunjukkan Wilayatul Hisbah bekerja sama dengan media pada saat penangkapan yang bertentangan dengan asas praduga tak bersalah.

Pentingnya kaji ulang terhadap substansi dan pemberlakuan ketiga qanun sebelumnya sudah pernah dikonsultasikan Komnas Perempuan kepada pemerintah. Pegiat kemanusiaan di Banda Aceh setiap tahun pada peringatan Hari Perempuan Internasional juga menyampaikan hal yang sama. Demikian juga menjelang pengesahan Qanun Jinayat, berbagai organisasi kemanusiaan berupaya agar pengesahan ditunda sebelum ada konsultasi publik yang memadai. Jika pemerintah tidak mendengarkan suara korban, usulan pegiat kemanusiaan, Komnas Perempuan dan Komnas HAM, lalu dengan cara apa pembangunan-perdamaian di Aceh diwujudkan?

Sejarah konflik bersenjata mengajarkan pendekatan kekerasan dan non-dialog mereduksi kemanusiaan masyarakat Aceh dan bangsa Indonesia pada titik terendah. Saat ini Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan pemerintah nasional dengan ceroboh mengesahkan peraturan yang penghukumannya merendahkan kemanusiaan, bahkan mengabaikan pendapat pemerintah Aceh untuk mengkonsultasikan terlebih dahulu dengan publik terkait pelaksanaan hukum rajam.
  
Aceh yang sedang melalui pemulihan setelah konflik bersenjata, selepas tsunami, membutuhkan kebijakan-kebijakan yang lebih humanis dan partisipasi yang lebih luas dari warganya. Siapa pun tidak dapat sewenang-wenang membenarkan hal-hal yang mereduksi kemanusiaan atas nama sejarah kelekatan Islam dan adat Aceh.


Kesiapan Sarana dan Prasarana
Pemberlakuan hukum rajam juga bukan hal yang mudah dijalankan, sebagaimana penjelasan ulama karismatik Aceh Utara Abu Panton kepada Wakil Gubernur Aceh pada 15 September lalu. Untuk melaksanakan secara penuh hukum Islam itu, menurut Abu Panton, harus disiapkan masyarakat dan sarananya terlebih dulu. Misalnya, semua orang di Aceh harus sudah mempunyai sepeda motor dan mobil satu orang satu, telah sejahtera lahir dan batin, sehingga jika ada orang yang melanggar hukum jinayat, baru dilaksanakan hudud penuh. “Sekarang ini, dalam persiapan dan pembelajarannya, kita takzim dulu, kita harus ciptakan hukum lain ke arah hudud penuh. Hukum Islam itu dilahirkan bukan untuk membunuh manusia, hanya untuk menjaga manusia jangan terbunuh,” tegas Abu Panton. (http://www.serambinews.com/news/abu-panton-ingatkan-pemerintah-aceh).

Karena itu, untuk menghindari situasi yang lebih buruk, mari mendukung upaya organisasi- organisasi kemanusiaan, Komnas Perempuan, dan setiap pihak untuk mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang dijadikan landasan hukum bagi pengesahan qanun jinayat di Nanggroe Aceh Darussalam. Kita harus terus memperhatikan suara korban, mengurangi peluang orang menjadi pelaku kekerasan, menghasilkan kebijakan publik yang dikonsultasikan dengan baik dan saksama untuk Aceh baru yang lebih damai dan memberikan penghidupan yang lebih baik bagi warga. (E4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar