Minggu, 10 Juli 2011

Perempuan dan Laki-laki yang Meretas Damai di Poso

 Foto dk-insufa.info
Dewi Nova Wahyuni


Sejak konflik membutuhkan masyarakat untuk menjadi mesin dan sasaran perang, perdamaian yang hakiki adalah mengembalikan masyarakat menjadi agen perdamaian dan melepaskan mereka dari sasaran konflik[1]

I.       Konflik Poso dan kegagalan Malino
Konflik Poso terjadi sejak 1998, konflik diawali dengan tindak kejahatan di masyarakat yang tidak sigap ditangani aparat penegak hukum, terutama ketika para pihak yang terlibat berbeda agama[2].  Kondisi ini diperburuk dengan pemanfaatan situasi oleh kepentingan politik elit pemerintah dalam rangka mobilisasi massa untuk perebutan jabatan politis. Konflik kemudian dikondisikan menjadi konflik horisontal antara komunitas muslim dan kristen. Pembentukan pasukan perang dikedua belah pihak memperparah kondisi, sementara elit agama pun sering terjebak dalam konstalasi dikotomis agama.[3]

Pemerintah merespon situasi ini dengan inisiasi kesepakatan damai di satu sisi dan mengeluarkan kebijakan operasi keamanan dengan konsentrasi militer dan polisi di sisi lain. Pada tanggal 20-24 Desember 2001, pemerintah merancang rekonsiliasi bagi pihak-pihak yang berkonflik melalui Deklarasi Malino untuk Poso (Deklama I). Deklama tidak memuaskan masyarakat karena tidak melibatkan mereka, juga tingkat kekerasan dan pelanggaran HAM terus meningkat.

 “Saya korban konflik,  dari Ampana - Tojo Una-una. Mengenai Deklarasi Malino menurut saya tidak tuntas, karena masih ada gejolak setelah itu. Karena yang diperhadapkan hanya orang penting saja, bukan kami sebagai akar. Ibarat pohon, masyarakat itu bagian akarnya. Kalau yang terkena ulat akar, itu lebih berbahaya. karena yang lebih tahu persis masalah adalah yang akar bawah. Yang dari atas tidak mau memunculkan masalah-masalah kami.” (Mama Jiki)[4]  

Berdasarkan pemantauan KontraS Sulawesi, sepanjang tahun 2002 – 2005 (Paska Deklarasi Malino) terjadi 27 kasus penyerangan; 4 kasus penculikan; 4 kasus penangkapan sewenang-wenang; 11 kasus pembunuhan; 34 kasus pemboman; 6 kasus penemuan bom; 42 kasus penembakan dan 25 kasus penganiayaan.

Kekerasan ini juga seringkali momentumnya dikaitkan dengan hari besar umat Islam dan Kristen.


Tahun
Idul Fitri
Natal
Tahun Baru
2003
18 Nop. penyerangan Desa Beteleme, Saatu, Pinedapa Poso Pesisir
-
-
2004
8 Nop.  pukul 10.30, penembakan di kelurahan Tegal Rejo Poso,
13 Nop.  (1 hari menjelang Idul Fitri) peledakan bom di depan Pasar Sentral Poso
12 Des.
*       19.10 WITA, peledakan bom dan penembakan di Gereja Imanuel.
*       19.20 WITA, penembakan di Gereja Anugerah Masomba, Palu
24 Des. percobaan pemboman dalam mobil jurusan Sayo-Kawua-Poso
26 Des. peledakan bom di jembatan II Poso antara kelurahan Gebang Rejo dan Lembomawo

Bom:
27 Des. 2 x di Desa Sayo
29 Des. di Kelurahan Ronononcu, Poso Kota, Poso
31 Des. 2 x di Jl. Pulau Bali dan Jl.Pulau Kalimantan (dekat Gereja Pantekosta Jemaat Bethani)
2005
29 Okt. Mutilasi 3 siswa.
3 Nov. penemuan  bom dan teror (ancaman)
-
Bom,
31 Des. di Pasar Dagang Mahesa

Sejak tahun 2000, pemerintah melakukan berbagai operasi, dari mulai Operasi Cinta Damai sampai Sintuwu Maroso I – V (2005). Operasi berkonsekuensi pada konsentrasi pos berserta pasukan keamanan di tengah-tengah masyarakat. Operasi keamanan tidak lagi mengamankan ketika timbul kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh mereka terhadap masyarakat, baik yang memperuncing konflik diantara komunitas muslim dan kristen maupun kekerasan berbasis gender yang merugikan perempuan dari dua komunitas.


Seorang korban (dari komunitas muslim) yang selamat menyampaikan testimoni sebagai berikut:
”Ketika konflik sedang menguat antara Muslim dan Kristen, saya dan beberapa orang ditangkap oleh aparat keamanan, diangkut pakai truk, dan diturunkan di desa yang mayoritas Kristen, seolah-olah mengumpankan saya. Waktu itu, saya berhasil melarikan diri. Mengapa aparat kemanan melakukan itu?”[5]

Pada  tahun 2003, penulis[6] menerima pengaduan dari 3 orang perempuan: Mereka adalah keluarga Pendeta Susianti yang ditembak di bagian kepalanya ketika sedang memberikan ceramah di gereja; seorang ibu yang suaminya hilang dan ditemukan sebulan kemudian telah menjadi mayat dan seorang perempuan muda, yang sedang membesarkan anaknya hasil berpacaran dengan aparat BKO yang meninggalkannya begitu saja. Perempuan muda ini menjelaskan bahwa apa yang ia alami juga banyak dialami perempuan di desa-desa lain. Di desanya yang ia ketahui ada sekitar 10 perempuan mengalami perlakuan yang sama, 6 dipaksa aborsi oleh pacarnya dan hanya 1 yang dinikahi.

Konsentrasi pasukan keamanan juga menyerap biaya pemerintah daerah dan biaya hidup masyarakat. Tak jarang para perempuan diminta untuk mencuci dan memasakan makanan mereka.

Data jumlah Pasukan non Organik POLRI dan TNI di Poso[7]

Pasukan
OPS SM I
(6 bulan)
OPS SM II
(3 bulan)
OPS SM III
(3 bulan)
OPS SM IV
(3 bulan)
OPS SM V
(3 bulan)

1/1-30/6/03 KBP BRIMOB
1/7-30/9/03 KBP RESKRIM
1/10-10/12/03 KBP BRIMOB
1/4-12/7/04 KBP RESKRIM
13/7/04-14/1/05 AKBP Poso
AKBP Mrwi
Polda Sulteng
21478
1765
1902
1692
1737
BKO
1016
525
421
889
425
TNI
968
845
900
1350
1350
Jumlah
4162
3135
3223
3931
3512
 Sumber: Paparan Polda Sulteng pada Dialog Publik, LPSHAM, Poso, 23 Mei 2005. Catatan: Angka jumlah aparat keamanan yang di BKO di Poso tidak termasuk jumlah intelegen dari berbagai kesatuan (BIN, Mabes Polri, Kopassus)

Lalu dengan pendekatan rekonsiliasi elit dan operasi keamanan demikian, apa yang bisa digantungkan masyarakat kepada pemerintah tentang mimpi perdamaian?

Seorang ibu menuturkan proses yang ironi terkait operasi keamanan: ”Waktu itu, meski konflik sedang berlanjut, saya tetap kerja di kebun untuk makan anak-anak. Tiba-tiba saya mendengar derap pasukan dan tembakan. Saya lari dan mencari tempat berlindung.  Ketika sedang tiarap, saya sadar tidak sendiri, ada seorang ibu dari komunitas yang sedang berkonflik dengan komunitas saya. Kami diam-diaman karena gengsi. Tetapi saya mulai berpikir sebetulnya konflik ini terjadi antara siapa dengan siapa? Karena ternyata kami harus sama-sama sembunyi. (Sumber: informal meeting jaringan peringatan dini konflik Aceh dan Poso)

 II.                Perempuan Memberi Makan (baca: Damai), Laki-laki Membangun Laskar
Sebelum inisiasi perdamaian tumbuh secara terorganisir di masyarakat Poso, laki-laki dan pimpinan agama kedua komunitas terjebak dalam perang atas nama agama dan saling mempersiapkan laskar. Dalam kondisi perang, setiap orang harus terus makan, setiap yang luka akibat perang harus diobati, dan perempuan banyak menjalankan peran-peran untuk mengatasi hal itu.

”Waktu  itu, pesantren orang tuaku menjadi tempat pengungsian. Dan para lelaki mempersiapkan laskar. Andai saja kamu menjadi kami, yang setiap hari menghadapi anggota keluarga, tetangga desa yang mengungsi, lengkap dengan cerita kekerasan yang mereka hadapi, kamu akan mengerti betapa sulit untuk tidak membangun laskar. Aku, sebagai perempuan bahkan menyediakan diri menjadi laskar. Walaupun tugasnya di garis belakang untuk mengobati mereka anggota laskar yang terluka.”(Sumber: Kesaksian seorang perempuan, sebelum ia memutuskan menjadi pekerja perdamainan pada informal meeting jaringan peringatan dini konflik Aceh dan Poso )

Tuturan ini memperluas cakrawala situasi perempuan dalam konflik. Selama ini, perempuan sering digambarkan sebatas korban konflik yang pasif, dengan segala macam sensasi ’objektifikasi’ perempuan yang umum diperkuat media ketika mengabarkan konflik. Setiap tahun organisasi perempuan dan organisasi HAM melaporkan perempuan korban konflik, baik di tingkat lokal maupun nasional. Kita jarang mendengar laporan tentang keterlibatan perempuan sebagai pelaku konflik atau pelaku perdamaian. Laporan dan cerita tentang kekuatan, ketangguhan dan semangat perempuan meretas damai sering tidak ditangkap. Cara pandang ini juga yang kemudian membuat setiap pihak yang berkepentingan dalam perdamaian tidak melibatkan perempuan. Hal yang sebenarnya terjadi dalam Deklama. Faktanya, perempuan di dua komunitas telah meretas damai, jauh hari bahkan sebelum NGO dan pemerintah merancang proses perdamaian.

Perempuan-perempuan muslim di Desa Tokorondo, memberanikan diri menjual ikan ke desa lain yang komunitasnya saat itu sudah terkonsentrasi komunitas Kristen. Salah seorang dari mereka menuturkan:

  ”Saya harus cari uang untuk makan dan sekolah 6 anak saya. Saya menjual ikan dan menyabit padi di sawah mereka. Untuk keselamatan, kami tidak pernah jalan sendiri, kadang 3 – 5 orang. Pada awalnya, pintu-pintu rumah tertutup, mungkin mereka curiga kami jadi mata-mata. Lama-lama ada ibu yang berani beli,  kami berusaha senyum setiap ketemu ibu-ibu dari komunitas Kristen, walaupun ada yang membalas ada juga yang menutup pintu. Kami terus melakukannya untuk makan anak-anak”[8].

Hal yang sama dituturkan oleh ibu-ibu dari komunitas Kristen. Pada awalnya mereka segan untuk membeli, tetapi ketika ada ibu lain yang berani beli dan tidak terjadi apa-apa, mereka mulai berbelanja pada ibu-ibu Muslim.  Bahkan pada perkembangan selanjutnya, ibu-ibu Kristen berperan sebagai inforwomen kepada ibu-ibu Muslim untuk memberitahu jalur dagang yang aman di desa mereka agar terhindar dari tindak kekerasan.  Ketika konflik Poso diperuncing dengan ’politik gosip’ bahwa pihak lawan akan menyerang, dll, perempuan-perempuan ini kemudian menjadi agen yang mengklarifikasi isu, sehingga konflik tidak memburuk.

Peran Perempuan Poso dalam Perdamaian
Dari proses itu, sedikitnya tiga hal strategis  yang telah dilakukan perempuan untuk membangun perdamaian. Pertama, upaya-upaya untuk mempertahankan keberlangsungan hidup keluarga dan komunitas yang secara bersamaan membantu keberlangsungan hidup keluarga dan komunitas pihak lawan. Proses ini mereka lalui, dengan meluruhkan ego dan gengsi untuk memblok komunikasi antar pihak. Kedua, perempuan dari kedua komunitas membangun guide line security untuk keselamatan diri dan keselamatan perempuan pihak lawan. Ketiga, peran mereka mengklarifikasi ’politik gosip’ pihak lawan akan menyerang, yang membantu kedua komunitas untuk lebih jernih dan kritis. Hal itu merupakan 3 pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang bisa menjadi landasan sistem peringatan dini berbasis komunitas. Pertanyaan kritisnya: Sudahkan pihak-pihak yang berkepentingan dengan perdamaian, menangkap peran-peran strategis mereka dan mengakui serta menghargainya sebagai konsep perdamaian? Dan mengakui peran mereka sebagai pelaku perdamaian yang harusnya diperhitungkan baik dalam proses perdamaian berbasis komunitas maupun yang bersifat elit?

 III.             Membangun Perdamaian ala Masyarakat Poso

”Masa perdamaian ditentukan oleh masyarakat dengan membicarakan bagaimana leluhur kita hidup berdampingan. Supaya pengaruh konflik yang masuk tidak boleh menyebar agar MAROSO (bersatu kita teguh); dalam keberagamaan kita menginginkan tidak ada percecokan, jadi ini hanya disebabkan oleh pengaruh-pengaruh yang masuk dari luar.”[9]

Jonatan Lassa[10] dan Syamsul Alam Agus[11] dalam “Drafting A Conceptual Framework on Community Based Conflict Early Warning System (CB-CEWS)” merumuskan peringatan dini konflik dengan pendekatan komunitas  dengan mengandaikan adanya peringatan dini yang dilakukan di tingkat komunitas oleh komunitas sendiri dan/atau fasilitator perdamaian tingkat kampung, yang menghasilkan respon awal,  secara relatif cepat dan menghasilkan pencegahan [conflict prevention] awal yang berujung pada peace building yang berkelanjutan. Berangkat dari keyakinan itu, lembaga non pemerintah LPSHAM (Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia) dan komunitas meretas perdamaian dengan berbagai tantangannya. Selain tantangan menumbuhkan perdamaian yang berkelanjutan adalah juga bagaimana sebuah proses perdamaian menjawab persoalan-persoalan praktis yang dihadapi komunitas yang sedang berkonflik.

 ”Pengalaman saya, kita butuh damai tapi kita juga butuh agar anak-anak bisa makan dan sekolah. Suami saya dibunuh dan tidak dapat pensiun, saya juga bukan PNS. Saya melanjutkan kehidupan dengan membuat dan menjual bawang goreng”. (Mama Nety, sekarang aktif di SKPHAM)

Lalu apa yang sudah dilakukan masyarakat Poso untuk menjawab kedua tantangan tersebut? Berikut temuan-temuannya:

Lima Cara Masyarakat Poso Membangun Perdamaian
 1. Dari Pemenuhan  Kebutuhan Praktis ke Kebutuhan Strategis
Kebutuhan strategis di masa konflik adalah tewujudnya perdamaian, tetapi siapa yang peduli dengan perdamaian? Ketika suami kita dihilangkan, adik kita ditembak, rumah-rumah dan layanan publik dibakar, dan kita terpaksa mengungsi. Yang ada adalah semangat membangun laskar, seperti juga yang sedang dipersiapkan pihak lawan. Apalagi, negara sebagai pihak yang berkewajiban menjaga keamanan tidak menjalankan tugasnya dengan baik.

Di saat bersamaan, konflik terus mengurangi derajat kemanusiaan masyarakat. Masyarakat kehilangan rumah tinggal, kampung, berikut kebun sebagai sumber penghidupan. Anak-anak tidak bisa lagi sekolah karena situasi tidak aman dan gedung sekolah dibakar. Kehilangan keluarga, keluarga terluka, atau dirinya yang terluka, menimbulkan tidak saja luka fisik sampai kematian, tetapi juga trauma psikis.

Situasi ini yang berhasil ditangkap oleh teman-teman LPSHAM, sehingga pada awal membangun bersama perdamaian dengan masyarakat, mereka masuk melalui isu kebutuhan praktis dan menunda kebutuhan strategis –membicarakan perdamaian sampai saat yang memungkinkan. Para pegiat LPSHAM tidak datang ke komunitas muslim dan Kristen dengan isu perdamaian, tetapi menggali bersama persoalan-persoalan praktis yang sedang mereka hadapi. Misalnya, mereka datang dengan program pembangunan MCK. Ateng –pegiat perdamaian dari masyarakat Desa Tokorondo—menyampaikan: Ketika bangunan sekolah dibakar, ia bersama LPSHAM membentuk sekolah tanpa dinding. Ia sendiri secara relawan menjadi ’guru sementara’ untuk memenuhi hak anak atas pendidikan. Mereka juga bekerja sama dengan pers agar mendesak Departemen P&K untuk pembangunan kembali bangunan sekolah.

Dari proses ini Ateng dan teman-teman LPSHAM menemukan teori:
”Jangan pernah bicara perdamaian pada orang lapar.”

Dan dari proses pemenuhan kebutuhan praktis ini, perlahan-lahan mereka mulai mengajak komunitas membicarakan tentang perdamaian.

  1. Mempertemukan Komunitas yang Berkonflik
Untuk membangun jaringan perdamaian berbasis komunitas, LPSHAM menumbuhkan Fasilitator Desa (FD) di komunitas Muslim dan Kristen. FD direkrut dari komunitas yang sebagian besar adalah para pemimpin laskar perang.

Setelah dan sambil membangun kebutuhan praktis komunitas, LPSHAM melakukan pertemuan-pertemuan antar dua komunitas yang berkonflik, secara bertahap. Dari pertemuan kecil, antar FD, atau sekitar 5 orang (misalnya 3 orang Kristen dan 2 orang muslim), dengan persiapan di kedua belah pihak untuk membuka peluang damai. Juga kegiatan saling kunjung FD ke komunitas pihak lawan. Dalam pertemuan tersebut, mereka mengungkapkan masalah yang dihadapi, mencari kesamaan kebutuhan sampai pada tahap bagaimana cara mereka memenuhi kebutuhan. Pada tahap ini juga mengkritisi ”mengapa selama ini hanya komunitas Muslim/Kristen saja yang mengadvokasi kebutuhan mereka kepada pemerintah? Mengapa tidak dilakukan bersama-sama?” Selanjutnya pertemuan kecil dan saling kunjung FD ini dilakukan dalam jumlah yang lebih besar.

  ”Pada masa konflik, pernah ada kunjungan muslim dari Poso untuk silaturahmi yang diakhiri dero (tarian komunitas setempat). Selain pegangan tangan, kami menyanyi pantun-pantun yang membawa alur pada sekarang/perdamaian.” (kesaksian komunitas Kristen di Tentena)[12]

Dalam pertemuan-pertemuan itu, dibangun analisa bersama bahwa konflik tidak berbasis agama tetapi kepentingan tertentu. Untuk menguatkan proses ini, FD melakukan pendekatan informal kepada tokoh adat, agama, masyarakat dan kumpulan pemuda Muslim dan Kristen.  Selain itu juga dilakukan pendekatan adat dengan cara menggali kekerabatan diantara dua pihak berkonflik. Misalnya mengingatkan komunitas Lagee dan komunitas Sepe. Meskipun mereka berbeda agama tetapi dekat secara kekerabatan. Dan memelihara praktek adat  sintuwu maroso (ketika ada kenduri kematian atau kegembiraan, komunitas saling mengundang, dan yang diundang bergotong royong membawa beras, tanpa membedakan beragama Islam atau Kristen).

Untuk menjaga proses perdamaian yang sedang digagas, mereka juga menempatkan ’pagar desa’ di perbatasan desa, untuk menangkap situasi yang akan mengancam perdamaian dan menyebar upaya penanganan.

  1. Tumbuhnya Forum Masyarakat
Selanjutnya muncul kebutuhan masyarakat untuk membentuk forum yang melibatkan 2 komunitas berkonflik seperti: Forum Masyarakat Poso Pesisir Bersatu, Forum Komunikasi antar Umat Beragama (FKUB) dan terbentuknya  kelompok tani. Kohesi antar komunitas dibangun melalui lomba olah raga yang melibatkan 2 komunitas berkonflik dalam satu tim,  menari dero dan saling melayat.

Pada proses ini, inisiatif dan dukungan para pemimpin masyarakat memperkuat inisiatif yang mulai tumbuh di komunitas. Antara lain pertemuan antar kepala desa untuk mengklarifikasi isu yang mengancam perdamaian. Demikian juga peran pendeta dan ustad.

”Ketika masyarakat sudah sadar, kita mesti merespon lagi supaya perdamaian lebih terwujud. Misalnya menunjukan bagaimana saya sebagai pendeta bisa bersalaman  dengan ustad? Muncul pertanyaan (dari jemaat), kok Ibu pendeta bisa bersalaman? Dari  pertanyaan itu, saya bisa memberi penjelasan sebagai pelayanan.” (Pendeta Yulende)

  1. Transformasi Korban Konflik Menjadi Agen Perdamaian
Tidak ada konflik yang tidak menjadikan masyarakat sebagai korbannya. Pengabaian terhadap pemenuhan hak korban berpotensi menimbulkan konflik berkelanjutan. Secara moral, pengabaian partisipasi korban dalam proses perdamaian adalah kejahatan sejarah, karena mereka pihak yang paling dirugikan. Karenanya, melibatkan korban sebagai agen perdamaian bukan suatu kebaikan tetapi suatu keharusan[13]

Sedikitnya korban memiliki 3 hak dasar: Hak atas pemulihan, baik secara fisik, psikis, seksual, politik dan pemulihan sumber penghidupannya; Hak atas kebenaran, pengakuan terhadap tindak kekerasan dan atau pelanggaran hak yang mengenainya; dan hak atas keadilan. Hak keadilan dimaknai korban secara beragam, dari mulai pemenuhan keadilan melalui prosedur hukum nasional, hukum adat, mediasi dan lain-lain. Tidak mudah untuk memenuhi seluruh hak korban. Di Poso pemenuhan hak itu mulai tumbuh dengan melibatkan korban sebagai agen perdamaian, sehingga apa yang telah mereka alami tidak terjadi lagi pada dirinya dan orang lain.

Saat ini, korban dari komunitas muslim dan Kristen telah mengorganisir diri dalam SKPHAM (Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia), yang aktif melakukan kegiatan perdamaian. Proses ini juga difasilitasi oleh LPSHAM sebagai bagian dari proses pembangunan perdamaian berbasis komunitas.

Pada pertemuan penulis dengan beberapa korban, mereka menyatakan: Mereka tergerak untuk berorganisasi, supaya apa yang sudah mereka alami tidak terjadi lagi dan ingin membangun perdamaian.  Walaupun sejak awal mereka menggunakan kekuatan spiritual untuk bertahan, tetapi itu saja tidak cukup, mereka butuh berjaringan untuk saling menguatkan. Kegiatan mereka untuk memikirkan ke depan (perdamaian) dan upaya NGO dan masyarakat untuk menempuh jalur hukum (misalnya) untuk kasus penembakan, menjadi bagian proses yang membantu pemulihan trauma para korban.

  1. Para Perempuan yang Bekerja dengan Cara Perempuan
Pengalaman Masna, Koordinator Lapangan KPKPST (Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah) dan dokumentator Komnas Perempuan, berasal dari Desa Tokorondo:

”Waktu konflik, sebagai perempuan muslim, saya  memberanikan diri menjadi koordinator lapangan untuk mengorganisir kelompok perempuan dan mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di komunitas Kristen. Banyak orang, heran, bagaimana saya bisa melakukannya? Dengan carasusupo (bergosip), membantu mereka buat air panas, ikut berkebun coklat, saya dapat bekerja sama dengan mereka.”

Pengalaman Ibu Ranti, dokumentator Komnas Perempuan, berasal dari Desa Tongko:
”Sejak tahun 2003, saya  bekerja untuk mendokumentasikan perempuan korban kekerasan oleh aparat dan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Mulai dari perkosaan, kekerasan seksual oleh aparat militer, penelanjangan di kilo 9. Yang paling marak penghamilan dan aborsi paksa juga penembakan. Selain mendokumentasikan kasus, bekerja sama dengan KPKPST melakukan pendampingan dan pengorganisasian kelompok perempuan.”

Pengalaman yang sama disampaikan oleh Heidy, Dina, dan Novi di Tentena. Dalam mendokumentasikan kasus, mereka bekerja dengan prinsip-prinsip yang mengutamakan hak korban dan dengan cara yang dapat diterima perempuan, sehingga kasus kekerasan memungkinkan terungkap. Mereka juga memperhatikan dan membangun bersama aspek pemulihan psikis, sebagai kebutuhan dasar korban dalam proses pendokumentasian tersebut.

Pengalaman Nurlaela, Koordinator SKPHAM:
”Saya mau berbagi pengalaman sebagai muslim yang menerobos komunitas Kristen. Saya datang menemui mereka dan berbicara perdamaian di dalam gedung gereja.”
Proses perdamaian juga tidak lepas dari inisiatif para pendeta yang sebagian besar perempuan dan  KPKPST sebagai organisasi perempuan yang bekerja di 2 komunitas berkonflik. WIA (Wanita Islam Al Khairat) menyampaikan pesan perdamaian, melalui pengajian kelompok ibu-ibu. Selain itu juga terbentuk Forum Maluku Utara - Ambon - yang terdiri dari perempuan muslim dan Kristen.

Kita juga tidak akan pernah melupakan keberanian ibu-ibu muslim yang menjual ikan ke komunitas Kristen. Dan keberanian ibu-ibu Kristen untuk melindungi keselamatan ibu-ibu Muslim (lihat Bab II).

Tuturan perempuan Poso tersebut menunjukan keberagaman dan keholistikan peran mereka dalam proses perdamaian: Dari mulai peran penghidupan keluarga dan komunitas; membangun kepercayaan antar dua komunitas berkonflik; sampai pendokumentasian dan penanganan perempuan korban kekerasan militer dan polisi sebagai dampak kebijakan keamanan yang dijalankan negara. 

Kesimpulan
Tidak ada proses perdamaian yang berhenti, ia selalu dinamis dengan ancaman perdamaian yang juga terus berlangsung. Cerita sukses jaringan peringatan dini konflik di Poso juga diperhadapkan dengan potensi-potensi konflik yang muncul. Saat ini, isu korupsi dana  konflik sedang menjadi pantauan dan advokasi Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) Sulteng. Di sisi lain, meskipun kerja sama antara jaringan perdamaian dengan pers sudah terbangun sejak konflik berlangsung, tetapi upaya untuk mewujudkan peace jurnalism masih menjadi tantangan kedua belah pihak. 


Demikian juga terkait pemenuhan keadilan masyarakat melalui jalur hukum, baru sedikit kasus kekerasan yang dapat ditangani melalui meja pengadilan. Rasa keamanan masyarakat juga masih diguncang dengan isu Kuntilanak di beberapa desa, yang diyakini tidak hanya menghilangkan penis  tapi juga mendatangkan kematian, jika korban tidak segera ditolong dukun. Masyarakat juga dihadapkan dengan pembentukan POLMAS (Polisi Masyarakat) yang menghadirkan anggota polisi di tingkat desa, lengkap dengan fasilitas gedungnya yang lebih permanen dari klinik desa. Jaringan perdamaian sempat mengkritisi: ”Jika kami mulai mampu menjaga perdamaian, POLMAS mengapa harus?”




[1] Refleksi penulis, terinspirasi gerakan perdamaian yang dijalankan masyarakat di Poso
[2] Data  tahun 2002 menunjukan 57,20% penduduk Poso beragama Islam dan 40,18 % Kristen (sumber: Data BPS, Kabupaten Poso, 2002.
3] Simpul Sulawesi Tengah, “Deklarasi Malino: Proyek Negara yang Gagal” dalam buku “Negara adalah Kita”, Prakarsa Rakyat, Jakarta: 2006.

4] Disampaikan pada pertemuan jaringan peringatan dini konflik Aceh dan Poso di Tentena
5] Disampaikan pada pertemuan jaringan peringatan dini konflik Aceh dan Poso 
[6] Saat itu bekerja sebagai Koordinator Divisi Pemantauan Komnas Perempuan
[7] Siaran Pers Bersama KontraS, LPSHAM dan PBHI, 21 Juli 2005
[8] Disampaikan pada  informal meeting jaringan peringatan konflik dini Aceh dan Poso di Desa Tokorondo.
[9] Disampaikan salah satu peserta dalam pertemuan jaringan peringatan dini konflik Aceh dan Poso, di Tentena. 
[10] Penulis adalah Former Coordinator of HIVOS Aceh Program.
[11]Penulis adalah konsultan CB-CEWS di Hivos Des 2006-Mei 2007. Mantan ED LPS-HAM Palu dan sekarang aktif pada Kontras Nasional di Jakarta.
[12] Disampaikan pada pertemuan jaringan peringatan dini konflik Aceh dan Poso, di Tentena.
[13] Refleksi penulis, terinsipirasi pertemuan dengan korban konflik Poso.

1 komentar:

  1. Casinos Near Casinos in LotoCal - Mapyro
    Casinos with casinos in LotoCal 하남 출장마사지 - See mapyro real-time reviews, 서귀포 출장샵 This casino is a large casino located in 화성 출장마사지 Loto County in Loto County, California 경상남도 출장샵 and 부천 출장마사지 is

    BalasHapus