Minggu, 10 Juli 2011

Memaknai Peran dan Memerankan Perempuan dalam Sektor Irigasi

antarafoto.com
Dewi Nova Wahyuni
Mandat Aceh, Juni 2008  
Pemulihan Paska Bencana( Bina Swadaya, 2009) 

Keterkaitan Irigasi dengan Kehidupan Perempuan
Ketika membicarakan irigasi pada forum formal, gagasan utama yang muncul biasanya pengelolaan irigasi untuk mengairi sawah, yang sepenuhnya dikelola oleh para petani laki-laki. Tetapi ketika kita mengamati penggunaan aliran irigasi, misalnya,  di Desa Baro Geunteu, Lhoong, Aceh Besar, kita menyaksikan ibu-ibu yang menggunakan aliran irigasi untuk mencuci dan memandikan anaknya.  Di beberapa desa, perempuan memanfaatkan saluran irigasi untuk ternak bebek, seperti di Desa Ujung  Baroh, Pemkot Lhokseumawe dan beberapa desa di Kecamatan Babah Rot, Aceh Barat Daya.  Di Desa Babah Lung, Blang Pidie, Aceh Barat Daya, ibu-ibu memanfaatkan saluran irigasi untuk keramba ikan tawar. Selain itu, mereka juga memanfaatkan saluran irigasi untuk menyiram kebun pekarangan. 


Cara perempuan memanfaatkan saluran irigasi, bukan faktor kebetulan, tetapi dipengaruhi peran gender yang dikontruksi masyarakat. Pada kebiasaan masyarakat Aceh, umumnya bidang-bidang pemeliharaan lebih banyak diperankan perempuan. Peran gender itu yang kemudian mengakibatkan pemanfaatan saluran irigasi lebih banyak diakses perempuan. Selain untuk mengairi sawah, laki-laki jarang menggunakan saluran irigasi untuk kegiatan seperti yang dijalankan perempuan, kecuali untuk mandi. Karena, mereka secara peran gender tidak dibebani peran-peran pemeliharaan –memandikan anak, mencuci, memelihara ternak, tambak dan kebun pekarang—sedominan perempuan.  Temuan-temuan tersebut menunjukan eratnya keterkaitan penggunaan irigasi dengan peran gender yang dijalankan perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan untuk pengairan sawah, pada prakteknya, perempuan dan laki-laki sama-sama berperan dalam pengelolaannya.

Mengapa Perempuan Belum Maksimal dalam Pengelolaan Irigasi?
Berdasarkan keberagaman perempuan dalam menggunakan saluran irigasi, sudah semestinya perempuan menjadi kelompok masyarakat yang diperhitungkan dalam pengelolaan irigasi. Tetapi pada kenyataannya, peran mereka belum maksimal. Hal itu antara lain terlihat dari rendahnya keterlibatan perempuan dalam Kelompok Petani Pengguna Air (P3A). Laporan Bina Swadaya tahun 2007 menunjukan perempuan yang menjadi anggota P3A baru 28,5 %.  Dalam kelompok tersebut, keterlibatan perempuan sebagai pengurus baru sebatas bendahara dan jarang sekali yang menjadi ketua. Secara umum akses dan kontrol perempuan dalam program irigasi sebagai berikut:

Sumber Daya Program
Akses
Kontrol
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perencanaan pelaksanaan program irigasi
Mengkases dan hadir pada pertemuan perencanaan program
sebagian kecil perempuan turut menyumbang pendapat
Memberikan pendapat dan turut memutuskan perencanaan
Pembangunan kontruksi irigasi
Sebagian kecil perempuan turut mengerjakan kontruksi saluran irigasi
Mengkases sebagai pekerja kontruksi saluran irigasi
Tidak turut menentukan
·      Untuk pola Local Competitive Bidding (LCB), anggota  tidak turut menentukan, karena dikelola kontraktor
·       Untuk kontruksi partisipatif, anggota menentukan, mendisain, dan membangun konstruksi melalui Sp3
Pemanfaatan dan pengelolaan pemanfaatan saluran irigasi
Mengkases untuk sawah, ternak itik, keramba ikan, dan kebutuhan rumah tangga: mandi dan cuci
Mengakses untuk sawah dan sebagian untuk mandi
Tidak turut mengatur pengelolaan pemanfaatan saluran irigasi
Mengatur pengelolaan pemanfaatan saluran irigasi
Peningkatan kapasitas untuk kelembagaan:
Admin, buku kas, dll
Pelatihan untuk peningkatan kapasitas ditujukan pada pengurus kelompok. Saat ini sebagian besar pengurus laki-laki. Karena itu, sedikit perempuan yang mengakses dan memanfaatkan hasil pelatihan dalam peranannya sebagai pengurus kelompok 


Rendahnya keterlibatan perempuan dipengaruhi cara pandang yang gagal memahami keterkaitan irigasi dengan kehidupan sehari-hari perempuan. Cara pandang ini  dipengaruhi budaya lembaga sosial yang eksis dalam kebiasaan masyarakat Aceh. Secara adat, pengelolaan air, diperankan oleh Kejruen Blang yang diperankan laki-laki. Cara pengambilan keputusan dalam Kejruen Blang ini juga ditentukan oleh tokoh dan perwakilan masyarakat yang pada prakteknya juga didominasi laki-laki. 

Kuatnya dominasi laki-laki dalam kehidupan berpolitik dan gagalnya memperhitungkan peran dominan perempuan dalam bidang pemeliharaan dan kesejahteraan masyarakat, nyaris menutup akses perempuan untuk terlibat dalam pengelolaan irigasi. Meskipun, akibat peran gendernya, perempuan memiliki pengetahuan yang beragam dan kaya terkait pentingnya saluran irigasi untuk keberlangsungan hidup masyarakat. Akibat terburuk dari situasi ini, program irigasi masih diutamakan untuk sektor persawahan, tetapi belum maksimal ditujukan untuk sektor layanan kebutuhan rumah tangga, ternak dan tambak. Padahal sektor non sawah tersebut menyumbang besar pada kesejahteraan  masyarakat. Gagalnya pemenuhan kebutuhan sektor tersebut, mengancam beban kerja yang semakin tinggi pada perempuan. Misalnya: Jika pengelolaan irigasi ternyata menutup atau mengurangi akses perempuan untuk mencuci atau memandikan anak, perempuan jadi bekerja lebih berat untuk mencari sumber air yang lain.          

Mengintegrasikan Peran dan Kebutuhan Perempuan dalam sektor Irigasi
Dua hal yang dapat dijalankan untuk mengintegrasikan peran dan kebutuhan perempuan dalam sektor irigasi, sebagai berikut: Pertama, memaksimalkan peran perempuan dalam Kelompok Petani Pengguna Air (P3A) baik secara jumlah maupun peluang mereka untuk turut mengelola dan menentukan program. Sehingga kebutuhan khusus perempuan terhadap saluran irigasi dapat tersampaikan dan diakomodir dalam perencanaan, pembangunan, pengelolaan dan pemeliharaan saluran irigasi. Untuk itu, dalam disain program irigasi, perlu dirancang penguatan kelompok untuk berbagi pengalaman, pengetahuan, keterampilan, dan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki. Proses penguatan ini, di satu sisi akan menumbuhkan percaya diri dan kapasitas perempuan untuk memasuki bidang politik (berkeputusan) yang secara kebiasaan dianggap bidang laki-laki. Di sisi lain, proses ini akan menumbuhkan kesadaran anggota laki-laki untuk mulai memperhitungkan pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan perempuan sebagai modal peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehingga mereka secara sadar mulai terbuka untuk berbagi relasi kuasa, berkeputusan dengan anggotan perempuan.  Kedua, merancang program irigasi yang memenuhi kebutuhan khusus perempuan terkait kebutuhan rumah tangga, ternak dan kebun pekarang. Pada  pengembangan selanjutnya proses ini meningkatkan akses perempuan terhadap bidang agrikultur, yang dapat dijadikan modal untuk pengembangan kelompok perempuan yang mandiri secara ekonomi dan politik.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar