Minggu, 10 Juli 2011

Refleksi IDAHO: Mencinta dengan Pengetahuan

Perayaan IDAHO oleh Forum LGBTIQ Indonesia Region Jakarta (Agustine)


Dewi Nova Wahyuni

Voice of Human Rights, 6 Juni 2011


Pengetahuan membantu kita untuk mampu mecinta sesama 

dengan lebih adil, respek, dan merawat kehidupan


17 Mei diperingati banyak orang di berbagai belahan dunia sebagai The International Day Against Homophobia and Transphobia (IDAHO) atau Hari Melawan Homofobia dan Transfobia Sedunia. Homofobia adalah perasaan dan sikap negatif yang ditujukan terhadap lesbian, gay, dan pada saat bersamaan terhadap biseksual dan transgender.

Perasaan dan sikap negatif tersebut ditunjukkan antara lain melalui sikap antipati dan prasangka buruk. Perasaan dan pikiran ini yang selanjutnya mendorong orang bersikap diskriminatif, bahkan melakukan kekerasan terhadap lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Sedangkan transfobia,  perasaan dan sikap negatif yang ditujukan kepada transgender. Di Indonesia, transgender dari laki-laki ke perempuan dikenal sebagai waria. Perasaan dan sikap negatif itu didasari oleh ekpresi dan identitas gender yang ditampilkan oleh warga transgender. Pada saat bersamaan mereka juga mengalami  homofobia dari orang-orang yang mengaitkan identitas atau ekpresi gender mereka dengan orientasi seks.

Pemilihan tanggal 17 Mei sebagai hari perayaan IDAHO ini merujuk pada sejarah perubahan cara berpikir ilmu kejiwaan terhadap LGBT, dari anggapan manusia sakit menjadi manusia adanya, sebagaimana manusia hetero, terutama setelah World Health Organization (WHO)  menghapus homoseksualitas  dari International Classification of Diseases pada 17 Mei 1990. Perubahan ini menjadi tonggak penting bagi penghormatan keseluruhan aspek hidup LGBT. Anggapan bahwa LGBT sebagai manusia ‘sakit’, telah membuat mereka terperosok dalam berbagai persoalan kesehatan, sosial dan politik, yang menghalangi mereka untuk menikmati kehidupan yang merdeka bermartabat. Anggapan semacam ini bahkan mengancam kehidupan mereka. Kisah Kirana berikut ini bisa mewakili pencabutan hak  warga LGBT berbagai belahan dunia.

Lari dari Rumah
Masih di bulan Mei, Kirana, siswi kelas 3 SMU, memutuskan untuk meninggalkan rumah. Melalui selembar surat yang dia tinggalkan untuk mamanya, Kirana mengabarkan kepergiannya terkait dengan perasaan cintanya pada Mira. Mama menangisi Kirana untuk berapa alasan. Kirana, anak bungsunya yang ia sayang, “apakah baik-baik saja di luar sana?” Mama juga malu pada tetangga, pada sesama ibu pengajian, “anak perempuannya, sudah sebulan belum kembali”.  Apalagi anak perempuannya pergi demi cinta sesama perempuan. Kirana sakit!?! Kirana berdosa!?! Tuntutan masyarakat pada peran keibuan, sebagai pendidik dan pengarah anak, menamparnya terus-menerus. “Kurang apa saya mendidik anak? Ini salah saya...,” tangis sang Mama.

Kirana pergi karena takut. Mira bukanlah kekasih pertamanya. Cinta pertama Kirana jatuh pada Lisa. Ketika keluarganya mengetahui hubungan Kirana dan Lisa, mereka memotong rambut Kirana dan melarangnya  untuk bergaul.  Itu tak boleh lagi terjadi, dan inilah yang membuat Kirana memutuskan untuk kabur. Kabur dengan segenap ketakutan. Dia tahu, keluarganya menganggapnya sakit dan berdosa. Dia takut ‘disembuhkan’. Kirana takut keluarganya akan memaksanya masuk pesantren untuk dipaksa bertobat, disembuhkan ala pikiran keluarganya. Atau... hal yang lebih buruk dari itu.

Sebelum kisah Kirana terjadi, telah banyak sejarah ‘penyembuhan’ yang melanggar derajat hidup warga lesbian. Penindasan tak terkira dilakukan keluarga karena mereka tidak, dan tidak mau, memahami kehidupan homoseksual. “Dipesantrenkan” adalah pengalaman pahit yang banyak dihadapi lesbian muslim. Sebagian dipaksa untuk melalui terapi dengan psikolog dan psikiater, yang sialnya tak tercerahkan dengan pernyataan WHO sejak tahun 1990 itu.

Sebut saja kisah Listi, yang diraba-raba seluruh tubuhnya sambil ditanya “terangsang atau tidak” oleh psikiater terkenal di Indonesia. Sebagian keluarga meminta anggota keluarga  yang lain untuk memerkosa mereka sebagai penyembuhan ekstrim dari homoseks ke hetero. Candra, misalnya, pernah diperkosa oleh gigolo yang disewa ibunya. Langkah penyembuhan semacam ini tidak akan pernah melahirkan kesembuhan, karena memang tidak ada yang perlu disembuhkan. Justru trauma pada warga lesbian akan timbul, akibat pengucilan, diskriminasi dan kekerasan yang merusak derajat hidup mereka.

Pemulihan  trauma dari tindak ‘penyembuhan’ paksa ini juga bukan hal mudah di Indonesia. Tidak semua lesbian punya akses untuk mendapatkan konseling.  Kalau pun ada, tidak mudah mencari psikolog dan pskiater yang memahami homoseksual sebagai manusia adanya. Menuntut ke muka hukum para pemaksa penyembuhan pun, bukan hal mudah. Yang lebih sering terjadi adalah penyiksaan di kantor polisi, karena aparat hukum tidak memahami apa itu homoseksualitas. Bahkan kemungkinan diceramahi hal-hal yang tidak perlu bisa terjadi, jika tak selektif memilih tenaga medis saat memerlukan perawatan kesehatan akibat luka fisik dan psikis dari perkosaan.  Linda, misalnya, pernah membatalkan pap smear, karena dokter yang akan melakukan pap smear menganggapnya keliru ketika ia berterus terang lesbian. Apakah keluarga dan masyarakat pernah memikirkan akibat dari apa yang mereka anggap ‘penyembuhan’?

Semakin Berpengetahuan Semakin Mampu Mencinta
Keluarga menjadi alasan utama penyembuhan paksa yang dihadapi warga homoseksual. Seperti yang diucapkan mamanya Kirana, “sebelum meninggal papanya Kirana berpesan, agar dijaga betul anak perempuan paling bungsu. Lha ini malah suka sesama perempuan.” Keluarga sering khawatir bagaimana jika anak perempuannya tidak menikah dengan laki-laki, tidak akan punya anak, bagaimana masa tuanya? Siapa yang akan merawat?

Tentu saja seribu satu kekhawatiran dari soal hidup sampai akhirat akan terus menekan keluarga, selagi mereka memaksakan cara berpikir heteronormatif kepada lesbian.  Heteronormatif adalah cara pandang bahwa gender yang diyakini benar terbatas pada perempuan dan laki-laki, dengan segenap sistem pendukungnya, antara lain, perkawinan perempuan – laki-laki untuk bereproduksi.  Heteronormatif ini juga yang berpengaruh pada penafsiran agama-agama, sehingga sedikit para penafsir beragama yang memberi ruang ‘tidak berdosa’ pada LGBT. Penafsiran agama ini yang membuat Mamanya Kirana sulit memahami dan menerima anaknya yang lesbian.  Dalam hal ini, Mamanya Kirana butuh bertemu dan menggali pengetahuan dari orang-orang yang ahli di bidang agama sekaligus memilih pendekatan yang humanis pada isu LGBT.  

Rupanya mencinta saja memang tak cukup. Kita tak akan mampu mencinta LGBT dengan cara berpikir heteronormatif. Kita butuh keluar dari batasan dunia perempuan dan laki-laki. Merasakan, memahami dan mengerti ragam ciptaan Tuhan selain perempuan dan laki-laki, selain perempuan yang berkehendak pada laki-laki dan sebaliknya.  Kita mesti berani menerima pengetahuan kejiwaan dari WHO yang merubah anggapan sakit pada LGBT menjadi manusia adanya. Di Indonesia, Departemen Kesehatan telah mengeluarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ), sebuah acuan profesi kesehatan jiwa dan akademisi di seluruh Indonesia, yakni PPDGJ - II (1983) dan PPDGJ - III (1993) yang menyebutkan homoseksualitas bukan penyakit kejiwaan.

Keberanian menerima pengetahuan baru akan mendekatkan kita pada realitas-realitas yang beragam. Pengetahuan LGBT sebagai manusia adanya, dapat membantu keluarga menerima anggota keluarganya yang lesbian tanpa beban bertanggung jawab untuk ‘menyembuhkan’. Dan itu bisa membantu mereka menyikapi anggapan tetangga dan lingkungan tentang anggapan sakit dan berdosa. Pengetahuan yang memadai juga melapangkan jalan untuk memahami ragam situasi. Kekhawatiran Mamanya Kirana, tentang  anaknya tidak akan berketurunan, sudah dijawab oleh beberapa pasangan sesama perempuan yang berkeluarga dan memiliki anak.  Pasangan-pasangan ini secara kreatif mengembangkan sistem keluarga yang, jangan dibayangkan apalagi dipaksakan dengan model keluarga hetero. 

Lukman, anak berumur 5 tahun yang dibesarkan pasangan sejenis Widi dan Nadin, tumbuh ceria dalam limpahan kasih sayang, dan bahkan mulai belajar dan memahami orang tua yang ia miliki sungguh unik dibanding orang tua umumnya. Kisah berpasangan dan menumbuhkan anak ini, antara lain untuk menyambung pada kegelisahan mamanya Karina. Realitasnya, sebagaimana perempuan hetero, sebagian perempuan lesbian juga memilih untuk tidak memiliki anak. Begitu banyak pilihan-pilihan hidup dari setiap orang. Semoga pengetahuan membantu kita untuk mampu mencinta sesama dengan lebih adil, respek, dan merawat kehidupan. (E3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar