Selasa, 19 Juli 2011

Persidangan Kasus Cikeusik: Diskriminasi Mengancam Keadilan

FOTO ANTARA/Asep Fathulrahman/Koz/pd/11. ANTARAFOTO


Dewi Nova Wahyuni
Voice of Human Rights, 20 Juli 2011
Kaskus, 28 Juli 2011
Cepathost.com, 28 Juli 2011
Prakarsa Rakyat, 28 Juli 2011

Pemusnahan sistematis dan berulang terhadap keyakinan kelompok minoritas akan mengancam kehidupan berbangsa. Kasus penyerangan Jemaat Ahmadiyah ujian independensi pengadilan Indonesia.


Pada  6  Februari 2011 sekitar 1.500  orang menyerang 20 warga Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Penyerangan yang disaksikan aparat Polri ini menewaskan 3 warga Ahmadiyah dan melukai 5 orang. Penyerangan yang terekam video amatir ini tersebar ke seluruh dunia, mempertanyakan kembali toleransi beragama di Indonesia yang populasi muslimnya terbesar di dunia.
Dari aspek penegakan hukum, pemerintah menyikapi kasus ini melalui pengadilan 12 terdakwa pelaku penyerangan di Pengadilan Negeri Serang. Pasal-pasal yang didakwakan terhadap mereka adalah pasal kekerasan terhadap orang/barang yang menyebabkan kematian, penganiayaan, kepemilikan senjata tajam, hingga pasal tentang penghasutan. Empat dari 12 terdakwa didakwa melakukan penghasutan. Perbuatan mereka diancam Pasal 160 KUHPidana dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara. Selain pasal penghasutan, empat orang itu didakwa melakukan kekerasan secara bersama yang mengakibatkan maut, sebagaimana diatur dan diancam Pasal 170 ayat (1) dan ayat (2) ke-3 KUHPidana dengan ancaman penjara maksimal 12 tahun. Jaksa menjerat 9 terdakwa yang lain dengan Pasal 170 ayat (1) dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun 6 bulan dan ayat (2) ke-3 KUHP dengan ancaman penjara 12 tahun tentang kekerasan bersama-sama yang mengakibatkan maut. Selanjutnya Pasal 358 ayat (2) KUHP mengatur mengenai turut serta dalam penyerangan atau perkelahian yang berakibat kematian dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun. Kemudian Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan dengan ancaman penjara maksimal 2 tahun 8 bulan. Juga Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12  Tahun 1951 tentang tanpa hak menguasai, membawa, mempunyai, atau menggunakan senjata pemukul, penikam atau penusuk, yang ancaman pidananya maksimal penjara 10 tahun.
Pada Juli 2011 jaksa menuntut para terdakwa paling lama 7 bulan penjara.Tuntutan yang rendah ini menjadi preseden buruk untuk menempuh keadilan melalui proses hukum bagi seluruh warga Indonesia, terutama mereka, penganut agama/keyakinan minoritas. Sebaliknya, tuntutan seperti itu membuka peluang lebih lebar pada perilaku melawan hukum, bagi warga yang  memilih diskriminasi dan kekerasan sebagai cara menjalankan hidup beragama.

Perlindungan Hukum Lemah
Peradilan memiliki keterbatasan untuk memenuhi rasa keadilan. Untuk merawat keadilan bagi setiap ragam keyakinan/kepercayaan, negara perlu menjalankan beberapa hal melalui kebijakan yang melindungi ragam keyakinan/kepercayaan, pencegahan tindak diskriminasi dan penyerangan serta pembunuhan terhadap penganut minoritas. Juga pemulihan menyeluruh bagi korban pasca-penyerangan.    
Karena sifatnya yang terbatas tersebut, proses persidangan dituntut mampu membaca konteks sosial politik, termasuk efek tuntutan jaksa terhadap masa depan hidup berbangsa. Karena itu, dasar tuntutan jaksa idealnya tidak terbatas pada berita acara pemeriksaan (BAP), apalagi dengan penggalian bukti pelanggaran yang lemah, yang mengakibatkan tuntutan hukuman yang rendah terhadap terdakwa.
Persidangan kasus Cikeusik ini bagian kecil kasus yang diproses ke persidangan dari banyak  kasus penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah yang pada beberapa tahun terakhir meningkat. Setara Institute melaporkansepanjang tahun 2010 Jemaat Ahmadiyah mengalami 50 pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Tahun-tahun sebelumnya Jemaat Ahmadiyah mengalami 15 pelanggaran (2007), 193 pelanggaran (2008), dan 33 pelanggaran (2009).Peningkatan kekerasan akan terus berlanjut, antara lain karena rendahnya hukuman terhadap penyerang dan sebaliknya hukuman yang lebih tinggi terhadap warga Ahmadiyah yang mempertahankan diri. Misalnya pada April 2011, Pengadilan Negeri Cibinong menjatuhkan hukuman antara 4 bulan dan 6 bulan penjara terhadap para penyerang dan perusak mesjid, sekolah, dan rumah warga Ahmadiyah di Desa Cisalada, Bogor. Sedangkan warga Ahmadiyah yang menusuk penyerang sebagai pembelaan diri dihukum 9 bulan. 
Apakah Pengadilan Negeri Serang akan mengulang preseden buruk sebagaimana dilakukan Pengadilan Negeri Bogor? Apakah polisi, jaksa, dan hakim akan terus mendengarkan suara warga yang tak ramah kepada minoritas dan terus menumbuhkan perilaku diskriminatif dan tindak kekerasan, ketimbang keadilan yang menjadi tanggung jawab mereka?

Siapa Menggugah Keadilan?
Tuntutan jaksa pada persidangan kasus Cikeusik terbukti rendah. Upaya pengadilan yang fair tinggal bergantung pada putusan hakim. Pembuktian, berikut prosedur peradilan yang lainnya, bukan satu-satunya landasan hakim untuk memutuskan penghukuman. Hakim juga wajib memperhatikan rasa keadilan masyarakat.
Sudah menjadi pengetahuan publik, cara kerja kelompok penyuka kekerasan selalu menggunakan kekuatan massa yang sewenang-wenang, baik pada proses penyerangan maupun pada saat para penyerang diproses hukum. Ketika sekian peristiwa penyerangan "dimenangi" melalui mobilisasi massa, mereka juga terus mempengaruhi persidangan dengan strategi serupa. Sementara itu, pengamanan di pengadilan belum berhasil mengantisipasi situasi tersebut, meski aparat keamanan sudah menghadapinya berulang-ulang. Di negara ini sungguh biasa menyaksikan ruang sidang di bawah tekanan massa. Situasi ini juga terulang pada pengadilan kasus Cikeusik. Walaupun Komisi Yudisial akan memantau sejauh mana imparsial proses pengadilan, publik tahu kehadiran  massa tersebut akan berpengaruh pada keberanian aparat hukum untuk menegakkan keadilan.
Hal itu terbukti dengan tekanan massa sebelum jaksa medakwakan tuntutan. Kalangan ulama Banten meminta tuntutan ringan terhadap 12 terdakwa yang telah menyerang dan membunuh warga Ahmadiyah. KH Muhtadi, pemimpin Pesantren  Raudatul Ulum, Pandeglang, meminta tuntutan ringan dengan alasan, “Saya mengikuti persidangan kasus ini sejak awal, dan saya melihat para terdakwa itu, terutama yang bukan dari Ahmadiyah memiliki tanggung jawab dan beban  untuk menghidupi keluarga masing-masing.” (Radar Banten, 8 Juli 2011).
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Tim Advokasi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Warga Negara, yang memantau proses persidangan, hingga Juni 2011 menemukan beberapa kelemahan pada proses persidangan. Antara lain dalam dakwaan jaksa tidak terdapat uraian mengenai konteks kekerasan berbasis keagamaan. Dalam hal ini jaksa tidak mengurai antara hasutan yang dilakukan Ujang, salah satu terdakwa, dengan tindakan brutal massa. Lemahnya uraian ini menghilangkan konteks kebencian berbasis keagamaaan dengan peristiwa penyerangan  dan pembunuhan. Hal itu yang selanjutnya mengakibatkan lemahnya tuntutan, sebagaimana penuturan anggota Divisi Advokasi Hukum Elsam, Andi Muttaqien. “Jaksa penuntut umum tidak maksimal dalam melakukan proses penuntutan. Karena Pasal 170 itu kan mereka ini kena pasal kekerasan terhadap orang yang berakibat maut. Itu maksimal hukumannya 12 tahun. Sedangkan jaksa dari proses persidangan ada yang menyatakan terdakwa memukul warga Ahmadiyah, sedangkan jaksa hanya sebentar memberikan tuntutan. Tujuh bulan itu jauh sekali dari hukuman maksimal,”kata Andi. (KBR68H, 7 Juli 2011)
Selain tekanan massa terhadap proses persidangan, sulitnya tuntutan dan putusan yang adil pada kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah bisa jadi terkait dengan keyakinan pribadi aparat hukum yang sejalan dengan pemikiran massa penyerang, yaitu menganggap keyakinan Ahmadiyah sesat. Anggota Komisi Yudisial  Bidang Pengawasan dan Investigasi, Suparman Marzuki, mengatakan, “Hakim tidak boleh hadir di persidangan dengan prasangka, dengan kecurigaan. Apalagi prasangka buruk terhadap siapa yang akan diadili, siapa yang menjadi terdakwa, termasuk dia harus mengesampingkan keyakinannya sendiri. Jadi, kalaupun dia membenci Ahmadiyah karena tidak sealiran dengan dia, itu dalam konteks keyakinan dia. Tapi itu tidak boleh mewarnai, mempengaruhi akal sehatnya, hati nuraninya didalam menyusun dan memproses persidangan itu, apalagi sampai putusan.”(KBR68H, 28 Juni 2011)
Berdasarkan pengalaman penanganan hukum pada kasus-kasus sebelumnya, agak sulit berharap putusan yang adil akan dihasilkan Pengadilan Negeri Serang. Namun, jika putusan yang rendah terulang lagi, maka aparat hukum secara langsung mencipta ruang kondusif bagi tindak kekerasan di Indonesia.

Independensi Pengadilan
Proses peradilan yang tidak fair dan putusan hakim yang belum memenuhi rasa keadilan, bukan satu-satunya kesulitan yang dihadapi warga Ahmadiyah. Sebelum persidangan digelar, bertahun-tahun warga Ahmadiyah menghadapi peristiwa kekerasan sistemis dan berulang.
Pada kasus kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Lombok, Nusatenggara Barat, Cianjur, Bogor, hingga Cikeusik, pola kekerasan dan penanganan negara belum berubah. Pada tahap penyerangan selalu melibatkan organisasi Islam radikal yang didukung fatwa MajelisUlama Indonesia bahwa Ahmadiyah sesat. Fatwa itu kemudian dilegitimasi pemerintah dan pemerintah daerah melalui penerbitan kebijakan-kebijakan diskriminitaif dan intoleran.
Praktik kekerasan dan kebijakan pemerintah saling menguatkan untuk memperburuk situasi warga Ahmadiyah. Hal itu tampak pada intensitas penyerangan tertinggi pada tahun 2008 (193 kasus pelanggaran) terkait upaya dan terbentuknya Keputusan Presiden tentang Pembubaran Ahmadiyah. Karena itu, argumen para pendesak kebijakan diskriminatif terhadap Ahmadiyah, yang senantiasa beralasan negara perlu mengatur atau membatasi Ahmadiyah untuk menjawab keresahan masyarakat, tidak pernah terbukti. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan tersebut terus dipakai untuk melegitimasi sikap intoleran mereka.
Catatan lain, merujuk cara penyelesaian kasus Cisalada dan Cikeusik, Polri memperlakukan peristiwa penyerangan menjadi bentrokan, yang mengakibatkan penghukuman terhadap warga Ahmadiyah yang diserang. Pada kasus Cisalada, warga Ahmadiyah bahkan dihukum lebih berat, yaitu 9 bulan, dibandingkan massa penyerang yang dihukum antara 4 bulan dan 6 bulan. Upaya penghukuman terhadap korban penyerangan terulang pada kasus Cikeusik. Pada 2 Maret 2011 Polri memproses Deden Sujana, warga Ahmadiyah, sebagai provokasi “bentrok”.
Seberapa berani pengadilan menjaga independensinya pada konteks praktik bernegara seperti itu? Jika berhenti merawat independensi, pengadilan akan masuk pada rombongan kekuatan negara dan kelompok penyuka kekerasan untuk memusnahkan ragam keyakinan, salah satunya Jemaat Ahmadiyah. Proses pengadilan dapat dijadikan tunggangan tambahan setelah kebijakan negara dan fatwa MUI bagi kelompok-kelompok yang menolak hidup bersama warga Ahmadiyah.
Pemusnahan sistematis dan berulang terhadap keyakinan minoritas yang dilanggengkan akan mengancam kehidupan berbangsa secara keseluruhan. Selamat memilih, para penegak hukum! (E4)

Minggu, 10 Juli 2011

Setelah Ruyati Dipancung

Foto indonesia.faithfreedom.org

Dewi Nova Wahyuni

Voice of Human Rights, 6 Juli 2011 

Prakarsa Rakyat, 7 Juli 2011
Majalah Potret, Edisi 47 Tahun 2011
Keberangkatan Ruyati dari Bekasi ke Arab Saudi bukanlah peristiwa alami.  Bukan pula pilihan bebas sebagai manusia.  Jika mengamati di kampung dan kota tempat para perempuan menjadi buruh migran, kita akan dihadapkan dengan 
sumber penghidupan lokal yang semakin tak kuasa menghidupi.

Ruyati binti Satubi dipancung di Mekkah, Arab Saudi, Sabtu 18 Juni 2011. Buruh migran asal Kampung Ceger RT 03 RW 01, Kecamatan Sukatani, Bekasi, Jawa Barat, ini dihukum mati dengan dakwaan membunuh majikannya, Khoiriyah Omar Moh Omar Hilwani, di Mekkah, 12 Januari 2010. Pembunuhan terjadi setelah bertengkar dengan majikan, karena keinginan pulang tak dikabulkan. Ruyati berangkat ke Arab Saudi untuk menjadi pembantu rumah tangga melalui Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) PT Dasa Graha Utama pada 2008.  

Sebelum eksekusi mati dilaksanakan, pada Maret 2011 Migrant Care menyampaikan perkembangan kasus ini ke pemerintah Indonesia. Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah meminta akses seluas-luasnya kepada Kementerian Luar Negeri Arab Saudi dan fasilitas pendampingan bagi Ruyati melalui dua nota diplomatik. KJRI kemudian mendampingi Ruyati dalam dua kali persidangan di Mahkamah Am (tingkat I) pada 3 dan 10 Mei 2010. Namun, pemerintah Arab  Saudi lebih mendengarkan suara ahli waris Khoiriyah Omar daripada hubungan diplomatiknya dengan Indonesia. Dan pemancungan perempuan yang menghidupi keluarga, merawat majikan, dan penyumbang terbesar devisa Indonesia itu tak terelakkan.

Setelah Ruyati dipancung, pemerintah berencana membentuk satuan tugas untuk melindungi tenaga kerja Indonesia di luar negeriyang terancam hukuman mat idan akan menempatkan atase hukum dan HAM untuk melindungi TKI. Pemerintah juga akan melakukan moratorium pengiriman buruh migran ke Arab Saudi.  Sedangkan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat memberikansantunan uang duka bagi keluarga Ruyati.

Pemancungan Ruyati juga membuat beberapa organisasi kemanusiaan seperti Imparsial dan Migrant Care mendesak pemerintah agar lebih menjalankan kewajiban dalam perlindungan dan penghormatan hak buruh migran. Amnesti Internasional  melaporkan peningkatan signifikan terkait jumlah eksekusi hukuman mati dan mendesak pemerintah Arab Saudi menghentikan pelaksanaan hukuman mati. Komnas Perempuan akan mengirimkan surat kepada Raja Abdullah dari Kerajaan Arab Saudi untuk meminta pengampunan atas beberapa PRT migran Indonesia yang terancam hukuman mati.

Upaya-upaya tersebut tidak mengubah fakta kegagalan negara melindungi warga negaranya. Jika perubahan benar-benar dijalankan, Ruyati akan menjadi martir bagi para buruh migran yang saat ini terancam hukuman pancung. 

Melampaui upaya-upaya tersebut,  realitas Ruyati sebagai perempuan PRT migran tidak sebatas hukum pancung. Ruyati, salah seorang dari ratusan ribu PRT migran, memiliki pengalaman hidup yang kompleks, yang pada bagian besar pengalaman mereka telah dikontruksi oleh sistem ekonomi politik dan tata hidup berbangsa-bangsa.  Antara lain, human security mereka sebagai perempuan telah dibuat mudah sekaligus rentan dalam proses migrasi, sejak di rumah, di kampung, di penampungan, proses keberangkatan, di negara tujuan, di rumah majikan, hingga kematiannya.  

Pasar yang Rakus
Keberangkatan Ruyati dari  Bekasi ke Arab Saudi bukanlah peristiwa alami. Bukan pula pilihan bebas sebagai manusia. Jika mengamati di kampung dan kota tempat para perempuan menjadi buruh migran, kita akan dihadapkan dengan sumber penghidupan lokal yang semakin tak kuasa menghidupi. Dari sektor pertanian hingga perikanan, dari  industri rumahan  hingga industri yang lebih besar.  Masifnya keberangkatan buruh migran ke negara yang lebih kaya, sebanding lurus dengan lemahnya dukungan dan perlindungan perekonomian lokal dan nasional. Sebagian buruh miran membuka kenyataan: “Jika ada kerjaan, upah layak di negeri sendiri, ngapain jauh-jauh ke Arab atau Malaysia?”  

Globalisasi, khususnya pasar bebas dan privatisasi, memakan rakus sumber-sumber penghidupan: Pertanian, air, perikanan, yang idealnya dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat. Kendali kesejahteraan dan derajat hidup tak lagi di tangan rakyat dan negara. Melalui berbagai kebijakan ekonomi dunia yang diikuti pemerintah Indonesia, kendali pindah ke pemilik modal kelas dunia. 

Sepintas, pasar bebas seperti memberikan peluang kerja yang lebih luas bagi warga perempuan, memberikan jalan pada hak dasar perempuan untuk bermigrasi dan mencari nafkah.  Namun, di sisi lain, pasar bebas yang kompetitif juga menginginkan jasa dan produk terbaik dengan modal serendah mungkin, antara lain melalui pengguntingan terus-menerus hak para buruh.  Bagi masyarakat di kampung dan desa yang dimiskinkan, menjadi buruh, apalagi PRT, apalagi perempuan, menjadi jawaban untuk mengatasi kemiskinan. Situasi yang diciptakan pasar bebas ini sekaligus memenuhi kebutuhan mereka terhadap buruh murah, minus perlindungan kerja, yang diinginkan pengendali pasar bebas.

Tak dapat dibayangkan bagaimana sistem pasar bebas akan berhasil bekerja tanpa topangan PRT di rumah-rumah mereka.  Siapa yang mengurus anak-anak dan rumah mereka, ketika para pemilik modal berkompetisi di luar rumah?

Jadi, bagaimana bisa terjadi kegagalan diplomatik pemerintah pada persidangan Ruyati? Apakah ini terkait kelemahan harga diri bangsa penjual buruh pada negara kaya pembeli jasa, yang darinya devisa Indonesia bergantung?

Buruh Migran, PRT Pula
Pasar bebas  terus bekerja menggunting hak-hak dasar buruh. Buruh yang dimaksud adalah jenis pekerja yang diakui keberadaannya, sehingga diatur melalui  undang-undang perburuhan. Buruh yang  diakui ini lebih memiliki ruang negosiasi untuk mengklaim hak-hak dasarnya. Namun, sebagian besar undang-undang perburuhan lebih menguntungkan pemilik modal daripada buruh. 

Oganisasi buruh industri di negerinya sendiri terus berjuang untuk mengklaim hak-hak dasar mereka. Perjuangan semakin berat jika buruh berada di negara lain atau menjadi buruh migran. Mereka memperjuangkan hak-hak perburuhan sekaligus hak-hak migran. Antara lain terkait adaptasi hidup di negeri orang, dokumen migrasi, dan diskriminasi hingga kebencian terhadap kaum migran. 

Daftar perjuangan dan kerentanan hidup di negeri orang  bertambah pada mereka yang bekerja sebagai buruh informal migran, antara lain PRT, sebagaimana dialami Ruyati. PRT di sebagian besar negara masih diposisikan sebagai buruh informal, yang belum diakui sebagai buruh, sehingga negara tidak mengatur perlindungan hukumnya. Akibatnya, posisi buruh migran informal ini, rentan dua kali, menjadi buruh yang dieksploitasi dan diambil keuntungannya oleh agen perekrut, majikan, pemerintah di negara asal dan negara tujuan. Mereka juga rentan berada dalam kondisi kerja yang buruk, bekerja melebihi jam kerja, dan dibayar rendah. Tiadanya perlindungan untuk mereka juga membuat mereka paling rentan dijadikan pekerja paksa dan diperdagangkan (trafficking).

Sebagaimana pada kasus Ruyati, publik tidak mendapat informasi banyak mengapa Ruyati ingin pulang sebelum membunuh majikan perempuannya? Bagaimana kondisi kerjanya? Apakah ia mengalami eksploitasi? Ini salah satu bukti begitu tertutupnya realitas PRT migran sebelum akhirnya divonis membunuh dan menjalani hukuman pancung.   

Ruyati yang Perempuan
Kerentanan Ruyati dan PRT migran yang lain untuk menghadapi kondisi kerja yang buruk juga terkait dengan jenis kelamin sebagai perempuan dan profesi PRT yang memainkan peran gender perawatan yang secara sebab akibat dikonstruksi sebagai peran gender perempuan.

Sistem budaya yang membagi peran gender perempuan di bidang reproduksi dan sosial, laki-laki di bidang produksi dan politik, berimplikasi pada cara keluarga, masyarakat, dan negara memberikan peluang pada perempuan dan laki-laki sejak anak-anak. Jika pekerjaan PRT di setiap belahan dunia dipenuhi buruh perempuan, ini produk sistematis dari ketimpangan peluang pendidikan dan keterampilan yang lebih minim diberikan pada warga perempuan.  Kondisi ini kemudian dimakan oleh kebijakan pasar  bebas untuk mendapatkan buruh murah, zero perlindungan, sehingga mudah dieksploitasi dari semua sisi. Termasuk kerentanan diperdagangkan untuk tujuan dijadikan buruh paksa atau komoditas industri seks.

Pada kasus Ruyati, level kerentanannya sebagai PRT lebih rentan dari sektor informal lain, semisal pedagang kaki lima atau pelayan restoran. Ini karena sifat pekerjaannya yang tertutup di dalam rumah, jam kerja yang tidak jelas, dan upah rendah karena PRT dianggap peran tradisional perempuan. Ditambah budaya Arab yang lebih tertutup dan represif terhadap perempuan. Semua itu berjalan tanpa pengawasan dan perlindungan publik dan negara.

Apakah pemerintah Indonesia sudah mengintegrasikan aspek gender ini pada setiap kebijakan terkait migrasi dan perburuhan? Ketimbang kebanggaan semu bahwa  pemerintah setiap tahun semakin banyak mengirim buruh migran perempuan dibandingkan laki-laki. 

Industri PRT Migran
Permintaan pasar bebas akan buruh murah minus perlindungan , telah menggeser tanggapan keluarga dan  masyarakat terhadap perempuan buruh migran.  Sepuluh tahun lalu masyarakat desa masih menggunjingkan perempuan yang jadi buruh migran, karena dianggap meninggalkan kewajiban sebagai istri dan ibu. Juga digunjingkan “entah apa yang sesungguhnya mereka kerjakan di luar sana”. Dulu guru-guru ngaji masih mengajarkan bahwa tidak baik menjadi buruh migran.  Hari ini, para suami mendorong istrinya, para orang tua mendorong anak perempuannya menjadi buruh migran. Juga para kiai. Tetapi dorongan itu tidak didasarkan pada penghormatan hak perempuan untuk bermigrasi dan bekerja, melainkan perempuan sebagai aset  pendapatan keluarga.  Tidak mengherankan di tempat asal PRT migran, masyarakat mulai menyambut lebih hangat kelahiran bayi perempuan dibanding bayi laki-laki.  

Sepuluh tahun yang lalu PRT migran bercita-cita mengumpulkan uang agar anaknya bisa kuliah. Hari ini para calo agen perekrut nongkrong di warung-warung depan sekolah, terutama menjelang masa kelulusan SMA. Banyak orang tua bilang, “Daripada kuliah ngabis-ngabisin uang, belum tentu nanti kerja layak upah layak, lulus SMA mending jadi TKW.” Sepuluh tahun yang lalu anak perempuan tidak kuliah karena kemiskinan dan diskriminasi prioritas. Hari ini anak perempuan sejak bayi diimpikan cukup menjadi buruh migran.

Apakah selain menikmati devisa dari perempuan buruh migran, negara mengkritisi pergeseran peran gender yang mempersempit cita-cita perempuan Indonesia?

Pemerintah Bisa Apa?
Pemancungan Ruyati adalah peristiwa kompleks dan kisah panjang tentang mengapa perempuan Indonesia menjadi buruh, migran dan informal pula, dan pada level terentan sebagai PRT.  Mempertimbangkan kompleksitas realitas tersebut, penanganannya tidak bisa disederhanakan hanya pada soal penghapusan hukuman mati atau perlindungan hak-hak buruh. Sedikitnya ada empat hal yang mesti dipikirkan oleh negara dan masyarakat, yaitu bagaimana sistem dan praktik kebijakan ekonomi, perburuhan, migrasi, dan bangunan gender untuk meningkatkan derajat hidup Ruyati dan PRT migran yang lain.

Ruyati  dipancung tanpa perlindungan adalah setitik dari jutaan titik akibat, ketika pasar bebas yang rakus diterima begitu saja oleh negara dan bangsa-bangsa. Ada sekian banyak Ruyati yang telah gugur dan sekian Ruyati yang terancam hukuman mati. Seberapa pemerintah punya daya dan harga diri untuk mengurus sekian persidangan yang mengancam nyawa warga negaranya? Seberapa intervensi ini efektif, jika sumber kerentanan warga atas tindak pemancungan tidak diubah?

Saatnya Indonesia mengevaluasi seluruh kebijakan ekonomi dan relasi-relasi kuasanya dengan lembaga keuangan dunia. Melakukan otokritik pada praktik liberalisasi ekonomi dan mencegah perjanjian dagang yang semakin membahayakan derajat perempuan sebagai PRT migran.

Ketika  pasar bebas meningkatkan permintaan akan buruh yang lebih murah, minus perlindungan, termasuk buruh migran, maka pemerintah Indonesia dan negara-negara tujuan harus mempermudah buruh mengakses migrasi yang aman dan membuat perjanjian melalui kerja sama antarpemerintah. Perjanjian ini mesti berpusat pada pemenuhan hak-hak buruh migran, antara lain masing-masing pihak mempermudah akses buruh untuk melakukan migrasi berdokumen. 

Semakin mempermudah akses migrasi berdokumen, semakin terlindungi hak para migran. Sebaliknya semakin sulit akses migrasi berdokumen, buruh akan jatuh pada cara migrasi sembunyi-sembunyi, bahkan penyelundupan. Cara migrasi seperti ini yang membuat buruh rentan diperlakukan sewenang-wenang oleh majikan, akibatnya berpengaruh buruk pada  hak-hak perburuhannya. Praktik korupsi dan biaya mahal untuk pengurusan dokumen migrasi yang dilakukan agen perekrut dan petugas keimigrasian harus dihentikan.  Situasi sulit sering kali membuat calon buruh migran menempuh cara di luar hukum yang dianggap lebih murah dan cepat, padahal membahyakan pada proses migrasi selanjutnya.

Penting juga pemerintah membangun saling pemahaman budaya dengan negara-negara tujuan. Sehingga tidak ada pernyataan enteng pejabat negara merespons pemancungan warga negara oleh pemerintah negara lain. “Hukuman di Arab Saudi memang demikian adanya. Bila seseorang membunuh, pengadilan akan melaksanakan hukuman mati, jika keluarga korban tak memberi maaf, ” kata Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono, merespons pemancungan Ruyati.  Jika buruh migran terus-menerus diminta memahami budaya negara tujuan, tanpa ada dialog budaya dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, ini tak bedanya hubungan bangsa terjajah dan bangsa penjajah.

Pada aspek perburuhan, permintaan buruh migran dari negara tujuan harus direspons oleh pemerintah dengan permintaan perlindungan buruh pada negara tujuan. Aparat negara tak bisa lagi mengelak jika terjadi pelanggaran hak-hak buruh di negara tujuan bahwa itu urusan negara tujuan. Atau berlaku diskriminatif dalam perlindungan buruh migran yang tak berdokumen. Sikap seperti itu merendahkan kemanusiaan buruh migran di hadapan majikan dan pemerintah negara tujuan.  Penghormatan dan perlindungan terbaik untuk buruh migran mesti menjadi jiwa rencana pemerintah membentuk satuan tugas untuk melindungi TKI di luar negeriyang terancam hukuman mati, penempatan  atase hukum dan HAM untuk melindungi TKI, perjanjian yang akan ditandatangani pada tahun ini dengan Arab Saudi, dan kebijakan yang lain.

Kebijakan sesaat seperti moratorium pengiriman buruh migran ke negara tujuan, sudah pernah dicoba, dan pelanggaran hak-hak buruh migran terus berlangsung. Belum lagi pro dan kontra karena di Indonesia tak tersedia cukup lapangan kerja, jika moratorium dijalankan. Yang lebih prinsip dari moratorium adalah bagaimana membangun kedaulatan ekonomi lokal dan nasional, sehingga pencaplokan sumber daya lokal oleh pemodal kelas dunia tidak terus sebanding lurus dengan semakin tingginya ekspor buruh murah, minus perlindungan.

Terkait peran gender perempuan, pemerintah juga mesti mengkritisi tren migrasi dan perlakuannya terhadap buruh perempuan, terutama buruh yang tak diakui seperti PRT. Mengapa semakin banyak permintaan buruh migran PRT, bagaimana proses mereka bermigrasi dan menjadi buruh? Ke negara tujuan mana saja dan bagaimana negara tujuan memperlakukan gender perempuan migran kelas PRT? Apakah tren yang berkembang menghormati  kemerdekaan perempuan untuk bermigrasi dan bekerja, atau sebaliknya? Pemerintah mesti memperjuangkan jalan migrasi dan bekerja yang menghormati hak-hak perempuan.

Mempertimbangkan kompleksitas  realitas yang dihadapi Ruyati dan ribuan PRT migran yang lain, pemerintah tak mungkin mampu memperbaiki sendiri, apalagi dikerjakan bagian kecil dari departemen. Perlu duduk bersama antara pemerintah lintas departemen, sedikitnya dengan pihak yang kompeten dan memberikan perhatian di bidang sistem ekonomi yang pro rakyat, migrasi, perburuhan dan hak-hak perempuan. Merespons hanya dari satu sisi atau hanya oleh satu pihak berakibat pada penyederhanaan masalah kemanusiaan. Serupa tindakan penyembuhan gejala masalah, sedangkan akar dan cabang masalahnya terus dibiarkan melahirkan persoalan baru dari hari ke hari. (E3)

Refleksi IDAHO: Mencinta dengan Pengetahuan

Perayaan IDAHO oleh Forum LGBTIQ Indonesia Region Jakarta (Agustine)


Dewi Nova Wahyuni

Voice of Human Rights, 6 Juni 2011


Pengetahuan membantu kita untuk mampu mecinta sesama 

dengan lebih adil, respek, dan merawat kehidupan


17 Mei diperingati banyak orang di berbagai belahan dunia sebagai The International Day Against Homophobia and Transphobia (IDAHO) atau Hari Melawan Homofobia dan Transfobia Sedunia. Homofobia adalah perasaan dan sikap negatif yang ditujukan terhadap lesbian, gay, dan pada saat bersamaan terhadap biseksual dan transgender.

Perasaan dan sikap negatif tersebut ditunjukkan antara lain melalui sikap antipati dan prasangka buruk. Perasaan dan pikiran ini yang selanjutnya mendorong orang bersikap diskriminatif, bahkan melakukan kekerasan terhadap lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Sedangkan transfobia,  perasaan dan sikap negatif yang ditujukan kepada transgender. Di Indonesia, transgender dari laki-laki ke perempuan dikenal sebagai waria. Perasaan dan sikap negatif itu didasari oleh ekpresi dan identitas gender yang ditampilkan oleh warga transgender. Pada saat bersamaan mereka juga mengalami  homofobia dari orang-orang yang mengaitkan identitas atau ekpresi gender mereka dengan orientasi seks.

Pemilihan tanggal 17 Mei sebagai hari perayaan IDAHO ini merujuk pada sejarah perubahan cara berpikir ilmu kejiwaan terhadap LGBT, dari anggapan manusia sakit menjadi manusia adanya, sebagaimana manusia hetero, terutama setelah World Health Organization (WHO)  menghapus homoseksualitas  dari International Classification of Diseases pada 17 Mei 1990. Perubahan ini menjadi tonggak penting bagi penghormatan keseluruhan aspek hidup LGBT. Anggapan bahwa LGBT sebagai manusia ‘sakit’, telah membuat mereka terperosok dalam berbagai persoalan kesehatan, sosial dan politik, yang menghalangi mereka untuk menikmati kehidupan yang merdeka bermartabat. Anggapan semacam ini bahkan mengancam kehidupan mereka. Kisah Kirana berikut ini bisa mewakili pencabutan hak  warga LGBT berbagai belahan dunia.

Lari dari Rumah
Masih di bulan Mei, Kirana, siswi kelas 3 SMU, memutuskan untuk meninggalkan rumah. Melalui selembar surat yang dia tinggalkan untuk mamanya, Kirana mengabarkan kepergiannya terkait dengan perasaan cintanya pada Mira. Mama menangisi Kirana untuk berapa alasan. Kirana, anak bungsunya yang ia sayang, “apakah baik-baik saja di luar sana?” Mama juga malu pada tetangga, pada sesama ibu pengajian, “anak perempuannya, sudah sebulan belum kembali”.  Apalagi anak perempuannya pergi demi cinta sesama perempuan. Kirana sakit!?! Kirana berdosa!?! Tuntutan masyarakat pada peran keibuan, sebagai pendidik dan pengarah anak, menamparnya terus-menerus. “Kurang apa saya mendidik anak? Ini salah saya...,” tangis sang Mama.

Kirana pergi karena takut. Mira bukanlah kekasih pertamanya. Cinta pertama Kirana jatuh pada Lisa. Ketika keluarganya mengetahui hubungan Kirana dan Lisa, mereka memotong rambut Kirana dan melarangnya  untuk bergaul.  Itu tak boleh lagi terjadi, dan inilah yang membuat Kirana memutuskan untuk kabur. Kabur dengan segenap ketakutan. Dia tahu, keluarganya menganggapnya sakit dan berdosa. Dia takut ‘disembuhkan’. Kirana takut keluarganya akan memaksanya masuk pesantren untuk dipaksa bertobat, disembuhkan ala pikiran keluarganya. Atau... hal yang lebih buruk dari itu.

Sebelum kisah Kirana terjadi, telah banyak sejarah ‘penyembuhan’ yang melanggar derajat hidup warga lesbian. Penindasan tak terkira dilakukan keluarga karena mereka tidak, dan tidak mau, memahami kehidupan homoseksual. “Dipesantrenkan” adalah pengalaman pahit yang banyak dihadapi lesbian muslim. Sebagian dipaksa untuk melalui terapi dengan psikolog dan psikiater, yang sialnya tak tercerahkan dengan pernyataan WHO sejak tahun 1990 itu.

Sebut saja kisah Listi, yang diraba-raba seluruh tubuhnya sambil ditanya “terangsang atau tidak” oleh psikiater terkenal di Indonesia. Sebagian keluarga meminta anggota keluarga  yang lain untuk memerkosa mereka sebagai penyembuhan ekstrim dari homoseks ke hetero. Candra, misalnya, pernah diperkosa oleh gigolo yang disewa ibunya. Langkah penyembuhan semacam ini tidak akan pernah melahirkan kesembuhan, karena memang tidak ada yang perlu disembuhkan. Justru trauma pada warga lesbian akan timbul, akibat pengucilan, diskriminasi dan kekerasan yang merusak derajat hidup mereka.

Pemulihan  trauma dari tindak ‘penyembuhan’ paksa ini juga bukan hal mudah di Indonesia. Tidak semua lesbian punya akses untuk mendapatkan konseling.  Kalau pun ada, tidak mudah mencari psikolog dan pskiater yang memahami homoseksual sebagai manusia adanya. Menuntut ke muka hukum para pemaksa penyembuhan pun, bukan hal mudah. Yang lebih sering terjadi adalah penyiksaan di kantor polisi, karena aparat hukum tidak memahami apa itu homoseksualitas. Bahkan kemungkinan diceramahi hal-hal yang tidak perlu bisa terjadi, jika tak selektif memilih tenaga medis saat memerlukan perawatan kesehatan akibat luka fisik dan psikis dari perkosaan.  Linda, misalnya, pernah membatalkan pap smear, karena dokter yang akan melakukan pap smear menganggapnya keliru ketika ia berterus terang lesbian. Apakah keluarga dan masyarakat pernah memikirkan akibat dari apa yang mereka anggap ‘penyembuhan’?

Semakin Berpengetahuan Semakin Mampu Mencinta
Keluarga menjadi alasan utama penyembuhan paksa yang dihadapi warga homoseksual. Seperti yang diucapkan mamanya Kirana, “sebelum meninggal papanya Kirana berpesan, agar dijaga betul anak perempuan paling bungsu. Lha ini malah suka sesama perempuan.” Keluarga sering khawatir bagaimana jika anak perempuannya tidak menikah dengan laki-laki, tidak akan punya anak, bagaimana masa tuanya? Siapa yang akan merawat?

Tentu saja seribu satu kekhawatiran dari soal hidup sampai akhirat akan terus menekan keluarga, selagi mereka memaksakan cara berpikir heteronormatif kepada lesbian.  Heteronormatif adalah cara pandang bahwa gender yang diyakini benar terbatas pada perempuan dan laki-laki, dengan segenap sistem pendukungnya, antara lain, perkawinan perempuan – laki-laki untuk bereproduksi.  Heteronormatif ini juga yang berpengaruh pada penafsiran agama-agama, sehingga sedikit para penafsir beragama yang memberi ruang ‘tidak berdosa’ pada LGBT. Penafsiran agama ini yang membuat Mamanya Kirana sulit memahami dan menerima anaknya yang lesbian.  Dalam hal ini, Mamanya Kirana butuh bertemu dan menggali pengetahuan dari orang-orang yang ahli di bidang agama sekaligus memilih pendekatan yang humanis pada isu LGBT.  

Rupanya mencinta saja memang tak cukup. Kita tak akan mampu mencinta LGBT dengan cara berpikir heteronormatif. Kita butuh keluar dari batasan dunia perempuan dan laki-laki. Merasakan, memahami dan mengerti ragam ciptaan Tuhan selain perempuan dan laki-laki, selain perempuan yang berkehendak pada laki-laki dan sebaliknya.  Kita mesti berani menerima pengetahuan kejiwaan dari WHO yang merubah anggapan sakit pada LGBT menjadi manusia adanya. Di Indonesia, Departemen Kesehatan telah mengeluarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ), sebuah acuan profesi kesehatan jiwa dan akademisi di seluruh Indonesia, yakni PPDGJ - II (1983) dan PPDGJ - III (1993) yang menyebutkan homoseksualitas bukan penyakit kejiwaan.

Keberanian menerima pengetahuan baru akan mendekatkan kita pada realitas-realitas yang beragam. Pengetahuan LGBT sebagai manusia adanya, dapat membantu keluarga menerima anggota keluarganya yang lesbian tanpa beban bertanggung jawab untuk ‘menyembuhkan’. Dan itu bisa membantu mereka menyikapi anggapan tetangga dan lingkungan tentang anggapan sakit dan berdosa. Pengetahuan yang memadai juga melapangkan jalan untuk memahami ragam situasi. Kekhawatiran Mamanya Kirana, tentang  anaknya tidak akan berketurunan, sudah dijawab oleh beberapa pasangan sesama perempuan yang berkeluarga dan memiliki anak.  Pasangan-pasangan ini secara kreatif mengembangkan sistem keluarga yang, jangan dibayangkan apalagi dipaksakan dengan model keluarga hetero. 

Lukman, anak berumur 5 tahun yang dibesarkan pasangan sejenis Widi dan Nadin, tumbuh ceria dalam limpahan kasih sayang, dan bahkan mulai belajar dan memahami orang tua yang ia miliki sungguh unik dibanding orang tua umumnya. Kisah berpasangan dan menumbuhkan anak ini, antara lain untuk menyambung pada kegelisahan mamanya Karina. Realitasnya, sebagaimana perempuan hetero, sebagian perempuan lesbian juga memilih untuk tidak memiliki anak. Begitu banyak pilihan-pilihan hidup dari setiap orang. Semoga pengetahuan membantu kita untuk mampu mencinta sesama dengan lebih adil, respek, dan merawat kehidupan. (E3)