Minggu, 10 Juli 2011

Hikayat Qonun dari Tangan Pertama

Dewi Nova Wahyuni
Voice of Human Rights, 2007
www.connexxcreen.com, 6 November 2007



APA kabar Aceh hari ini? Bagaimana kehidupan perempuan di daerah itu saat ini? Bagaimana praktik pemberlakuan Qonun Syariat Islam di wilayah bekas konflik berkepanjangan ini? Sembilan perempuan Aceh mencoba mencari dan memberikan jawaban melalui film. Ketiga film dokumenter itu ditayangkan pada peluncuran dan diskusi di Episentrum, Banda Aceh, 3 November lalu.

Film pertama Meuneunggui (berarti mode atau fashion) mengambil setting kota Lhokseumawe. Penonton diajak menelusuri pasar tradisional Aceh yang menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari. Pasar ini juga menawarkan busana perempuan seperti baju kurung, jilbab, dan, aha.... kaos ketat yang sedang digandrungi anak muda!


Selanjutnya penonton diajak menyimak beragam pandangan tentang fashion, khususnya busana perempuan terkait dengan pelaksanaan Qonun Syariat Islam. Bermacam pandangan dari berbagai kalangan terlontar. Pendapat para penjual baju, cowok-cewek bagu gede atau ABG, pemilik salon, perempuan tua dan muda, akademisi, hingga polisi syariah. Juga komentar para perempuan yang berkukuh tidak mengenakan jilbab serta konsekuensi dalam menjalankan pilihan "berani" tersebut di Serambi Mekkah.

Meuneunggui juga berhasil menangkap praktik sweeping busana muslim atas nama Syariat Islam oleh sekelompok laki-laki bersarung dan berbaju putih, yang belakangan merebak di Aceh. Film besutan Syfa, Rara, dan Lena dari organisasi Sepakat ini membantu memahami pro dan kontra praktik Qonun Syariat Islam, khususnya terkait busana perempuan.


Film kedua, Bungong yang artinya bunga, garapan Meina, Rida, dan Tata yang sehari-hari aktif menulis di Lapena. Film ini menyajikan sketsa kehidupan perempuan dan lelaki di Banda Aceh hari-hari ini. Kesibukan dan rutinitas para ibu dalam mengasuh anak, mencuci piring, juga melayani kebutuhan seks suami dibenturkan dengan suasana kedai kopi sebagai ruang bebas-merdeka para lelaki.

Bungong juga menonjok kesadaran dengan menampilkan kesaksian memilukan seorang perempuan berjilbab yang payudaranya diremas seorang lelaki tak dikenal ketika sedang bergegas di jalan raya yang sepi. Celakanya, peristiwa itu terjadi pada waktu salat Jumat dan di Serambi Mekkah. Adegan ini menepis sebagian pendapat di film Meuneunggui bahwa perempuan akan dihargai jika menghargai tubuhnya (dengan berjilbab).

Film ketiga Bak Lon Kaloen, kurang lebih berarti kala aku melihat. Film ini mengajak penonton memahami praktik Qonun Syariat Islam dengan menggali informasi dari Wilayatul Hisbah (polisi syariah): apa tugas mereka, apa yang dikerjakan, prosedurnya, termasuk praktik razia jilbab? Juga Apa yang seharusnya mereka lakukan dan apa yang tidak boleh lakukan. Film karya Karmita, Sri Meutia (dari organisasi Sopan), dan Firah Ramadhiana (dari Lapena) ini membantu penonton memahami kewenangan Wilayatul Hisbah. Informasi ini penting, karena saat ini masyarakat sering kali tidak berani mengkritik atau melawan praktik kesewenang-wenangan Wilayatul Hisbah dan kelompok sipil lainnya, karena tidak cukup informasi terkait kewenangan dan ketidakwenangan para "penegak" Qonun tersebut.

Para perempuan muda Aceh pembuat film itu ingin mencatat dan mengabarkan kondisi perempuan Aceh mutakhir selepas konflik berdarah. "Saya ingin mengangkat kondisi perempuan Aceh saat ini, biar orang tidak melupakannya," kata Syfa yang menggarap Meuneunggui.


Sedangkan Karmita melalui film Bak Lon Kaloen berharap filmnya dapat menyemangati perempuan Aceh untuk mengubah peraturan-peraturan yang masih diskriminatif terhadap kaum mereka.



Dalam diskusi antara penonton dan pembuat film setelah pemutaran film, Tabrani, aktivis non-governmental organization (NGO) yang memberikan perhatian pada gerakan menulis perempuan Aceh, mengapresiasi pembuatan film dokumenter tersebut sebagai upaya positif untuk pemberdayaan perempuan Aceh. Namun, dia juga menyayangkan pengambilan gambar yang terlalu cepat, terutama pada bagian yang diberi teks.

Publik Aceh cukup antusias dalam mengapresiasi ketiga film dokumenter tersebut. Fery, salah satu penonton, memberikan masukan agar para pembuat film juga lebih tajam memberikan gambaran, pihak-pihak mana yang sebenarnya diuntungkan dan terbebas dari praktik Qonun Syariat Islam.

Penonton yang lain juga tertarik dan menanyakan proses penggarapan film itu. Ternyata tiga film itu dibuat dalam keterbatasan waktu. Ketiga film dipersiapkan hanya sekitar sembilan hari, sejak workshop pembuatan film, syuting, sampai editing. Selama sembilan hari sembilan perempuan dari tiga NGO ini mendapatkan asistensi dari Ragam Media Network, yang terdiri atas empat perempuan dan seorang laki-laki.

Diskusi berkembang menjadi mengharukan ketika para aktivis Ragam menyampaikan alasan memfasilitasi perempuan Aceh. Rupanya ini bukan sekadar soal membuat film, melainkan bagian dari perlawanan mereka terhadap dominasi laki-laki dalam dunia media. "Saya tujuh tahun kerja di dunia film, dan selama itu saya mengalami diskriminasi karena saya perempuan," kata Bibir yang sehari-harinya aktif sebagai camera person.


Mereka juga menuturkan suka duka di lapangan selama pembuatan film. Misalnya pelecehan yang dialami ketika sedang syuting. Bahkan, kamera mereka akan diambil paksa oleh sekelompok tentara (TNI) yang terlalu gede rasa (GR) mengira diambil gambarnya.


Dari segi teknis pengambilan gambar, kualitas suara, ketiga film tersebut memang masih perlu banyak perbaikan. Namun, dari sisi gagasan, layak mendapat acungan jempol. Inilah film pertama dari perempuan Aceh, kaum yang sering menjadi korban praktik Qonun Syariat Islam.


Apakah para perempuan Aceh pembuat film itu akan berhenti dan berpuas diri? "Saya ingin membuat film napak tilas Cut Meutia dan kehidupan perempuan di Desa Kuala Simpang Ulim, tempat saya bekerja," kata Syfa.
Kita tunggu saja kisah-kisah nyata dan mencerahkan lainnya dari tangan pertama, kaum perempuan yang sering menjadi korban peraturan agama dan negara, juga kuasa laki-laki. (E4)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar