Minggu, 10 Juli 2011

Reintegrasi: Pesan dari Anak-anak Aceh


Dewi Nova Wahyuni
Voice of Human Rights, April 2007
 Prakarsa-rakyat.org, April 2007


Pohon-pohon bertumbangan. Chainsaw menghempaskan mereka ke bumi. Satu keluarga petani miskin menangisi ladangnya yang musnah dihantam banjir. Warga menuntut pertanggungjawaban pelaku penebangan pohon yang menyebabkan ladang banjir itu.

Mereka meminta gubernur mendukung tuntutan tersebut. Namun, belum sempat gubernur menyatakan dukungan, warga yang lain terlebih dulu menggugat gubernur yang ternyata pelaku penebangan liar itu.

Peristiwa ini terungkap dalam pertunjukan teater anak-anak peserta Lokakarya Teater Partisipatif untuk Anak-anak Aceh di Saree, Aceh Besar, 7 – 14 April 2007. Lokakarya dan pertunjukan teater ini hasil kerja sama Komunitas Tikar Pandan dan The Japan Foundation.

Pertunjukan teater anak-anak Aceh tersebut menampilkan enam judul yang menawarkan beragam tema. Selain “Illegal Logging” yang memaparkan gubernur pelaku penebangan liar, tampil pula”Mulia Kampung Mulia Dunia”, “Bus dan Jalanan Rusak”, “Jembatan Rusak”, “Orang Miskin yang Sukses”, dan “Gubernur Khayalan”.

Menurut Windi, salah satu pemain, ide “Illegal Logging muncul dari melihat penebangan hutan di desanya di Aceh Tengah. Tema-tema yang lain juga mencerminkan kenyataan sehari-hari yang mereka alami, dari jalanan dan jembatan rusak, kesulitan ekonomi yang membuat mereka harus berutang untuk mencecap pendidikan, hingga harapan pada pemerintah yang tidak korup.

Pada pertunjukan “Gubernur Khayalan” tokoh Gubernur membeberkan beberapa kebijakan untuk kemajuan Aceh, antara lain memusnahkan teroris, korupsi, kekejaman dalam keluarga, dan pemberdayaan kekayaan alam Aceh.

Selain pementasan teater, mereka juga menampilkan salawat badar, zikir, lagu-lagu tradisional Aceh, tarian Rateup Meuseket (puji-pujian), dan kesenian Didong dari Gayo.

***
“Aceh 5 tahun lampau: anak-anak Aceh pada masa lampau banyak mengalami kekerasan, dan kebiadaban. Anak-anak Aceh tidak punya semangat hidup karena takut pada aparat-aparat yang tidak bermoral.”

“Saya ingin Aceh maju pada tahun 2017. Aceh harus bersemangat kembali seperti dulu. Saya tidak ingin ada kekerasan seperti dulu. Saya ingin damai dan tentram. Tidak ada orang yang mengganggu lagi.”

Kedua tulisan ini ditempel di dinding ruang lokakarya pada metaplan warna-warni. Dua tulisan tangan itu gagasan 30 anak Aceh berusia 13 tahun hingga 18 tahun dari tiga wilayah konflik (Pidi, Aceh Tengah, dan Aceh Utara) yang sedang mengikuti lokakarya.

Pemilihan anak-anak dari bekas wilayah konflik ini, menurut Direktur Eksekutif Komunitas Tikar Pandan Azhari, untuk membantu mereka dalam proses damai dan reintegrasi. Sebab, proses reintegrasi belum pernah menyentuh anak-anak. Selain itu, juga untuk merangsang imajinasi anak-anak terhadap masa depan Aceh.

Lokakarya ini merupakan kegiatan awal yang merupakan bagian rekonstruksi psikologis rakyat Aceh, khususnya anak-anak. Karena itu, selama lokakarya anak-anak difasilitasi belajar mengekspresikan perasaan dan pikiran. Dan merangsang kreativitas mereka untuk membayangkan masa depan Aceh. Seluruh proses dijalankan dengan permainan menarik.

Proses itu difasilitasi M Yulfan, Wiratmadinata, Reza Idria, Fozan Santa, Azhari, dan Agus Nur Amal dari Komunitas Tikar Pandan. Selain itu, juga Setsu Hanasaki yang banyak melakukan kolaborasi dengan teater di negara-negara Asia dalam menyelenggarakan lokakarya teater, Suzuki Kota yang aktif mengelola Forum Teater, dan Janet Pillai, pengajar di School of Art Universitas Sains Malaysia.

Menurut Setsu Hanasaki dari The Japan Foundation, teater dan pertunjukan yang ditampilkan ini hanya salah satu hasil lokakarya. Tujuan mendasarnya adalah memfasilitasi anak-anak untuk belajar bekerja sama, berbuat, dan menumbuhkan kesadaran untuk membangun Aceh di masa depan. 
(E1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar