Minggu, 10 Juli 2011

Penggusuran Paksa dan Dampaknya terhadap Perempuan: Catatan dari Lapangan

Foto bumibuton.blogspot.com
Dewi Nova Wahyuni
Seri Dokumen Kunci 7 (komnas Perempuan, 2006)

  1. Pengantar
Hak atas perumahan yang layak, sebagai penjabaran dari hak atas dasar kehidupan yang layak, merupakan salah satu unsur yang penting bagi penikmatan  keseluruhan  hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak ini tercantum,  antara lain dalam Deklarasi Universal tantangan Hak Asasi Manusia pasal 25 (1) dan UU No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pasal 11 (1).

Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Konvenan Ekosob memiliki kewajiban untuk memenuhi hak seluruh warga negaranya atas perumahan yang layak. Namun banyaknya kasus penggusuran di tanah di tanah air dewasa ini menjadi ancaman serius bagi pemenuhan hak tiap warga atas perumahan yang layak.

Tulisan ini berusaha memberikan gambaran awal mengenai kondisi penggusuran yang banyak  terjadi di Indonesia dan dampaknya terhadap perempuan. Tulisan diawali dengan pemaparan singkat tentang definisi penggusuran paksa serta kaitannya dengan pemenuhan hak atas perumahan, dan konsekuensi-konsekuensi yang harus dipenuhi apabila tindakan penggusuran tetap dilakukan. Kemudian akan dipaparkan  potret penggusuran paksa di Indonesia yang dilengkapi dengan data-data. Selanjutnya dibahas tentang dampak penggusuran paksa terhadap perempuan. Tulisan diakhiri dengan pemaparan tentang upaya yang telah dilakukan Komnas Perempuan dalam menanggapi kasus-kasus  penggusuran paksa  yang berdampak pada perempuan. Serta rekomendasi yang perlu dilakukan ke depan.
  1. Penggusuran Paksa dan Hak atas Perumahan
Penggusuran paksa (forced eviction) didefinisikan sebagai:

Pemindahan individu, keluarga dan/atau komunitas secara paksa (di luar kehendak)  dari rumah dan/atau tanah yang telah mereka tempati, untuk selamanya atau sementara, tanpa penyediaan atau akses pada prosedur hukum yang benar maupun perlindungan yang diperlukan.

Penggusuran paksa secara langsung melanggar hak tiap orang atas perumahan yang layak serta hak-hak yang tercakup dalam Konvenan Ekosob. Namun mengingat hak asasi manusia saling terkait, maka penggusuran paksa juga melanggar hak-hak lain, yang meliputi pula hak-hak sipil  dan politik.  Hak-hak tersebut antara lain  hak untuk  hidup, hak atas keamanan pribadi, hak untuk tidak dicampuri urusan pribadi, keluarga dan  rumahnya, serta hak untuk dapat menikmati harta bendanya. Secara tegas Komisi HAM PBB menyatakan bahwa praktek penggusuran paksa merupakan pelanggaran HAM berat. 


Oleh karena itu pemerintah wajib melindungi warganya dari tindak pengusuran paksa. Dalam memberikan perlindungan terhadap hak warganya untuk tidak digusur secara sewenang-wenang, Pemerintah memiliki kewajiban untuk.

-       Meninjau peraturan yang berlaku agar sesuai dengan standar internasional.  Negara harus menjamin bahwa peraturan yang ada  memadai untuk mencegah pengusuran paksa dan memberikan  hukuman bagi para pelakunya. Peraturan-peraturan tersebut harus memberikan jaminan keamanan untuk  menempati rumah dan tanah, selaras dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvenan Ekosob, serta dapat berfungsi untuk mengontrol keadaan apabila penggusuran paksa dilakukan.
-        Menerapkan prosedur perlindungan.  Penggusuran harus sebisa mungkin dihindarkan. Apabila terpaksa dilakukan, penggusuran harus menerapkan  prosedur perlindungan bagi warga tergusur, yaitu menyediakan kesempatan untuk melakukan musyawarah dengan masyarakat tergusur, memberikan informasi yang memadai dan masuk akal bagi setiap orang yang tergusur serta menyediakan waktu yang  cukup masuk akal sebelum tanggal penggusuran yang dijadwalkan, tidak melakukan penggusuran tanpa menunjukan  identitas yang jelas (petugas pemerintah yang bertanggung jawab atas penggusuran tersebut harus hadir di tempat penggusuran, sehingga pelaku teridentifikasi dengan jelas), tidak melakukan penggusuran dalam  cuaca buruk atau di malam hari, menyediakan mekanisme pemulihan secara hukum, dan menyediakan  bantuan  hukum bagi warga tergusur  yang memerlukan untuk menuntut ganti rugi di pengadilan.
-         Mencegah terjadinya tuna wisma. Penggusuran tidak boleh menyebabkan seseorang  atau sebuah keluarga menjadi tidak memiliki tempat tinggal (tuna wisma). Apabila  mereka yang terkena dampak penggusuran tidak mampu memenuhi kebutuhan diri sendiri, petugas pemerintah harus mengambil seluruh langkah yang sesuai untuk memastikan tersedianya alternatif yang memadai.

Sebuah penelitian tentang penggusuran paksa yang dilakukan oleh COHRE (Center on Housing Rights and Eviction atau Pusat Hak-hak atas Perumahan dan Penggusuran) mengidentifikasi 4 alasan  utama dilakukan tindakan tersebut:
-         adanya proyek pengembangan  dan pembangunan infrastruktur         (misalnya terjadi di Kenya dan Guatemala)
-    adanya event internasional, seperti konferensi  atau pertandingan olah raga internasional (misalnya terjadi di Beijing, China)
-  adanya penataan ulang dan upaya untuk mempercantik daerah perkotaan (misalnya terjadi di Jakarta, Indonesia dan Bangkok, Thailand)
-    adanya pertikaian politik yang mengakibatkan pembersihan etnis dari keseluruhan komunitas/kelompok (misalnya banyaknya warga yang kehilangan tempat tinggal sebagai akibat serangan militer Israel ke Palestina)

     C.   Potret Penggusuran Paksa di  Indonesia
Penggusuran bukanlah berita dan pemandangan  baru bagi penduduk Indonesia, khususnya warga Jakarta. Permasalahan inipun tidak lagi hanya membangkitkan  kepedulian berbagai kelompok masyarakat dalam negeri, namun telah menjadi sorotan  dunia internasional.

Pada tahun 2003 Indonesia masuk  dalam daftar 3 besar negara yang mendapat penghargaan sebagai ”juara penggusur rumah sepanjang tahun 2003”. Pemilihan ini didasarkan  pada berbagai pelanggaran  hak-hak  perumahan yang dilakukan terus menerus terencana dan tidak bisa dibenarkan secara hukum. Indonesia juga dianggap tidak berhasil  menerapkan aturan HAM nasional dan internasional yang berlaku. Penghargaan tersebut diberikan oleh COHRE pada tanggal 5 November 2003. Adapun 2 negara lain yang menjadi pemenang adalah Guatemala dan Serbia Montenegro.

Dalam laporannya COHRE  menyampaikan Indonesia melakukan pelanggaran hak atas perumahan dengan tiga cara: (1) pengusuran paksa yang berskala besar  di kota-kota denga cara kekerasan, (2) pelanggaran hak atas perumahan yang dilakukan dalam kaitannya dengan konflik  bersenjata di Aceh  dan Papua Barat, (3) terus-menerus gagal memberikan konpensasi atas pelanggaran hak perumahan yang dilakukannya  di Timor-Timur.  

Pengusuran paksa  di Indonesia terjadi  karena berbagai sebab dan dalam berbagai kondisi, antara lain:
-  Penggusuran paksa dengan  alasan pembangunan infrastruktur atau upaya untuk  memperindah tata kota. Penggusuran dengan alasan tersebut  banyak terjadi di Jakarta dan beberapa kota besar lain. Sebagian kecil kasus penggusaran ini  terangkum  dalam data tabel  di bawah yang dihimpun dari COHRE dan Asian Huma Rights Commission (AHRC)

Data Penggusuran Paksa di Indonesia

TAHUN

DATA
2001
Lebih dari 50.000 orang diusir paksa  di ibu kota negara
2003
Pada bulan Oktober terjadi setidaknya 5 penggusuran paksa yaitu:

-         2 Oktober: 2500 orang yang menghuni 520 di Kampung Sawah, Tanjung Duren, Jakarta Barat digusur secara paksa oleh pemerintah setempat.
-         10 Oktober: 750 rumah (sekitar 5000 warga) yang tinggal di Muara Angke, Jakarta Utara digusur oleh aparat pemerintah setempat.
-         15 Oktober: 900 penduduk yang menempati  284 rumah di Tegal Alur, Jakarta Barat digusur oleh aparat pemerintah setempat.
-         22 Oktober: 1000 petugas keamanan setempat menggusur 700 rumah di Kali Adem, Jakarta Utara yang menyebabkan ratusan orang (termasuk anak-anak) harus tinggal dalam perahu.
-         26 Oktober: komunitas nelayan di Jakarta Utara mengalami penggusuran oleh otoritas setempat.   
2006
Pada tanggal 11 Januari sekitar 125 rumah semi permanen dihancurkan oleh aparat di kawasan  Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur yang mengakibatkan  140 keluarga kehilangan tempat tinggal. Sebelumnya, pada tanggal 4 Januari, sekitar 458 bangunan di Pisangan Timur, Jatinegara, Jakarta Timur juga dihancurkan  yang menyebabkan  489 keluarga kehilangan tempat tinggal  

Penggusuran paksa dalam konteks ini juga dipantau secara terus menrus oleh UPC (Urban Poor Consortium atau Konsorsium Kemiskinan Kota) yang berkedudukan di Jakarta. UPC juga secara konsisten sedang mendampingi para korban penggusuran. Berdasarkan hasil monitoring UPC dalam rentang Januari – Oktober 2003 ditemukan 12 kasus penggusuran di DKI JakartaLima kasus penggusuran di Jakarta Barat, lima kasus penggusuran di Jakarta Utara, satu kasus penggusuran di Jakarta  Timur dan Satu kasus Penggusuran di Bekasi. Penggusuran  tersebut menimpa 22.333 jiwa/6.469 kepala keluarga.Lima kasus menunjukan  penggusuran paksa yang disertai kekerasan dan intimidasi, sedangkan satu kasus merupakan penggusuran dengan konpensasi yang tidak memadai.


-         Penggusuran sebagai akibat konflik bersenjataOperasi keamanan yang dilakukan pemerintah Indonesia di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyebabakan lebih dari 100.000 orang kehilangan tempat tinggal. Sejak pertengahan tahun 2000, 5.200  warga sipil dihancurkan dan 3.500 rumah lainnya dibakar dalam konflik bersenjata. Pada bulan Juli 2003, operasi militer di Papua menyebabkan seribu pendududk kehilangan  tempat tinggal, serta rusaknya rumah dan hasil  pertanian  mereka. Sementara di Timor Timur Pemerintah Indonesia menolak bertanggungjawab atas kerusakan 50% perumahan dan membayar ganti rugi kepada para korban kekerasan di negara baru itu yang terjadi pada 1999.

-         Pengusuran sebagai akibat konflik sumber daya alam. Pada 29 November hingga 4 Desember 2005 aparat kepolisian setempat menggusur secara paksa  penduduk di desa Kontu, Kab. Muna, Sulawesi Tenggara. Tindakan ini menyebabkan 150 rumah terbakar dan dihancurkan, 25 warga terluka, serta ratusan warga (termasuk perempuan dan anak-anak) terpaksa hidup di gedung pertemuan desa. Penggusuran dan penangkapan warga sudah dilakukan oleh Pemkab Muna sejak akhir Desember 2002. Masyarakat dituduh telah mendududki lahan yang tidak sah, yang ditetapkan pemerintah sebagai hutan lindung. Padahal masyarakat telah menetap di kawasan tersebut lama  sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai hutan lindung. Lahan tersebut bahkan telah lama dikelola dan ditanami tanaman jati oleh masyarakat.

-         Penggusuran di daerah pengungsian warga korban bencana alam.Penggusuran paksa juga menimpa warga yang sedang mengungsi akibat bencana alam. Sebagai contoh adalah para pengungsi akibat  bencana tsunami di NAD. Para pengungsi di NAD mengalami penggusuran paksa karena alasan pembangunan. Ada tujuh (7) kasus penggusuran paksa yang ditemui dalam situasi pengungsian. Penggusuran paksa ini memakan korban yang cukup banyak yaitu 110 KK. Penggusuran paksa dilakukan  terhadap tempat tinggal pengungsi dan ruang usaha perempuan. Alasan penggusuran paksa tidak saja karena tanah lokasi  pengungsian akan diperuntukan bagi aktivitas yang lebih startegis dan produktif, seperti pembangunan pusat pelelangan ikan (PPI) dan pembangunan kembali lapangan sepak bola, tetapi juga karena alasan estetika.    

-         Penggusuran sebagai akibat konflik sosial. Konflik sosial juga menjadi salah satu penyebab terjadinya penggusuran terhadap berbagai kelompok masyarakat. Ini terjadi, antara lain, terhadap warga penganut ajaran  Ahmadiyah yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang menolak kehadiran mereka karena ajarannya dianggap menyimpang dari ajaran Islam.

Data penggusuran paksa terhadap warga Ahmadiyah

No.
Tanggal
Kejadian
Korban
1
15 September 2002
Pancor, Selong, Lombok Timur
8 rumah dibakar, 28 dirusak
2
Juni 2005
Bogor, Jawa Barat
Tempat ibadah dirusak
3
19 Oktober 2005
Dusun Ketapang, Lombok Barat
Puluhan rumah rusak
4
4 Februari 2006
Dusun Ketapang, Lombok Barat
13 rumah dibakar


Dari catatan pengaduan warga Ahmadiyah ke Komnas Perempuan diperoleh keterangan  bahwa penggusuran terhadap warga Ahmadiyah di  Dusun Ketapang  mengakibatkan 137 warga Ahmadiyah (60 orang perempuan) diungsikan ke transito, Majeluk, Mataram. Selanjutnya Pemerintah Kabupaten Lombok Barat merencanakan akan menjadikan  lokasi pemukiman Ahmadiyah di Dusun Ketapang itu sebagai aset daerah, apabila mereka dipindahakan ke lokasi lain. 
  1. Dampak Penggusuran Paksa terhadap Perempuan
Penggusuran paksa menimbulkan dampak negatif bagi seluruh komunitas yang tergusur. Namun beberapa komponen masyarakat menanggung beban dan dampak  yang lebih berat, antara lain perermpuan, anak-anak, orang-orang yang telah berusia lanjut, penduduk asli/pribumi, serta kelompok minoritas.

Perempuan seringkali menanggung beban dan dampak yang paling berat dalam menghadapi penggusuran paksa. Hal ini terkait dengan peran, sumbangan dan komitmen perempuan terhadap keberlangsungan hidup keluarganya.

Pada tahun 2003, sekitar 200 korban penggusuran di Jakarta mengungsi di halaman kantor Komnas Perempuan, yang sebagian besar terdiri dari perempuan dan anak. Salah satu dari korban yang mengungsi dalam kedaan hamil tua. Melalui kerja sama Komnas Perempuan  dan Dinkes Pemda DKI, perempuan ini  kemudian dibantu melahirkan secara cuma-cuma di puskesmas terdekat. Tetapi setelah masa  perawatan selesai, perempuan ini terpaksa merawat bayinya di pelataran Komnas Perempuan.

Berbagai dampak yang dirasakan korban penggusuran paksa, terutama perempuan, meliputi luka fisik dan beban  psikologis, hilangnaya rumah dan hak milik lainnya, hilangnya sumber penghidupan, hilangnya kontak sosial, semakin rentannya perempuan  mengalami tindak kekerasan, hilangnya akses layanan publik, menurunnya kondisi kesehatan (fisik dan mental), serta munculnya perubahan pola hidup/budaya. Dampak tersebut saling mempengaruhi misalnya hilangnya rumah akan mempengaruhi hilangnya pula sumber penghidupan.

Luka fisik dan beban mental. Penggusuran paksa sering diwarnai dengan tindak kekerasan yang menyebabkan komunitas korban banyak mengalami luka fisik. UPC melaporkan dari 29 penggusuran yang terjadi di Jabotabek selama 2001 hingga 2003, 17 kasus disertai intimidasi dan kekerasan.  ”Waktu itu seperti perang. Saya masih ingat dengan sangat jelas karena air mata belum kering. Polisi datang dengan membawa perisai dan mereka berteriak-teriak ”Serang!Serang!...Mulanya mereka menyerang dengan meriam air, kemudian mereka melepaskan gas air mata. Masyarakat lalu mundur, dan saat itulah Polisi mulai memasuki lokasi. Mereka mulai menembak dan memukuli masyarakat. Ketika kami masih melawan, mereka menembak ke udara. Tetapi setelah barikade terbuka, mereka menembaki ke arah masyarakat.” (Penggusuran paksa di Cengkareng Timur, 17  september 2003).

Tindak kekerasan tersebut juga berdampak pada status kesehatan dan mobilitas perempuan. Pada kasus Ahmadiyah, perempuan hamil mengalami keguguran dan seorang lainnya sempat dirawat  di rumah sakit jiwa akibat stres menyaksikan  rumah mereka dibakar massa. Seorang perempuan yang berdagang di pasar sempat  berhenti berjualan selama satu bulan karena merasa tertekan menghadapi pertanyaan-pertanyaa dari aparat  yang menjaga pengungsian mereka, setiap kali ia keluar masuk lokasi pengungsian.

Hilangnya rumah dan harta  benda lainnya. Penggusuran paksa menyebabkan warga yang tergusur kehilangan tempat tinggal, termasuk pula harta benda yang tidak sempat terselamatkan. ”Cuma barang-barang yang sempat kami keluarkan  dari rumah yang selamat. Semua barang kami yang lainnya hilang. Kulkas. TV, juga lemari kami. Kami  juga kehilangan uang. Waktu itu tidak ada kesempatan untuk berbuat apa-apa. Kami sedang panik.” (Penggusuran di Cakung, jalan Cilincing, 8 janurai 2006). 

Kondisi ini mengharuskan  mereka untuk  mengungsi di tempat lain tanpa adanya jaminan penyediaan sarana dan prasarana yang  memadai untuk hidup secara layak. Hal ini sering terjadi berulang-ulang yang mengakibatkan warga korban kehilangan terus-menerus tempat tinggal, serta dampak lain yang menyertainya. 

Dalam pengaduannya seorang perempuan Jamaah Ahmadiyah memberikan kesaksian pada komnas Perempuan, sebagai berikut: ”Setelah kejadian (penyerangan dan pengrusakan rumah: penulis) di Sambi Elen, saya  pindah ke Pancor. Tahun 2002 rumah yang di Pancor dihancurkan. Lalu saya pindah ke Sumbawa. Disana saya juga diusir disuruh pulang ke Lombok. Sekarang saya tinggal di Ketapang, lalu rumah  saya dibakar juga.  Saya pas kejadian itu gelisah, sedih. Saya dipaksa polisi, saya nggak mau ini kan hak saya  untuk tinggal di sini, kenapa saya dipaksa pindah ke transito (tempat pengungsian: penulis). Ini supaya anak-anak nggak apa-apa, kasian. Saya bilang biar sudah saya mati di sini sama saudara, anak-anak saya. Karena hak saya, milik saya. Terus dipaksa dari jam 1 kejadian di Ketapang sampai jam 4 terus dipaksa, akhirnya saya terpaksa naik mobil dan diangkut ke Transito.”


Hilangnya sumber penghidupan. Rumah pada prakteknya  tidak hanya berfungsi  sebagai tempat tinggal, melainkan juga tempat sumber hidup bagi perempuan dengan menjalankan usaha di sektor informal. Pelapor khusus Komnas Perempuan untuk Aceh melaporkan bahwa  bagi  perempuan, penggusuran juga mengakibatkan hilangnya  sumber penghidupan, karena mereka juga menggunakan rumah untuk tempat membuka warung kelontong, bekerja menerima jahitan, atau memasak kue untuk dijual.

”M tinggal di barak  percontohan pengungsian tsunami di Bnada Aceh. Ia seorang ibu rumah tangga yang berusaha menopang kehidupan keluarganya setelah  tak lagi dapat bekerja akibat tsunami. Dengan modal yang ada,  ia mulai  berjualan sayur untuk sesama pengugsi. Menjelang satu tahun peringatan tsunami rupanya huntara (hunian sementara) korban dijadwalkan  menjadi satu titik  kunjungan orang-orang penting dari nasional dan internasional, termasuk Presiden RI. Dengan alasan itu, pada pagi hari tanggal 11 Desember 2005 datanglah pegawai negeri dari kantor camat, menarik spoanduk dan terpal plastik yang M pakai  untuk menyekat ruang usahanya. ”di sini  bukan temnat usaha. Kalau mau usaha, ke pasar sana!” ujar  pegawai  camat tersebut.”


Dalam kasus penggusuran paksa yang dilatarbelakangi konflik sosial seperrti kasus Ahmadiyah, seorang perempuan yang  bekerja sebagai guru dinonaktifkan, setelah pihak sekolah  mengetahui bahwa ia adalah anggota Jamaah Ahmadiyah yang turut terusir dalam peristiwa tersebut. 

Dalam kondisi hilangnya sumber hidup, seringkali perempuan dan anak-anak berkreasi di bidang informal untuk terus bertahan hidup. Perempuan dan anak-anak korban penggusuran di Jakarta, akhirnya turun  ke lampu merah untuk mengamen demi menyambung hidup. 

Semakin  rentannya perempuan mengalami tindak  kekerasan. Berdasarkan  pemantauan Komnas Perempuan dan laporan UPC terungkap  adanya insiden  kekerasan terhadap perempuan yang terjadi baik sebelum, dalam proses maupun setelah penggusuran paksa terjadi. Pola kekerasan ini terjadi terkait dengan relasi kuasa jender yang tidak imbang antara laki-laki dan perempuan, ditambah relasi  kuasa lain terkait konflik yang melatarbelakangi penggusuran. Antara lain relasi  kuasa antara pemerintah atau aparat keamanan dengan perempuan yang digusur dan relasi kuasa antara pihak-pihak  yang berkonflik. Pelaku kekerasan  ini bisa suami atau  anggota keluarga lain, aparat pemerintah, dan pihak yang  berkonflik lainnya.                                                                                   

Pada kasus penyerangan dan pengrusakan rumah Jamaah Ahmadiyah di NTB, beberapa perempuan menyampaikan bahwa sebelum terjadi pengrusakan, mereka mendapat ancaman dari kelompok tertentu bahwa rumahnya akan dirusak jika tidak meninggalkan ajaran Ahmadiyah. Khusus untuk Jamaah Ahmadiyah di Lombok Tengah, terdapat aksi yang dilakukan Aliansi Masyarkat Anti Ahmadiyah (AMANAH) yang atas nama jihad mendesak pemerintah mengambil tindakan hukum atas dasar fatwa MUI dan somasi: (1) agar kembali pada ajaran Islam: (2) jika tetap pada keyakinan harus meninggalkan Lombok dengan batas toleransi sampai 17 Maret 2006, jika tidak, AMANAH tidak menjamin apabila masyarakat tidak melakukan tindakan anarkis. Somasi ini disebarkan kepada publik. 

Kekerasan juga terjadi pada proses penggusuran paksa, misalnya pada kasus komunitas nelayan Ancol Timur, Jakarta Utara dimana penggusuran dilakukan pada subuh ketika para lelaki sedang di laut. Rumah-rumah yang ada dibakar oleh Petugas Trantib. Seorang perempuan yang sedang mengandung enam bulan dipukul dua kali kepalanya. Warga yang lari ke mesjid dikejar dan diserang. Pada kasus penggusuran di kampung Rawa Das, Pondok Kopi, Jakarta Timur, 5 dari 20 orang yang terluka adalah perempuan.

Paska penggusuran, ketika komunitas korban tinggal di tempat sementara, anak dan perempuan juga rentan  mengalami kekerasan. Kondisi kepadatan tempat pengungsian yang tidak memberikan ruang peribadi, keterbatasan sumber air, listrik, sanitasi dan keamanan tempat tingal mengakibatkan perempuan  menjadi sasaran kekerasan.  Kekerasan dari suami dapat terjadi karena tekanan konflik  dan tidak tersedianya ruang pribadi untuk melakukan  hubungan seksual. Pada pengungsian Jamaah Ahmadiyah di Praya, Lombok Tengah, seorang perempuan mengalami pelecehan seksual berupa dipegang kkainya ketika sedang tidur oleh orang tak dikenal. Hal ini terjadi dalam kondisi lampu gelap  dan ruang pengungsian sengaja tidak dikunci untuk mempermudah orang lanjut usia hendak ke kamar mandi di malam hari. Sedangkan anak-anak perempuan mendapatkan pelecehan seara verbal dari pihak aparat yang menjaga keamanan lokasi pengungsian.  

Kekerasan juga  dialami perempuan Ahmadiyah yang relatif lebih banyak tinggal di lokasi pengungsian. Tindakan ini dilakukan oleh  masyarakat sekitar yang menyatakan bahwa mereka tidak berhak tinggal di lokasi pengungsian tersebut. 

Selain itu, korban penggusuran juga rentan mengalami kekerasan ketika sedang memperjuangkan hak-haknya. Pada tanggal 28 Maret 2002, warga korban penggusuran termasuk ibu-ibu dan anak-anak yang tergabung dalam UPC diserang oleh 300 FBR (Forum Betawi Rempug), yang mengakibatkan beberapa perempuan  luka di kepala, punggung dan kaki, gegar otak, serta pingsan. Penyerangan ini dilakukan setelah mereka  menyampaikan pengaduan terkait penggusuran paksa kepada Komnas Perempuan, Komnas HAM dan Komnas Perlindungan Anak.

Hilangnya akses terhadap kebutuhan  air  dan layanan publik. Korban penggusuran sering harus hidup di tempat pengungsian. Di tempat ini,  mereka berhadapan dengan masalah  kurangnya akses terhadap air, sanitasi dan layanan publik  lainnya.  Berdasarkan pengaduan ke Komnas Perempuan, perempuan Ahmadiyah yang mengungsi di transito mengeluhkan sumber air yang tidak memadai dan hanya mengalir pada malam hari. Sebagai akibatnya mereka harus bekerja ekstra di malam hari untuk  mengumpulkan air.  Mereka juga mengeluhkan minimnya layanan kesehatan. Padahal banyak  diantara mereka yang membutuhkannya, karena dari 32 Kepala Keluaa (KK) yang mengungsi, terdapat 2 perempuan hamil, 5 orang jompo dan 2 orang yang lumpuh. Bahkan beberapa perempuan menyampaikan  mereka tidak sempat mengurus kontrasepsi sejak peristiwa penyerangan dan pengrusakan  rumah mereka terjadi. 

Kesulitan layanan kesehatan juga dialami oleh perempuan korban penggusuran  yang mengungsi di pelataran Komnas Perempuan. Sebagai penduduk miskin kota mereka tidak dapat mengakses layanana kartu sehat atau sejenisnya, karena dianggap  bukan warga resmi dengan tidak dimiliknya KTP Jakarta.

Di Samping itu, berbagai tindak kekerasan yang dialami korban penggusuran sebelum, pada proses dan paska penggusuran seringkali mengakibatakan  turunnya status kesehatan mereka. Kondisi ini seharusnya memerlukan layanan  kesehatan yang lebih intensif dibandingkan sebelum mereka mengalami penggusuran. Berbagai layanan yang dibutuhkan korban meliput pemulihan ksehatan fisik, psikis dan seksual akibat kekerasan  yang kaum perempuan alami sejak sebelum, proses dan paska penggusuran.

Anak-anak korban pengusuran  juga mengalami hambatan dalam mengakses pendidikan, bahkan akses ini terhenti sama sekali. Perpindahan  lokasi tempat tinggal kadang membuat  mereka tidak  dapat lagi menjangkau sekolahnya. Sedangkan untuk mengurus pindah sekolah seringkali  orang tua mereka tidak punya cukup sumber daya mengingat telah turunnya kekuatan ekonomi keluarga.

Tanpa desakan dan upaya yang kuat  dari pihak korban, pemerintah seringkali mengabaikan kekuatan ini. UPC  dalam laporannya menyampaikan bahwa Pemda tidak menyediakan  bantuan apapun untuk warga yang digusur karena mereka menempati  secara tidak sah tanah-tanah pemerintah. Oleh sebab itu banyak anak terpaksa berhenti sekolah karena peralatan dan baju seragamnya ikut hancur bersama rumahnya, atau orang tuanya tidak lagi mampu membayar  uang sekolah ketika penggusuran berlaku di kampungnya.

”Anak-anak saya tidak lagi bersekolah. Saya sudah minta izin dari sekolah untuk mengeluarkan mereka dari sekolah untuk sementara karena masih trauma. Seluruh buku sekolah, mereka hancurkan. Juga sekarang kami tinggal di sini, sekolah mereka jadi  terlalu jauh (penggusran di PasarBaru, 21 Desember 2005).

Penggusuran paksa juga menyisakan  beberapa persoalan yang dampaknya langsung berakibat pada perempuan. Lemahnya penegakan hukm dalam penanganan kekerasan  dalam proses penggusuran paksa, menyebabkan pola ini terus berlangsung  tanpa perlindungan apapapun  bagi  perempuan sebagai kelompok rentan. Posisi perempuan sebagai  pengungsi akibat penggusuran paksa  juga membuat mereka  rentan mengalami diskriminasi  untuk mengakases layanan publik, serta mengalami stigma dan kekeraan baik dari pihak negara maupun masyarakat. Di sisi ain,  dengan segala kondisi tersebut, perempuan seringkali diabaikan dalam pengambilan keputusan apapun terkait penggusuran paksa, baik oleh pemerintah  maupun komunitasnya sendiri. Hal ini juga yang menyebabkan tidak teridentifikasinya kebutuhan perempuan dalam penanganan pengusuran paksa dan kehidupan  mereka di pengungsian.

E. Upaya-upaya yang telah Dilakukan oleh Komnas Perempuan
Merespon  kondisi penegakan hak   asasi perempuan  yang terabaikan dalam penggusuran paksa, Komnas Perempuan  telah melakukan beberapa  upaya, baik yang terkait  dengan pemulihan korban penggusuran paksa maupun rekomendasi terhadap  kebijakan pemerintah. Beberapa upaya tersebut antara lain:

Pada tahun 2001, Komnas Perempuan menjadi salah satu anggota dari Tim internasional Pencari Fakta  Kekerasan Negara terhadap Rakyat Miskin Kota di Jakarta.Tim ini dibentuk oleh UPC dan Asian Coalition for Housing Rights (ACHR) dengan anggota  dari Indonesia  dan luar Indonesia. Anggota ini yaitu Won Soon Park (Direktur Eksekutif People Solidarity for Participatory Democracy atau PSPD, Korea), Jesse Roberdo (Wali Kota Naga City di Filiphina Selatan, penerima penghargaan Best Practice UNCHS-Dubai Internasional Awarad pada tahun 1998), Soetandyo Wignyosoebroto (anggota Komnas HAM dan Profesor dari Universitas Airlangga, Surabaya), serta Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Diwakili oleh Saparinah Sadli, Mely G. Tan, PH.D, serta Dewi Novirianti dan Titiana Adinda). Tim ini melaporkan  adanya penggarukan dan penggusuran dalam skala masif yang dilakukan oleh Pemda DKI, serta menggambarkan kondisi  permpuan dan anak dalam pemukiman pengganti bagi korban, serta tidak adanya identifikasi pelanggaran hukum  nasional dan internasional dalam peristiwa tersebut. Beberapa rekomendasi yang disampaikan pada pemerintah antara lain diberlakukannya 100 hari moratorium penggusuran dan penggarukan, serta peninjauan  kembali hukum yang berkaitan dengan hak atas perumahan yang layak dan pelaksanaanya dalam konteks penggusuran.

Pada 28 Maret 2002 terjadi penyerangan  terhadap UPC dan  warga miskin kota oleh FBR sesaat setelah mereka mengadukan kasus penggusuran  paksa ke Komnas Perempuan, Komnas HAM dan Komnas Perlindungan Anak. Menanggapi peristiwa  tersebut, komnas Perempuan  memberikan pernyataan sikap  yang antara lain menuntut dilakukannya investigasi mengenai latar belakang  penyerangan dan meminta Gubernur DKI Jakarta untuk menangung seluruh biaya pengobatan rakyat miskin kota yang telah menjadi korban penyerangan.

Pada tahun 2003, Komnas Perempuan bersama Komnas HAM dan Komnas Perlindungan Anak memberikan rekomendasi  kepada Pemda DKI untuk melakukan kajian hukum terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan  kesepatan internasional, terutama   hak-hak ekosob dan sipil politik terkait penggusuran paksa terhadap perempuan dan anak.

Di tahun yang sama, Komnas Perempuan menerima sekitar 200 warga korban penggusuran di DKI Jakarta untuk mengungsi di pelataran  kantor Komnas  Perempuan berkenaan dengan peristiwa pengungsian ini adalah:
(1)   Melakukan lobby kepasa Dinas Kesehatan Pemda DKI, sehingga korban penggusuran memperoleh akses terhadap layanan  kesehatan secara cuma-cuma di beberapa puskesmas dan rumah sakit  yang telah ditentukan dengan menunjukan  surat keterangan dari Komnas Perempuan.
(2)   Menyediakan ruang pemeriksaan kesehatan  bagi para korban penggusuran di kantor Komnas Perempuan. Adapun tenaga medis disediakan  oleh Komnas Anak.
(3)   Bersama Komnas HAM menjalin  kerja sama dengan Dinas Sosial Pemda DKI untuk penyediaan tempat tinggal sementara  bagi warga yang mengungsi.


Pada bulan April 2006, Pelapor Khusus Komnas Perempuan untuk Aceh menyampaikan  laporan hasil  temuannya kepada publik, serta Pemerintah NAD dan Pemerintah pusat. Laporan tersebut berisi, antara lain, hasil dokumentsai pemenuhan  hak asasi perempuan pengungsi Aceh, serta hasil pemantauan terhadap kasus penggusuran paksa yang dialami kaum perempuan di lokasi pengungsian  korban tsunami.


Pada bulan Juni 2006, Komnas Perempuan melakukan pemantauan terhadap kasus penyerangan  dan pengrusakan pemukiman Jamah Ahmadiyah  di Praya dan Matram, NTB. Pemantauan ini bertujuan, antara lain, untuk mengidentifikasi pelanggaran    hak assai  perempuan yang muncul dalam tindak penyerangan  dan pengrusakan pemukiman tersebut.

F. Penutup
Data penggusuran paksa yang terpapar dalam tulisan ini  hanya sebagian kecil  saja dari realitas tidak terpenuhinya hak warga masyarakat atas perumahan. Gambaran  awal ini semoga dapat memacu pemerintah untuk memenuhi kewajibannya  dalam mewujudkan hak seluruh warga negaranya atas perumahan, sebagai konsekuensi dari ratifikasi Konvenan Ekosob.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar