Minggu, 10 Juli 2011

Kisah dari Aceh: Merajut Hidup Baru di Bukit Janda

Foto connexxcreen.com
Dewi Nova Wahyuni
Voice of Human Rights, April 2007
www.prakarsa-rakyat.org, April 2007

Matahari merambat naik di Desa Cot Keng, Nanggroe Aceh Darussalam. Di meunasah bercat serba hijau, 45 perempuan duduk melingkar. Mereka membicarakan sumber penghidupan yang mungkin bisa dijalankan setelah masa damai tiba. Para perempuan itu terpaksa menjanda karena ditinggal suami yang hilang atau terbunuh selama konflik berlangsung di bumi Aceh. 

Desa Cot Keng adalah kampung terujung di Kecamatan Bandar Baru yang berbatasan langsung dengan "rimba raya". Desa yang subur ini terdapat di Kabupaten Pidie, sekitar tiga setengah jam perjalanan dari ibu kota Banda Aceh. Lampu listrik sudah menerangi desa ini.Anak-anak desa harus berjalan kaki sejauh tiga kilometer ke sekolah dasar terdekat. Untuk mendapatkan layanan kesehatan, warga desa harus berjalan sejauh tujuh kilometer menuju puskesmas terdekat. Kala konflik masih berlangsung di Aceh, desa berpenduduk 50 kepala keluarga ini dijaga satu kompi tentara. Bahkan, pernah juga selama enam bulan dijaga satu batalyon tentara. Seorang ibu mengisahkan, pada masa Darurat Militer, dia dan keluarganya tidak bisa makan selama tiga bulan karena rumahnya dijadikan tempat interogasi dan penyiksaan warga desa oleh personel TNI. 

Sementara itu Gerakan Aceh Merdeka juga menjalankan aktivitas di Rimba Raya, tidak jauh dari Cot Keng. Untuk alasan keselamatan, para lelaki meninggalkan desa ini. Yang tertinggal hanya sembilan laki-laki yang kebanyakan telah berusia di atas 50 tahun. Karena itu, Pasukan Rajawali dari pihak TNI yang berjaga di desa ini, menyebutnya Bukit Janda. Saat itu Desa Cot Keng dikenal sebagai daerah “hitam”. ”Waktu kami mengungsi ke tempat saudara di daerah lain, ketika aparat desa mengetahui kami orang Cot Keng, mereka tidak berani terima. Mereka takut kehadiran kami mengancam keselamatan warganya,” kata seorang ibu yang meminta namanya tidak ditulis dalam sebuah pembicaraan yang difasilitasi Yayasan Al Ikhsan dan La Kaspia, LSM yang membantu pengorganisasian perempuan korban konflik, Sabtu 7 April lalu. Ibu ini tak punya pilihan selain bertahan di desanya. Untuk menyelamatkan kedua anak gadisnya, dia mengirim mereka pada keluarganya di Malaysia. Seorang anaknya yang lain dimasukkan ke pesantren.Sejak penandatangan MoU damai Helsinki tahun 2005 beberapa perubahan mulai terjadi. ”Sekarang kami bebas ke gunung untuk mengangkut kayu. Melakukan kegiatan apa pun tidak ada yang melarang. Dulu pergi berobat pun harus lapor ke pos TNI,” kata seorang ibu.“Sekarang kami bisa arisan, wirid bersama, dan bisa melakukan dakwah untuk memperingati Maulid Nabi,” kata ibu yang lain.Kini para ibu dan warga lainnya sudah bisa berkumpul dan membicarakan kebutuhan untuk meningkatkan penghidupan. 

Belajar bersama untuk mengorganisasi diri. Mereka belajar memetakan sumber penghidupan yang sesuai dengan kemampuan. Berbagai kelompok kerja terbentuk. Ada kelompok peternak lembu, kelompok menjahit, kelompok dagang, dan kelompok bertanam cabai. Bekerja sama dengan LSM, sudah empat bulan para perempuan ini menjalani beberapa pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dalam pendapatan ekonomi. Memang Badan Rekontruksi Aceh bukannya tidak memberikan bantuan kepada para perempuan itu. Namun, mereka membutuhkan peningkatan ekonomi yang terjamin keberlangsungannya. Selama ini mereka bertahan hidup dari menanam padi dengan cara menyewa lahan. Selain itu mereka juga mengangkut kayu dari hutan untuk bahan rumah. Dari pukul 07.00 hingga 16.00 mereka bisa dua kali bolak-balik ke hutan mengangkut kayu. Untuk mengangkut satu balok kayu mereka menerima upah Rp 3000 hingga Rp 7.000. Upah itu tergantung pada ketebalan kayu yang diangkut. Pekerjaan mengangkut balok kayu melalui hutan yang curam dan jauh tak jarang membuat para perempuan ini cedera. Beberapa perempuan menunjukkan tulang lengannya yang bengkok atau menonjol akibat cedera dalam pekerjaan tersebut. ”Kami semakin tua. Kami susah terus sampai tua, mengangkut kayu sampai tua....” tutur seorang ibu.” “Kami berterima kasih untuk pengetahuan dan keterampilan di pelatihan ini, tapi kami butuh modal untuk mempraktikkan ilmu yang kami pelajari,” tambah ibu yang lain. Walau damai sudah terbit, jalan menuju kemampuan ekonomi masih panjang di Cot Keng.Kemampuan ini menjadi kebutuhan mendesak untuk perempuan Cot Keng, selain jaminan keamanan dan perlindungan dari kekerasan fisik seperti terjadi di masa silam.




Tetapi simbol-simbol setelah konflik masih belum terhapus dari Desa Cot Keng. Tulisan ”Pos Rajawali” masih tertera di tembok pagar meunasah. “Ingat modal prajurit kewaspadaan” dan identitas beragam kesatuan TNI juga terpampang di dinding MCK meunasah.Yang menenteramkan kini meunasah itu tak lagi menjadi pos TNI. Meunasah kini menjadi tempat para perempuan dari Bukit Janda berembuk mencari jalan memperbaiki hidup. (E1)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar