Minggu, 10 Juli 2011

Mereka yang Melanjutkan Kehidupan: Refleksi Perjuangan Perempuan Timor Barat Pulih dari Konflik

Foto www.iddaily.net
Dewi Nova Wahyuni
Jurnal Perempuan 33, Edisi Perempuan dan Pemulihan Konflik, Januari 2004.

Siang itu angin kering dan matahari memanasi Kecamatan Miomaffo Timur, di wilayah perbatasan Timur Tengah Utara (TTU), NTT dan Ambenu, Timor Leste. Dari daratan yang lebih tinggi beberapa orang ibu berdiri memandang hamparan desa di wilayah seberang. Seorang ibiu bercerita sambil menunjuk pada lembah di wilayah Timor Leste.
    ”Itu rumah saya, sebelah sana. Waktu kerusuhan jajak pendapat mereka membakar rumah saya. Saya dan keluarga lari  melalui lembah dan kebun, sampai akhirnya kami tiba di Desa Tes. Lihat! Sekarang rumah itu telah diperbaiki, tapi saya tidak tahu siapa yang menempati.”
Sementara ibu yang lainnya menambahakan:
    ”Saya juga tinggal di desa yang sama. Suatu hari suami saya kembali ke Ambenu untuk melihat rumah kami. Tetapi sejak itu dia tidak pernah kembali. Saya dengar dia sudah menikah lagi.”
Seorang TNI penjaga perbatasan menghampiri kami:
    ”Ibu-ibu mau kemana?”
Salah seorang dari kami menjawab, kami sedang ingin melihat-lihat Timor Leste dari jauh.
   ”Saya tahu ibu-ibu orang sini, punya kebun di sekitar sini, saya sudah sering melihat ibu-ibu. Cukup sampai di sini saja kalau mau lihat-lihat.” Tegur petugas sambil menunjuk pada pos penjagaan yang mereka tempati.
Perbincangan itu terjadi beberapa bulan lalu, ketika penulis –saat itu bekerja di Yayasan PIKUL—melakukan pertemuan dengan salah satu kelompok perempuan di Desa Tes. Dari kutipan peristiwa itu menggambarkan bagaimana konflik bersenjata mengakibatkan tercerabutnya hak-hak dasar yang perempuan miliki. Perempuan kehilangan tempat tinggal, lingkungan dan sumber hidup. Pada banyak kasus konflik juga mengakibatkan perempuan kehilangan anggota keluarganya, sebagaimana  penuturan seorang ibu berikut ini.
   ”Pada bulan September 1999 terjadi kekacauan di Timor Timur. Banyak orang ketakutan dan lari mengungsi ke NTT. Tanggal 12 September 1999, saya dipaksa Om  saya untuk ikut mengungsi ke NTT. Om saya mengatakan, ’jika tidak keluar sekarang, maka kalau kamu kembali, kamu semua akan habis.’ Pada hari itu 3 malam kami tidur di Betanu. Lalu pada tanggal 15 september 1999, kami naik kapal laut dan datang ke Kupang (naik kapal perang TNI). Suami saya tidak ikut mengungsi waktu itu juga ia ikut mengangkat barang ke atas kapal. Suami saya waktu itu bilang, ’kamu pergi dahulu, nanti baru saya menyusul lewat jalan darat.’ Ternyata ia tidak ikut mengungsi karena orang tuanya tidak mengungsi, sementara menurut adat, anak laki-laki tidak boleh meninggalkan orang tuanya. Kami sampai di Kupang tanggal 16 september 1999 dan tinggal di Tuapukan. Satu minggu kemudian kami pindah lagi ke Soe (di  Kamp Koblete). Kami mengungsi dengan Om saya bernama Fernanado yang anggota TNI. Sebenarnya saya ingat suami saya dan punya keinginan untuk pulang, tapi saya harus bersama-sama dengan saudara-saudara saya yang lain yang rencanaya  akan kembali bulan Maret 2000.”[1]

Konflik juga telah mengakibatkan perempuan mengalami kekerasan secara luar biasa, terutama  dari pihak-pihak yang bertentangan. Amaku, seorang perempuan yang  pernah ditahan Kodim Dilli karena dicurigai terlibat peristiwa penyerbuan ke Dilli, memaparkan:
   ”Pada jam-jam pemerikasaan mereka juga memanfaatkannya untuk memperkosa para napi perempuan, termasuk yang dialami oleh saya. Pada waktu sedang diperiksa tiba-tiba saya ditarik masuk kamar lalu pakai dilucuti dengan paksa oleh Kapten Jarot yang waktu itu melakukan interogasi. Saya tidak berdaya melawannya karena diancam dengan senjata di tangannya. Waktu itu saya masih gadis dan berumur 16...”[2]


Pada masa paska konflik –di kamp pengungsian—kekerasan  terus mengancam mereka. Situasi pengungsian yang serba terbatas dengan seluruh persoalan di dalamnya, seringkali dilimpahkan dan dicetuskan dari laki-laki dan akibatnya perempuan sebagai sasaran kekerasan. Dalam  sebuah perbincangan, Hery seorang relawan TKTB (Tim Kemanusiaan Timor Barat)[3] menyampaikan pengalamannya  mendampingi perempuan korban kekerasan suami di kamp pengungsian:
   ”Suatu hari ketika saya dan Toda sedang di Kamp Noelbaki, Kupang, seorang  perempuan mendatangi kami dengan rambut berlumuran darah yang terus menetes membasahi punggungnya. Rupanya kepala perempuan itu dipukul berulang-ulang dengan papan yang terdapat paku, oleh suaminya. Ia mengalami bocor pada beberapa bagian kepala. Kami mencoba membawanya ke Puskesmas, tetapi karena ia seorang pengungsi ia hanya diberi obat merah. Selanjutnya mama-mama mengobatinya dengan obat tradisional sampai lukanya kering.”

Hery juga sempat panik ketika melihat seorang perempuan hamil diinjak-injak suaminya, hingga mengalami pendaran hebat. Sementara itu tidak ada orang yang berani untuk menolong perempuan itu. Pengalaman Hery menunjukan bahwa selain situsai konflik, perempuan juga  menghadapi posisi yang lebih rentan untuk dikenai kekerasan dan dibiarkan dalam situasi kekerasan akibat budaya patriarkal yang mengepungnya.

Bagi perempuan yang mengungsi di daerah perbatasan, mereka juga rentan mengalami perlakuan yag tidak menyenangkan dari TNI penjaga wilayah perbatasan.  Dalam suatu diskusi di kampung, Helena Ninef ketua kelompok perempuan pengungsi di Desa Tes, Kecamatan Miomaffo Timur di wilayah perbatasan Timur tengah Utara (TTU), NTT dan Ambenu, Timor Leste, menyampikan tentang banyaknya  kasus perempuan yang dihamili oleh TNI penjaga perbatasan. Setelah itu mereka ditelantarkan atau hanya diselesaikan secara adat, yang tidak sepenuhnya  dapat memenuhi kebutuhan dan mendukung hak perempuan tersebut. Eksploitasi dan kekerasan yang dilkakukan militer terhadap perempuan juga terjadi di kamp pengungsian. Pada buku ”Perempuan di bawa/h laki-laki yang Kalah: Kekerasan Terahadap Perempuan Timor Timur dalam kamp Pengungsian Timor Barat dipaparkan”:
   ”Seorang pengungsi perempuan berlaku seperti germo ketika ia menerima uang setiap kali ia mengijinkan keponakanya dibawa keluar kamp oleh anggota TNI. Ketika si gadis hamil, anggota TNI mengancam ibu ’germo’ lewat surat menuntut 20 juta rupiah disediakan seandainya ia harus mempertanggunggjawabkan kehamilan pada orang tua dari gadis yang ia hamili. Selain itu, anggota TNI tersebut membakar wajah ibu ini dengan api rokok.”[4] 


Dengan demikian, berbicara pemulihan paska konflik di Timor Leste bagi perempuan berkaitan dengan banyak hal. Mulai dari pemulihan luka dan trauma akibat kekerasan yang langsung mereka alami, bagaimana bertahan hidup, dan bagaimana dapat diterima oleh masyarakat lokal di tempat mereka mengungsi. Untuk sampai pada proses bagaiamana mereka  pulih ataupun membantu pemulihan sesama korban paska konflik tentu  saja memerlukan  proses yang panjang. 

Dari Pemulihan Trauma, Pemulihan Ekonomi sampai ke Rekonsiliasi
Sejarah kekerasan yang dialami perempuan Timor Leste adalah sejarah panjang sejak tahun 1974 dimana pada masa itu terjadi konflik antara tiga kekuatan yaitu kekuatan FRETILIN (kelompok yang memilih kemerdekaan penuh secara langsung), kekuatan UDT (kelompok yang menginginkan pelepasan, bertahap yang didahului otonomi di bawah kekuasaan Portugis dan kekuatan Apodeti (kelompok yang memilih integrasi dengan Indonesia). Kekerasan kemudian berlanjut selama 24 tahun kekuasaan Indonesia (1975-1999) ditandai dengan terdesaknya pasukan UDT yang melarika diri ke Atambua, Timor Barat. Indonesia kemudian membentuk pasukan-pasukan milisi sipil untuk melawan FRETILIN. Sejak konflik antar kelompok itu terjadi, perempuan Timor Leste mengalami perkosaan, penyiksaan, pembunuhan, oleh masing-masing pihak yang  bertikai. Kerusuhan paska jajak pendapat 1999 membawa eksodus warga sipil Timor Timur  ke Timor Barat. Di Timor Barat kurang lebih terdapat 200 kamp pengungsian. Banyak perempuan kemudian menjadi sasaran kekerasan suami mereka dan terbelit segala persoalan di kamp-kamp yang mereka tempati. Dalam situasi konflik tubuh perempuan seringkali dijadikan sasaran baik oleh orang dilingkungannya yang terdekat, diantaranya dari pihak suami.

Secara umum TKTB memilah data kekerasan terhadap perempuan sebelum jajak pendapat,  saat jajak pendapat, dan setelah jajak pendapat ke dalam tabel  di bawah ini: 


Tabel Perhitungan Kompilasi Data Berdasarkan Jenis Kekerasan



Jenis Kekerasan
Tahap I:
Tahap II:
Tahap III:
Jumlah
Kawin Paksa
3
-
-
3
Perkosaan
3
1
4
8
Perpecahan keluarga
3
13
10
26
Ingkar  Janji
3
2
6
11
KTD
2
3
3
8
Penganiayaan
-
1
6
7
Pelecehan seksual
-
-
14
14
KDRT
10
1
53
64
Pelacuran
2
11
7
20
Yang lain
2
11
7
20
Jumlah
26
32
104
162
  Sumber: Karen Cambel Nelson dkk, Perempuan dibawa/h laki-laki yang Kalah: Kekerasan terhadap Perempuan Timor Timur dalam kamp Pengungsian di Timor Barat (Kupang: JKPIT dan PIKUL, 2000) hal.104.


Berdasarkan tabel di atas nampak jelas bahwa angka kekerasan terhadap perempuan terjadi lebih banyak setelah jajak pendapat. Meskipun menurut TKTB kasus kekerasan yang dicatat dan  diinvestigasi berasal dari perempuan dalam kamp. Namun bukan berarti setiap kasus terjadi di dalam kamp. Artinya kekerasan terjadi sebelum  mereka berstatus sebagai pengungsi. Akan tetapi tidak disangkal bahwa kekerasan terhadap perempuan memang banyak terjadi di dalam barak-barak pengungsian. Ada bebrapa penyebab yang melatari tingginya angka kekerasan  dalam barak pengungsian. Diantaranya adalah, pertama korban konflik mengalami gangguan jiwa dari mulai stress ringan hingga gangguan kejiwaan yang akut. Gangguan ini bisa dipahami karena mereka  selain telah kehilangan keluarga, sumber daya ekonomi yang selama turut lenyap. Kedua, tekanan ini terus bertambah  berat karena ketidakjelasan  masa depan. Mereka harus terusir dari kampung halaman  mereka sementara mereka juga harus berhadapan dengan penduduk di tempat baru yang tidak menghendaki keberadaan mereka. Ketiga, dalam barak pengungsian tidak terdapat batasan yang jelas antara daerah privat dan publik. Keempat, karena desakan ekonomi, banyak perempuan yang terjerumus menjadi pekerja seks komersial. Kecenderungan ini nampaknya hampir terjadi di seluruh wilayah konflik yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Pihak lawan umumnya menyerang tubuh perempuan untuk melemahkan kekuatan laki-laki dari keluarganya maupun kelompok tertentu. Perempuan juga mengalami pemaksaan dari kelompoknya sendiri antara lain untuk  membangun identitas, seperti pemaksaan pemakian jilbab yang pernah dilakukan laskar jihad tehadap perempuan muslim pada konflik Poso. Di sisi lain situasi konflik yang menimbulkan segala macam  tekanan secara personal sering disalurkan laki-laki dengan melakukan kekerasan  terhadap perempuan di lingkungan terdekatnya.  Semua serangan terhadap permpuan ini tidak terlepas dari nilai-nilai yang terkontruksi bahwa  perempuan sebagai objek, dalam konteks ini termasuk objek  seksual dan objek kemarahan. 

Dengan demikian upaya-upaya  pemulihan untuk perempuan korban kekerasan paska konflik menjadi kebutuhan  mendasrar bagi keberlangsungan hidup perempuan Timor Timur. Upaya pemulihan telah dilakukan antara lain oleh TKTB, salah satu kelompok yang melakukan upaya-upaya pemulihan  bagi permpuan  korban di kamp pengungsian. Tim yang diprakarsai oleh aktivis perempuan, rohaniawan dan akademisi ini bekerja di empat wilayah di Timor Barat yaitu Kupang, Soe, Kefa dan wilayah perbatasan Atambua. Dengan dibantu sekitar 60 relawan yang sebagian besar perempuan, tim ini melakukan tiga tahapan upaya pemulihan yang mereka jalankan di 74 kamp pengungsian. 


Pada tahun 2000 TKTB I melakukan investigasi  berkaitan dengan kekerasan  terhadap perempuan. Pada masa ini, adalah masa terberat yang dialami perempuan pengungsi dan para relawan yang melakukan investigasi. Herry memaparkan pada masa ini, para lelaki yang mantan milisi memiliki senjata dan mebawanya dengan bebas setiap saat. Selain itu, secara umum situasi memanas karena banyak pengungsi yang merasa dibohongi atas pemindahan paksa mereka yang diiming-imingi akan diberikan rumah. Setiap hari ia melihat  perempuan mengalami kekerasan tanpa ada  orang yang mau peduli. Para relawan  harus bekerja lebih keras untuk menumbuhkan keberanian  permpuan untuk sekedar curhat atas kekerasan yang mereka alami. 

Baru kemudian pada TKTB II, para relawan  memungkinkan untuk  melakukan konseling terhadap  perempuan korban. Selanjutnya pada TKTB III mulai dikembangkan  pembentukan kelompok  perempuan di kamp-kamp pengungsian. Konseling kelompok mulai dijalakan dengan strategi pemberdayaan ekonomi. Pemberdayaan ekonomi ini antara lain menjalankan keterampilan kristik, sesuai kebutuhan kelompok. Pada tahap ini perempuan korban mulai saling membicarakan kekerasan yang mereka alami, dan berani  melampirkan pengalaman mereka itu kepada para pastor. 


Upaya-upaya pemulihan ini terus berlanjut dengan dukungan NGO perempuan di wilayah pengungsian. Saat ini terdapat empat kelompok perempuan di empat kamp pengungsian di Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu, NTT. Kelompk ini tersebar di kamp Tulamalai, Kamp Lolowa, Lamp Tenibot, Kamp Heliwen. Kelompok ni memusatkan pada layanan konseling perempuan korban kekerasan dan pemberdayaan ekonomi. Di masing-masing kamp terdapat 7 -10  ibu yang bisa memberikan konseling bagi ibu-ibu yang lainnya. Forum Peduli Perempuan Atambua (FPPA) berupaya mendorong terbangunnya pendampingan ini di pengungsian, dengan mempersiapkan kelompok ini melalaui training konseling, lokak karya dan seminar   yang berkaitan dengan penanganan perempuan korban kekerasan. Suster Sisilia (Koordinator FPPA) menyampaikan, selain  upaya-upaya pemulihan trauma, kelompok perempuan ini  juga menjalankan usaha produktif untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Usaha produktif yang dijalankan berupa kegiatan menenun, menjahit, mengayam dan berdagang. 

Kelompok serupa tumbuh di 3 kecamatan yang berbatasan dengan daerah Ambenu, Timor Leste yaitu di Desa Tes, Desa Sainono, Kecamatan Miomaffo Timur, Desa Tefeantali Kecamatan Insana dan Desa Poponam, Kecamatan Noimule. Berbeda dengan  perempuan pengungsi di Atambua yang tinggal di kamp-kamp pengungsian, di keempat desa ini, keluarga pengungsi tinggal di rumah-rumah sebagaimana penduduk lokal. Kelompok perempuan ini melakukan pemberdayaan ekonomi dengan menawarkan kelompoknya untuk bekerja di kebun orang, kemudian upahnya dikelola kelompok. Mereka secara berkelompok juga membuat kebun sayur, dan menerima pesanan tenunan dan anyaman. Dalam   diskusi dengan Helena Ninef, ketua kelompok  perempuan di Desa Tes menyampaikan, pada awalnya  mereka mendapatkan modal untuk menenun Rp. 100.000 dari YABIKU (Yayasan Bife Kuan)[5], sampai kemudian dari keuntungan jual kain tenun ini, mereka berhasil membuat usaha simpan pinjam dengan bunga rendah untuk anggota kelompoknya. 

Selain melakukan kegiatan menjalankan usaha produktif tersebut, penerimaan oleh masyarakat lokal terhadap kedatangan mereka adalah kebutuhan mendasar. Filly Tahu, koordinator YABIKU menyampaikan saat ini  kelompok perempuan tersebut telah berhasil meyakinkan tokoh-tokoh dari lembaga adat untuk menerima mereka sebagai bagian dari masyarakat setempat. Penerimaan dilaksanakan secara resmi melalui upacara adat setempat. Sedangkan untuk membantu perempuna korban kekerasan, kelompok ini juga melakukan diskusi sebulan dua kali, untuk membiarkan masalah kekerasan, gender, dan kesehatan reproduksi berdasarkan pengalaman mereka sehari-hari. 

Pada perkembangannya, kelompok permpuan ini terlibat dalam  proses rekonsiliasi yang dijalankan  dan bekerjasama dengan CAVR (Komisi Penerimaan Kebenaran dan Rekonsiliasi).[6]  CAVR Timor Leste bekerja sama dengan beberapa NGO di Timor Barat untuk menjalankn program mereka, antara alin pengungkapan kebenaran  dan pembangunan rekonsilasi  berkaitan dengan konflik di Timor Leste antara atahun 1974 hingga Oktober 1999. Program ini kemudian memberi peluang pada perempuan pengungsi tidak saja untuk mengungkapkan kebenaran kepada publik atas kekersan yang mereka alami tetapi juga untuk melakukan rekonsiliasi antara pihak-pihak yang bertikai. 

Menurut Filly Tahu, proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi yang dijalankan di 12 desa di Kabupaten Kefamanu, telah melahirkan rekonsiliasi diantara janda FRETILIN dan isteri UDT dan milisi di kamp-kamp pengungsian. Proses serupa terjadi pada Audensi Publik Kekerasan Terhadap Perempuan di Dilli pada 28 – 29 April 2003 yang dihadiri Komnas Perempuan dan  aktivis perempuan di Timor Barat. Pada sesi pengungkapan kebenaran Rita da Silva menyampaikan pengalamannya saat diperkosa  oleh anggota FRETILIN pada tahun 1975, sementara itu, Victoria Henrique berkata: 
   ”Saudariku menderita diperkosa oleh orang FRETILIN. Aku, anggota FRETILIN, diperkosa oleh UDT. Kami sama-sama menderita di tangan laki-laki.” Victoria berdiri di podium, memeluk Rita da Silva sambil menangis. Kami sudah merdeka. Kami menderita karena bendera ini. Ia membenamkan wajahnya pada bendera tersebut. ”Kita ini bersaudara.” Ia pun lalu meminta  pemimpin politik di Timor memastikan bahwa kejadian seperti itu tidak akan terulang lagi. Ia berkata bahwa mereka  adalah milik semua orang Timor, dan meminta para pemimpin politik berpelukan seperti yang ia lakukan pada Rita.Pengungjung yang memadati aula ikut menangis dan bertepuk tangan pada saat bersamaan.[7]

Berdasarakan pengalaman pemulihan konflik perempuan Timor-timur baik yang  berada di Timor Leste maupun yang tinggal di kamp-kamp pengungsian di Timor Barat menunjukan bahwa kekuatan perempuan sebagai agen  yang mampu  mempertahankan keberlangsungan hidup keluarganya dalam  situasi bahkan paska konflik, dengan segala kreatifitas yang mereka kembangkan, sebagaimana perjuangan yang dilakukan kelompok perempuan di Desa Tes. Mereka juga menjadi kelompok terdepan yan berani untuk menyatakan kebenaran dan mengajak rekonsiliasi di antara pihak-pihak yang bertikai, sebagaimana yang dilakukan Rita da Silva dan Victoria Henrique. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar