Minggu, 10 Juli 2011

Menjahit Pluralisme dan Penegakan Hak-hak Dasar Perempuan

Foto etnikaos.wordpress.com
Dewi Nova Wahyuni
www.jurnalperempuan.com, 2008

Satu Juni 2008, FPI menyerang AKBB, termasuk perempuan dan anak-anak, yang akan melakukan aksi damai di monas. Di Cianjur, 19 September 2005, sekitar 200 massa merusak mesjid, rumah dan harta benda komunitas Ahmadiyah. Sebagian penyerang mengancam akan memperkosa seorang ibu yang hamil sembilan bulan. Di Lombok Tengah, setelah penyerangan pada 17 Maret 2006, seorang perempuan Ahmadiyah yang menikah dengan sesama muslim yang bukan Ahmadiyah digugat status pernikahannya. 


Penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah adalah bagian dari penolakan sekelompok orang terhadap keberagaman. Pada situasi itu, perempuan mengalami kekerasan dan diskriminasi tidak saja berbasis pada keyakinan beragama tetapi juga karena identitas mereka sebagai perempuan. 

Dari Kekerasan Seksual Hingga Penghilangan Sumber Penghidupan
Penolakan terhadap pluralisme, lahir dari pemikiran dominan yang menolak keberagaman gagasan dan kebutuhan. Cara berpikir itu memperburuk relasi kuasa yang timpang antara perempuan dan laki-laki. Hal itu, antara lain dialami perempuan Ahmadiyah pada penyerangan massa di Cianjur dan NTB. 

Di Cianjur, pada saat penyerangan sebagian penyerang mengancam akan memperkosa perempuan yang sedang hamil. Ancaman serupa menimpa seorang ibu dan anak perempuannya yang sedang bersembunyi di WC. Di pengungsian Praya, Lombok Tengah, seorang anak perempuan diteriakin teli (vagina) oleh Satpol PP yang menjaga pengungsian, ketika ia menolak untuk digoda. Sementara itu, seorang isteri digugat status pernikahan oleh KUA setempat, karena pernikahannya dengan lelaki muslim bukan Ahmadiyah, dianggap pernikahan kafir dan muslim. Penyerangan juga mengakibatkan penurunan dan kehilangan akses sumber penghidupan. Di NTB, Ibu-ibu yang berjualan di pasar, penghasilannya menurun setelah diketahui bahwa mereka komunitas Ahmadiyah. Seorang ibu guru di SD Negeri di Praya, diminta berhenti mengajar oleh pihak sekolah. Situasi itu juga mengakibatkan penurunan derajat kesehatan perempuan. Di NTB, seorang ibu yang menyaksikan rumahnya dibakar mengalami stress dan menjalani perawatan di RSJ Mataram. Seorang ibu yang hamil 4 bulan, mengalami keguguran seminggu setelah penyerangan. Di Cianjur, ibu hamil 9 bulan yang diancam akan diperkosa, mengalami kesulitan pada proses persalinan. Menurut mereka, penurunan kondisi kesehatan tersebut, terkait situasi mental mereka paska penyerangan. Bahkan pada proses persalinan, ibu itu tidak berani meminta bantuan bidan. Situasi yang represif membuatnya takut ditolak bidan, sehingga ia dibantu Enek Beurang (dukun beranak). Pada saat bersamaan, perempuan sebagaimana laki-laki Ahmadiyah menghadapi gangguan dan sikap-sikap diskriminatif yang berbasis agama.

Fakta-fakta tersebut menunjukan penolakan terhadap pluralisme memperkuat kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. Akibat peran gendernya, perempuan menanggung lebih banyak pelanggaran hak dibanding laki-laki. Sementara itu, pemulihan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat belum sepenuhnya membaca kebutuhan khusus mereka. Perempuan pengungsi di NTB, meskipun sama-sama mendapat bantuan kesehatan dasar sebagaimana laki-laki, mereka tidak mendapat layanan khusus terkait kontrasepsi, untuk ibu hamil dan melahirkan. 

Mengapa Kebutuhan Khusus Perempuan Hilang dalam Wacana? 
Terdapat dua tantangan yang mengakibatkan kerentanan dan kebutuhan khusus perempuan tidak ’terbaca’ pada penyerangan Ahmadiyah. Pertama, cara pandang belum sensitif gender pada setiap pihak yang membantu. Kita masih berpikir isu antipluralisme lebih utama dari isu perempuan yang mengalami kekerasan berbasis gender pada kasus terkait. Akibatnya, dalam wacana dan advokasi pluralisme, persoalan berbasis gender sering dilupakan. Padahal keduanya adalah pelanggaran hak-hak dasar kemanusiaan, yang secara equal mesti menjadi perhatian secara integral dan bersamaan. Kedua, secara internal, upaya Ahmadiyah untuk mengintegrasikan perjuangan keadilan gender bersamaan perjuangan mereka membela keyakinan belum maksimal. 

Pengalaman perempuan Ahmadiyah, satu dari banyak pengalaman perempuan yang menghadapi diskriminasi dan kekerasan berlapis akibat keyakinan dan identitas keperempuannya. Pengalaman serupa menimpa setiap perempuan yang membela keyakinan dan hak-hak dasarnya. Diskriminasi dan kekerasan berlapis dialami oleh perempuan korban peristiwa 65, Mei 98, perempuan tani dan buruh juga perempuan pembela HAM. Semoga keberanian 2 perempuan Ahmadiyah yang bertestimoni pada peluncuran laporan pemantauan Komnas Perempuan pada 22 Mei lalu, membuka cakrawala publik, bahwa bersamaan perjuangan keberagaman keyakinan, terdapat perjuangan perempuan untuk menghentikan kekerasan berbasis gender. Selanjutnya, mari menjahit perjuangan penghormatan pluralisme dengan perjuangan hak-hak dasar perempuan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih berkeadilan. 

*Penulis pemantau kasus penyerangan komunitas Ahmadiyah di Cianjur dan NTB. 
**Data bersumber pada pemantauan langsung yang dilakukan penulis dan “Laporan Pemantauan HAM Komnas Perempuan, Perempuan dan Anak Ahmadiyah: Korban Diskriminasi Berlapis.” Komnas Perempuan, Jakarta: 22 Mei 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar