Seri Dokumen Kunci 7 (komnas Perempuan, 2006)
- Pengantar
Hak atas perumahan yang layak, sebagai penjabaran dari hak atas dasar kehidupan yang layak, merupakan salah satu unsur yang penting bagi penikmatan keseluruhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak ini tercantum, antara lain dalam Deklarasi Universal tantangan Hak Asasi Manusia pasal 25 (1) dan UU No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pasal 11 (1).
Tulisan ini berusaha memberikan gambaran awal mengenai kondisi penggusuran yang banyak terjadi di Indonesia dan dampaknya terhadap perempuan. Tulisan diawali dengan pemaparan singkat tentang definisi penggusuran paksa serta kaitannya dengan pemenuhan hak atas perumahan, dan konsekuensi-konsekuensi yang harus dipenuhi apabila tindakan penggusuran tetap dilakukan. Kemudian akan dipaparkan potret penggusuran paksa di Indonesia yang dilengkapi dengan data-data. Selanjutnya dibahas tentang dampak penggusuran paksa terhadap perempuan. Tulisan diakhiri dengan pemaparan tentang upaya yang telah dilakukan Komnas Perempuan dalam menanggapi kasus-kasus penggusuran paksa yang berdampak pada perempuan. Serta rekomendasi yang perlu dilakukan ke depan.
- Penggusuran Paksa dan Hak atas Perumahan
Penggusuran paksa (forced eviction) didefinisikan sebagai:
Pemindahan individu, keluarga dan/atau komunitas secara paksa (di luar kehendak) dari rumah dan/atau tanah yang telah mereka tempati, untuk selamanya atau sementara, tanpa penyediaan atau akses pada prosedur hukum yang benar maupun perlindungan yang diperlukan.
Penggusuran paksa secara langsung melanggar hak tiap orang atas perumahan yang layak serta hak-hak yang tercakup dalam Konvenan Ekosob. Namun mengingat hak asasi manusia saling terkait, maka penggusuran paksa juga melanggar hak-hak lain, yang meliputi pula hak-hak sipil dan politik. Hak-hak tersebut antara lain hak untuk hidup, hak atas keamanan pribadi, hak untuk tidak dicampuri urusan pribadi, keluarga dan rumahnya, serta hak untuk dapat menikmati harta bendanya. Secara tegas Komisi HAM PBB menyatakan bahwa praktek penggusuran paksa merupakan pelanggaran HAM berat.
Oleh karena itu pemerintah wajib melindungi warganya dari tindak pengusuran paksa. Dalam memberikan perlindungan terhadap hak warganya untuk tidak digusur secara sewenang-wenang, Pemerintah memiliki kewajiban untuk.
- Meninjau peraturan yang berlaku agar sesuai dengan standar internasional. Negara harus menjamin bahwa peraturan yang ada memadai untuk mencegah pengusuran paksa dan memberikan hukuman bagi para pelakunya. Peraturan-peraturan tersebut harus memberikan jaminan keamanan untuk menempati rumah dan tanah, selaras dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvenan Ekosob, serta dapat berfungsi untuk mengontrol keadaan apabila penggusuran paksa dilakukan.
- Menerapkan prosedur perlindungan. Penggusuran harus sebisa mungkin dihindarkan. Apabila terpaksa dilakukan, penggusuran harus menerapkan prosedur perlindungan bagi warga tergusur, yaitu menyediakan kesempatan untuk melakukan musyawarah dengan masyarakat tergusur, memberikan informasi yang memadai dan masuk akal bagi setiap orang yang tergusur serta menyediakan waktu yang cukup masuk akal sebelum tanggal penggusuran yang dijadwalkan, tidak melakukan penggusuran tanpa menunjukan identitas yang jelas (petugas pemerintah yang bertanggung jawab atas penggusuran tersebut harus hadir di tempat penggusuran, sehingga pelaku teridentifikasi dengan jelas), tidak melakukan penggusuran dalam cuaca buruk atau di malam hari, menyediakan mekanisme pemulihan secara hukum, dan menyediakan bantuan hukum bagi warga tergusur yang memerlukan untuk menuntut ganti rugi di pengadilan.
- Mencegah terjadinya tuna wisma. Penggusuran tidak boleh menyebabkan seseorang atau sebuah keluarga menjadi tidak memiliki tempat tinggal (tuna wisma). Apabila mereka yang terkena dampak penggusuran tidak mampu memenuhi kebutuhan diri sendiri, petugas pemerintah harus mengambil seluruh langkah yang sesuai untuk memastikan tersedianya alternatif yang memadai.
Sebuah penelitian tentang penggusuran paksa yang dilakukan oleh COHRE (Center on Housing Rights and Eviction atau Pusat Hak-hak atas Perumahan dan Penggusuran) mengidentifikasi 4 alasan utama dilakukan tindakan tersebut:
- adanya proyek pengembangan dan pembangunan infrastruktur (misalnya terjadi di Kenya dan Guatemala)
- adanya event internasional, seperti konferensi atau pertandingan olah raga internasional (misalnya terjadi di Beijing, China)
- adanya penataan ulang dan upaya untuk mempercantik daerah perkotaan (misalnya terjadi di Jakarta, Indonesia dan Bangkok, Thailand)
- adanya pertikaian politik yang mengakibatkan pembersihan etnis dari keseluruhan komunitas/kelompok (misalnya banyaknya warga yang kehilangan tempat tinggal sebagai akibat serangan militer Israel ke Palestina)
Penggusuran bukanlah berita dan pemandangan baru bagi penduduk Indonesia, khususnya warga Jakarta. Permasalahan inipun tidak lagi hanya membangkitkan kepedulian berbagai kelompok masyarakat dalam negeri, namun telah menjadi sorotan dunia internasional.
Pada tahun 2003 Indonesia masuk dalam daftar 3 besar negara yang mendapat penghargaan sebagai ”juara penggusur rumah sepanjang tahun 2003”. Pemilihan ini didasarkan pada berbagai pelanggaran hak-hak perumahan yang dilakukan terus menerus terencana dan tidak bisa dibenarkan secara hukum. Indonesia juga dianggap tidak berhasil menerapkan aturan HAM nasional dan internasional yang berlaku. Penghargaan tersebut diberikan oleh COHRE pada tanggal 5 November 2003. Adapun 2 negara lain yang menjadi pemenang adalah Guatemala dan Serbia Montenegro.
Pengusuran paksa di Indonesia terjadi karena berbagai sebab dan dalam berbagai kondisi, antara lain:
- Penggusuran paksa dengan alasan pembangunan infrastruktur atau upaya untuk memperindah tata kota. Penggusuran dengan alasan tersebut banyak terjadi di Jakarta dan beberapa kota besar lain. Sebagian kecil kasus penggusaran ini terangkum dalam data tabel di bawah yang dihimpun dari COHRE dan Asian Huma Rights Commission (AHRC)
Data Penggusuran Paksa di Indonesia
Penggusuran paksa dalam konteks ini juga dipantau secara terus menrus oleh UPC (Urban Poor Consortium atau Konsorsium Kemiskinan Kota) yang berkedudukan di
- Penggusuran sebagai akibat konflik bersenjata. Operasi keamanan yang dilakukan pemerintah Indonesia di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyebabakan lebih dari 100.000 orang kehilangan tempat tinggal. Sejak pertengahan tahun 2000, 5.200 warga sipil dihancurkan dan 3.500 rumah lainnya dibakar dalam konflik bersenjata. Pada bulan Juli 2003, operasi militer di Papua menyebabkan seribu pendududk kehilangan tempat tinggal, serta rusaknya rumah dan hasil pertanian mereka. Sementara di Timor Timur Pemerintah Indonesia menolak bertanggungjawab atas kerusakan 50% perumahan dan membayar ganti rugi kepada para korban kekerasan di negara baru itu yang terjadi pada 1999.
- Pengusuran sebagai akibat konflik sumber daya alam. Pada 29 November hingga 4 Desember 2005 aparat kepolisian setempat menggusur secara paksa penduduk di desa Kontu, Kab. Muna, Sulawesi Tenggara. Tindakan ini menyebabkan 150 rumah terbakar dan dihancurkan, 25 warga terluka, serta ratusan warga (termasuk perempuan dan anak-anak) terpaksa hidup di gedung pertemuan desa. Penggusuran dan penangkapan warga sudah dilakukan oleh Pemkab Muna sejak akhir Desember 2002. Masyarakat dituduh telah mendududki lahan yang tidak sah, yang ditetapkan pemerintah sebagai hutan lindung. Padahal masyarakat telah menetap di kawasan tersebut lama sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai hutan lindung. Lahan tersebut bahkan telah lama dikelola dan ditanami tanaman jati oleh masyarakat.
- Penggusuran di daerah pengungsian warga korban bencana alam.Penggusuran paksa juga menimpa warga yang sedang mengungsi akibat bencana alam. Sebagai contoh adalah para pengungsi akibat bencana tsunami di NAD. Para pengungsi di NAD mengalami penggusuran paksa karena alasan pembangunan. Ada tujuh (7) kasus penggusuran paksa yang ditemui dalam situasi pengungsian. Penggusuran paksa ini memakan korban yang cukup banyak yaitu 110 KK. Penggusuran paksa dilakukan terhadap tempat tinggal pengungsi dan ruang usaha perempuan. Alasan penggusuran paksa tidak saja karena tanah lokasi pengungsian akan diperuntukan bagi aktivitas yang lebih startegis dan produktif, seperti pembangunan pusat pelelangan ikan (PPI) dan pembangunan kembali lapangan sepak bola, tetapi juga karena alasan estetika.
- Penggusuran sebagai akibat konflik sosial. Konflik sosial juga menjadi salah satu penyebab terjadinya penggusuran terhadap berbagai kelompok masyarakat. Ini terjadi, antara lain, terhadap warga penganut ajaran Ahmadiyah yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang menolak kehadiran mereka karena ajarannya dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
Data penggusuran paksa terhadap warga Ahmadiyah
No. | Tanggal | Kejadian | Korban |
1 | 15 September 2002 | Pancor, Selong, Lombok Timur | 8 rumah dibakar, 28 dirusak |
2 | Juni 2005 | Bogor, Jawa Barat | Tempat ibadah dirusak |
3 | 19 Oktober 2005 | Dusun Ketapang, Lombok Barat | Puluhan rumah rusak |
4 | 4 Februari 2006 | Dusun Ketapang, Lombok Barat | 13 rumah dibakar |
Dari catatan pengaduan warga Ahmadiyah ke Komnas Perempuan diperoleh keterangan bahwa penggusuran terhadap warga Ahmadiyah di Dusun Ketapang mengakibatkan 137 warga Ahmadiyah (60 orang perempuan) diungsikan ke transito, Majeluk, Mataram. Selanjutnya Pemerintah Kabupaten Lombok Barat merencanakan akan menjadikan lokasi pemukiman Ahmadiyah di Dusun Ketapang itu sebagai aset daerah, apabila mereka dipindahakan ke lokasi lain.
- Dampak Penggusuran Paksa terhadap Perempuan
Penggusuran paksa menimbulkan dampak negatif bagi seluruh komunitas yang tergusur. Namun beberapa komponen masyarakat menanggung beban dan dampak yang lebih berat, antara lain perermpuan, anak-anak, orang-orang yang telah berusia lanjut, penduduk asli/pribumi, serta kelompok minoritas.
Perempuan seringkali menanggung beban dan dampak yang paling berat dalam menghadapi penggusuran paksa. Hal ini terkait dengan peran, sumbangan dan komitmen perempuan terhadap keberlangsungan hidup keluarganya.
Hilangnya rumah dan harta benda lainnya. Penggusuran paksa menyebabkan warga yang tergusur kehilangan tempat tinggal, termasuk pula harta benda yang tidak sempat terselamatkan. ”Cuma barang-barang yang sempat kami keluarkan dari rumah yang selamat. Semua barang kami yang lainnya hilang. Kulkas. TV, juga lemari kami. Kami juga kehilangan uang. Waktu itu tidak ada kesempatan untuk berbuat apa-apa. Kami sedang panik.” (Penggusuran di Cakung, jalan Cilincing, 8 janurai 2006).
Kondisi ini mengharuskan mereka untuk mengungsi di tempat lain tanpa adanya jaminan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai untuk hidup secara layak. Hal ini sering terjadi berulang-ulang yang mengakibatkan warga korban kehilangan terus-menerus tempat tinggal, serta dampak lain yang menyertainya.
Dalam pengaduannya seorang perempuan Jamaah Ahmadiyah memberikan kesaksian pada komnas Perempuan, sebagai berikut: ”Setelah kejadian (penyerangan dan pengrusakan rumah: penulis) di Sambi Elen, saya pindah ke Pancor. Tahun 2002 rumah yang di Pancor dihancurkan. Lalu saya pindah ke Sumbawa. Disana saya juga diusir disuruh pulang ke Lombok. Sekarang saya tinggal di Ketapang, lalu rumah saya dibakar juga. Saya pas kejadian itu gelisah, sedih. Saya dipaksa polisi, saya nggak mau ini kan hak saya untuk tinggal di sini, kenapa saya dipaksa pindah ke transito (tempat pengungsian: penulis). Ini supaya anak-anak nggak apa-apa, kasian. Saya bilang biar sudah saya mati di sini sama saudara, anak-anak saya. Karena hak saya, milik saya. Terus dipaksa dari jam 1 kejadian di Ketapang sampai jam 4 terus dipaksa, akhirnya saya terpaksa naik mobil dan diangkut ke Transito.”
Hilangnya sumber penghidupan. Rumah pada prakteknya tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, melainkan juga tempat sumber hidup bagi perempuan dengan menjalankan usaha di sektor informal. Pelapor khusus Komnas Perempuan untuk Aceh melaporkan bahwa bagi perempuan, penggusuran juga mengakibatkan hilangnya sumber penghidupan, karena mereka juga menggunakan rumah untuk tempat membuka warung kelontong, bekerja menerima jahitan, atau memasak kue untuk dijual.
”M tinggal di barak percontohan pengungsian tsunami di Bnada Aceh. Ia seorang ibu rumah tangga yang berusaha menopang kehidupan keluarganya setelah tak lagi dapat bekerja akibat tsunami. Dengan modal yang ada, ia mulai berjualan sayur untuk sesama pengugsi. Menjelang satu tahun peringatan tsunami rupanya huntara (hunian sementara) korban dijadwalkan menjadi satu titik kunjungan orang-orang penting dari nasional dan internasional, termasuk Presiden RI. Dengan alasan itu, pada pagi hari tanggal 11 Desember 2005 datanglah pegawai negeri dari kantor camat, menarik spoanduk dan terpal plastik yang M pakai untuk menyekat ruang usahanya. ”di sini bukan temnat usaha. Kalau mau usaha, ke pasar sana!” ujar pegawai camat tersebut.”
Dalam kondisi hilangnya sumber hidup, seringkali perempuan dan anak-anak berkreasi di bidang informal untuk terus bertahan hidup. Perempuan dan anak-anak korban penggusuran di Jakarta, akhirnya turun ke lampu merah untuk mengamen demi menyambung hidup.
Semakin rentannya perempuan mengalami tindak kekerasan. Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan dan laporan UPC terungkap adanya insiden kekerasan terhadap perempuan yang terjadi baik sebelum, dalam proses maupun setelah penggusuran paksa terjadi. Pola kekerasan ini terjadi terkait dengan relasi kuasa jender yang tidak imbang antara laki-laki dan perempuan, ditambah relasi kuasa lain terkait konflik yang melatarbelakangi penggusuran. Antara lain relasi kuasa antara pemerintah atau aparat keamanan dengan perempuan yang digusur dan relasi kuasa antara pihak-pihak yang berkonflik. Pelaku kekerasan ini bisa suami atau anggota keluarga lain, aparat pemerintah, dan pihak yang berkonflik lainnya.
Pada kasus penyerangan dan pengrusakan rumah Jamaah Ahmadiyah di NTB, beberapa perempuan menyampaikan bahwa sebelum terjadi pengrusakan, mereka mendapat ancaman dari kelompok tertentu bahwa rumahnya akan dirusak jika tidak meninggalkan ajaran Ahmadiyah. Khusus untuk Jamaah Ahmadiyah di Lombok Tengah, terdapat aksi yang dilakukan Aliansi Masyarkat Anti Ahmadiyah (AMANAH) yang atas nama jihad mendesak pemerintah mengambil tindakan hukum atas dasar fatwa MUI dan somasi: (1) agar kembali pada ajaran Islam: (2) jika tetap pada keyakinan harus meninggalkan Lombok dengan batas toleransi sampai 17 Maret 2006, jika tidak, AMANAH tidak menjamin apabila masyarakat tidak melakukan tindakan anarkis. Somasi ini disebarkan kepada publik.
Kekerasan juga terjadi pada proses penggusuran paksa, misalnya pada kasus komunitas nelayan Ancol Timur, Jakarta Utara dimana penggusuran dilakukan pada subuh ketika para lelaki sedang di laut. Rumah-rumah yang ada dibakar oleh Petugas Trantib. Seorang perempuan yang sedang mengandung enam bulan dipukul dua kali kepalanya. Warga yang lari ke mesjid dikejar dan diserang. Pada kasus penggusuran di kampung Rawa Das, Pondok Kopi, Jakarta Timur, 5 dari 20 orang yang terluka adalah perempuan.
Paska penggusuran, ketika komunitas korban tinggal di tempat sementara, anak dan perempuan juga rentan mengalami kekerasan. Kondisi kepadatan tempat pengungsian yang tidak memberikan ruang peribadi, keterbatasan sumber air, listrik, sanitasi dan keamanan tempat tingal mengakibatkan perempuan menjadi sasaran kekerasan. Kekerasan dari suami dapat terjadi karena tekanan konflik dan tidak tersedianya ruang pribadi untuk melakukan hubungan seksual. Pada pengungsian Jamaah Ahmadiyah di Praya, Lombok Tengah, seorang perempuan mengalami pelecehan seksual berupa dipegang kkainya ketika sedang tidur oleh orang tak dikenal. Hal ini terjadi dalam kondisi lampu gelap dan ruang pengungsian sengaja tidak dikunci untuk mempermudah orang lanjut usia hendak ke kamar mandi di malam hari. Sedangkan anak-anak perempuan mendapatkan pelecehan seara verbal dari pihak aparat yang menjaga keamanan lokasi pengungsian.
Kekerasan juga dialami perempuan Ahmadiyah yang relatif lebih banyak tinggal di lokasi pengungsian. Tindakan ini dilakukan oleh masyarakat sekitar yang menyatakan bahwa mereka tidak berhak tinggal di lokasi pengungsian tersebut.
Selain itu, korban penggusuran juga rentan mengalami kekerasan ketika sedang memperjuangkan hak-haknya. Pada tanggal 28 Maret 2002, warga korban penggusuran termasuk ibu-ibu dan anak-anak yang tergabung dalam UPC diserang oleh 300 FBR (Forum Betawi Rempug), yang mengakibatkan beberapa perempuan luka di kepala, punggung dan kaki, gegar otak, serta pingsan. Penyerangan ini dilakukan setelah mereka menyampaikan pengaduan terkait penggusuran paksa kepada Komnas Perempuan, Komnas HAM dan Komnas Perlindungan Anak.
Kesulitan layanan kesehatan juga dialami oleh perempuan korban penggusuran yang mengungsi di pelataran Komnas Perempuan. Sebagai penduduk miskin kota mereka tidak dapat mengakses layanana kartu sehat atau sejenisnya, karena dianggap bukan warga resmi dengan tidak dimiliknya KTP Jakarta.
”Anak-anak saya tidak lagi bersekolah. Saya sudah minta izin dari sekolah untuk mengeluarkan mereka dari sekolah untuk sementara karena masih trauma. Seluruh buku sekolah, mereka hancurkan. Juga sekarang kami tinggal di sini, sekolah mereka jadi terlalu jauh (penggusran di PasarBaru, 21 Desember 2005).
E. Upaya-upaya yang telah Dilakukan oleh Komnas Perempuan
Merespon kondisi penegakan hak asasi perempuan yang terabaikan dalam penggusuran paksa, Komnas Perempuan telah melakukan beberapa upaya, baik yang terkait dengan pemulihan korban penggusuran paksa maupun rekomendasi terhadap kebijakan pemerintah. Beberapa upaya tersebut antara lain:
Pada tahun 2001, Komnas Perempuan menjadi salah satu anggota dari Tim internasional Pencari Fakta Kekerasan Negara terhadap Rakyat Miskin Kota di Jakarta.Tim ini dibentuk oleh UPC dan Asian Coalition for Housing Rights (ACHR) dengan anggota dari Indonesia dan luar Indonesia . Anggota ini yaitu Won Soon Park (Direktur Eksekutif People Solidarity for Participatory Democracy atau PSPD, Korea), Jesse Roberdo (Wali Kota Naga City di Filiphina Selatan, penerima penghargaan Best Practice UNCHS-Dubai Internasional Awarad pada tahun 1998), Soetandyo Wignyosoebroto (anggota Komnas HAM dan Profesor dari Universitas Airlangga, Surabaya), serta Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Diwakili oleh Saparinah Sadli, Mely G. Tan, PH.D, serta Dewi Novirianti dan Titiana Adinda). Tim ini melaporkan adanya penggarukan dan penggusuran dalam skala masif yang dilakukan oleh Pemda DKI, serta menggambarkan kondisi permpuan dan anak dalam pemukiman pengganti bagi korban, serta tidak adanya identifikasi pelanggaran hukum nasional dan internasional dalam peristiwa tersebut. Beberapa rekomendasi yang disampaikan pada pemerintah antara lain diberlakukannya 100 hari moratorium penggusuran dan penggarukan, serta peninjauan kembali hukum yang berkaitan dengan hak atas perumahan yang layak dan pelaksanaanya dalam konteks penggusuran.
Pada 28 Maret 2002 terjadi penyerangan terhadap UPC dan warga miskin kota oleh FBR sesaat setelah mereka mengadukan kasus penggusuran paksa ke Komnas Perempuan, Komnas HAM dan Komnas Perlindungan Anak. Menanggapi peristiwa tersebut, komnas Perempuan memberikan pernyataan sikap yang antara lain menuntut dilakukannya investigasi mengenai latar belakang penyerangan dan meminta Gubernur DKI Jakarta untuk menangung seluruh biaya pengobatan rakyat miskin kota yang telah menjadi korban penyerangan.
Pada tahun 2003, Komnas Perempuan bersama Komnas HAM dan Komnas Perlindungan Anak memberikan rekomendasi kepada Pemda DKI untuk melakukan kajian hukum terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kesepatan internasional, terutama hak-hak ekosob dan sipil politik terkait penggusuran paksa terhadap perempuan dan anak.
Di tahun yang sama, Komnas Perempuan menerima sekitar 200 warga korban penggusuran di DKI Jakarta untuk mengungsi di pelataran kantor Komnas Perempuan berkenaan dengan peristiwa pengungsian ini adalah:
(1) Melakukan lobby kepasa Dinas Kesehatan Pemda DKI, sehingga korban penggusuran memperoleh akses terhadap layanan kesehatan secara cuma-cuma di beberapa puskesmas dan rumah sakit yang telah ditentukan dengan menunjukan surat keterangan dari Komnas Perempuan.
(2) Menyediakan ruang pemeriksaan kesehatan bagi para korban penggusuran di kantor Komnas Perempuan. Adapun tenaga medis disediakan oleh Komnas Anak.
(3) Bersama Komnas HAM menjalin kerja sama dengan Dinas Sosial Pemda DKI untuk penyediaan tempat tinggal sementara bagi warga yang mengungsi.
Pada bulan April 2006, Pelapor Khusus Komnas Perempuan untuk Aceh menyampaikan laporan hasil temuannya kepada publik, serta Pemerintah NAD dan Pemerintah pusat. Laporan tersebut berisi, antara lain, hasil dokumentsai pemenuhan hak asasi perempuan pengungsi Aceh, serta hasil pemantauan terhadap kasus penggusuran paksa yang dialami kaum perempuan di lokasi pengungsian korban tsunami.
Pada bulan Juni 2006, Komnas Perempuan melakukan pemantauan terhadap kasus penyerangan dan pengrusakan pemukiman Jamah Ahmadiyah di Praya dan Matram, NTB. Pemantauan ini bertujuan, antara lain, untuk mengidentifikasi pelanggaran hak assai perempuan yang muncul dalam tindak penyerangan dan pengrusakan pemukiman tersebut.
F. Penutup
Data penggusuran paksa yang terpapar dalam tulisan ini hanya sebagian kecil saja dari realitas tidak terpenuhinya hak warga masyarakat atas perumahan. Gambaran awal ini semoga dapat memacu pemerintah untuk memenuhi kewajibannya dalam mewujudkan hak seluruh warga negaranya atas perumahan, sebagai konsekuensi dari ratifikasi Konvenan Ekosob.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar