Senin, 22 Agustus 2011

Kesewenangam Atas Nama Agama Memburuk di Bulan Ramadhan


www.antaraanews.com
Dewi Nova Wahyuni
Voice of Human Rights, 19 Agustus 2011 - 13:57 WIB 
Kaskus, 22 Agustus 2011, 03:04 PM
Prakarsa Rakyat, 22 Agustus 2011
Ka

Bagaimana sebuah kebijakan kota bisa begitu ‘mendukung’ warga berpuasa yang harusnya mampu mengendalikan diri dari situasi apapun, sementara mengabaikan hak dasar warga yang lain


17 Agustus 2011, Kota Serang turut merayakan kemerdekaan yang ke-66. Suasana perayaan ini memang cukup terasa, namun masih tertutupi olen nuansa Ramadhan yang gaungnya lebih kuat, terutama dari cara ibu kota Provinsi Banten ini ‘menghormati’ sebagian warga yang berpuasa. Tidak ada pedagang makanan yang dapat melayani pembeli untuk makan di tempat, semua hanya melayani ‘take away’, dari mulai penjual makanan multi-nasional seperti  Dunkin’  Donuts hingga rumah bakery lokal. Sementara warung nasi rakyat seperti warteg (warung tegal) memilih menutup rapat-rapat warungnya hingga pukul 3 sore.  Lalu bagaimana untuk kebutuhan warga yang tidak menjalankan puasa, seperti perempuan hamil, perempuan menyusui, anak-anak, warga usia lanjut, warga yang sedang dalam pemulihan kesehatan dan warga yang tidak menjalankan puasa karena keyakinannya? Bagaimana sebuah kebijakan kota bisa begitu ‘mendukung’ warga berpuasa yang harusnya mampu mengendalikan diri dari situasi apapun, sementara mengabaikan hak dasar warga yang lain?

Potret bulan Ramadhan serupa terjadi juga di kabupaten dan kota lain di Provinsi Banten. Berkaitan dengan bulan Ramadhan, pemerintah kota dan pemerintah kabupaten  mengeluarkan surat edaran yang bertujuan menciptakan suasana khusyuk di bulan puasa ini.   Antara lain,  di Kota Cilegon, Pemkot mengeluarkan Surat  Edaran No. 556.322/2039/Pol PP tentang Larangan Berjualan Hingga Pukul  16.00 WIB;  di Kota Tangerang, Pemkot mengeluarkan  Surat Edaran No. 556.1/1289-Porbudpar/2011 tentang Penutupan Sementara Usaha Jasa Hiburan Umum pada Hari Besar Keagamaan selama Tahun 2011.

Pembatasan penjualan makanan bukan satu-satunya upaya ‘mengkhusyukan’ bulan Ramadhan. Pemerintah juga melakukan pembatasan pada sektor hiburan dan hal lain yang mereka kategorikan sebagai ketertiban umum.  Tak jarang pengejewantahan ‘kebijakan Ramadhan’ itu membuka ruang kesewenangan atas nama agama yang mengorbankan warga yang penghidupannya bersumber pada jasa makanan, sektor hiburan, miskin kota yang mencari hidup di jalan, dan warga yang menjalankan praktek  hidup yang berbeda secara agama dan budaya. 

Sasarannya dari Penyedia Jasa Internet hingga Miskin Kota
Untuk mengejewantahkan surat edaran demi khusyukan Ramadhan tersebut, pemerintah menurunkan alat negara guna melakukan razia. Radar Banten, Sabtu (16/07), memberitakan bahwa Satpol PP Pemkab Lebak menyatakan perang kepada  warem (warung remang-remang) dan hotel. Satpol PP juga akan melakukan penutupan  pada keduanya selama bulan Ramadhan, sementara hukuman atas pelanggaran tersebut akan diperberat. Lima hari kemudian, surat kabar yang sama juga memberitakan, di Kota Tangerang Selatan, 64 pekerja seks di sejumlah tempat hiburan ditangkap Satpol PP. Sementara di Cilegon, razia penjual makanan menuai protes dari pedagang,  karena Satpol PP mencuri serta merusak penutup makanan dan menurunkan pendapatan mereka hingga 50 %, seperti diberitakan Radar Banten, Selasa (09/08). Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa Satpol PP sering melakukan tindakan di luar kewenangan yang mengakibatkan pelanggaran hak warga negara. Apakah negara pernah bertanggung jawab dan memberikan pemidanaan pada aparatnya tersebut? 

Pengesahan UU Pornografi yang menerobos ruang privat warga, rupanya juga menginspirasi pemerintah untuk melakukan pembatasan akses media di bulan Ramadhan yang mereka tafsirkan sebagai “porno”. Menjelang Ramadhan, Kominfo Dinas Perhubungan Pemkot Tangsel menutup situs porno di warnet melalui surat edaran kepada 225 warnet yang tersebar di 6 kecamatan. Pemkot juga meminta mereka hanya buka dari 08.00 – 20.00 WIB, karena diasumsikan pengguna internet setelah jam 20.00 WIB, akan mengkases situs porno. Peraturan ini tak hanya merendahkan daya kontrol warga yang sudah dewasa, tetapi juga memperpendek jam operasional warga untuk mengakses internet, terutama bagi warga yang belum mampu mengakses internet dari rumah atau media pribadinya. Kekeliruan lainnya, bahwa sebuah peraturan tidak boleh lahir dari asumsi.

Upaya penciptaan kekhusuan Ramadhan versi  negara ini, tak hanya menyulitkan warga yang mencari nafkah di sektor hiburan, jasa makanan dan internet, tetapi juga menyulitkan warga miskin kota.  Pada 19 Juli 2011, 15 miskin kota dan anak yang bekerja di jalan dirazia Satpol PP dan Dinas Sosial  Kota Serang. Razia ini dilakukan karena pemerintah menganggap kehadiran mereka menganganggu kekhusyukan bulan Ramadhan.  Pemkot Serang mereinterprestasi Perda No. 2/2010 tentang penanggulangan dan pencegahan penyakit masyarakat: pekerja seks, minuman keras, anak jalanan, gelandangan, pengemis, sebagai dasar tindakan razia demi kekhusuan bulan Ramadhan.

Mempertimbangkan substansi surat edaran dan peraturan lain terkait Ramadhan, yang memasuki ranah privat, perlu dilakukan peninjauan ulang dan konsultasi negara dengan  warga yang menjadi sasaran kebijakan tersebut, antara lain miskin kota dan pekerja seks. Jika tidak, kebijakan tersebut hanya menjadi peraturan yang bias kelas menengah dan abai memperhatikan penghidupan warga kelas bawah.

Para Pembonceng Surat Edaran
Apalagi kebijakan tersebut, kemudian dibonceng oleh ormas Islam, seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam) yang dalam cara mereka menafsirkan semakin tidak memperhatikan kebhinekaan bangsa Indonesia.

MUI Kota Cilegon pada 7 Agustus 2011 mendesak Pol PP menutup paksa rumah makan dan mengecam rumah  makan yang menjual daging babi dan anjing di saat muslim berpuasa. Rumah makan penjual daging babi dan anjing yang dimaksud adalah warung makan yang menyajikan menu tradisional Batak yang konsumennya juga dari komunitas Batak yang bukan muslim. Anjuran MUI kepada Satpol PP ini sungguh tidak menghormati tradisi Batak dan keyakinan di luar Islam. Bahkan di Provinsi Aceh yang diberi keistimewaan mengejewantahkan Qanun Syariat Islam, substansi dan pelaksanaan Qanun hanya berlaku bagi muslim.

Cara berpikir MUI ini juga mengabaikan geo-politis Provinsi Banten sebagai lalu lintas nasional terutama pulau Sumatera dan Jawa denga ragam budaya dan agama.  Di Serang, MUI Kota Serang juga terlibat dalam razia gabungan jelang Ramadhan bersama Polres Serang. Mereka melakukan razia Pekat (Penyakit masyarakat) meliputi  pekerja seks, minuman keras, dan kegiatan lain yang mengganggu ketertiban umum. Sementara itu, MUI Kota Tangsel pada 2 Agustus 2011 melibatkan 1000 pengurus masjid dan musholla untuk melakukan pengawasan terhadap rumah makan dan tempat hiburan dan mendesak agar Satpol PP berlaku tegas. Dalam hal ini, apakah MUI sudah melakukan konsultasi publik dan mendapatkan persetujuan publik untuk menggerakan 1000 warga mengawasi warga yang lain?

FPI (Front Pembela Islam) yang beberapa tahun ini semakin buruk dalam tindak kekerasan atas nama agama, meminta kepada Pemkab Tangerang dan aparat kepolisian untuk memberantas penyakit masyarakat jelang bulan suci ramdan. Seperti diberitakan Tangsel Pos, Selasa (12/7),FPI menilai Kab. Tangerang masih marak peredaran VCD Porno dan Miras (Minuman Keras).

Kesimpulan
Jika melihat  materi surat edaran terkait bulan Ramadhan, ada beberapa  materi yang rutin terkait pembatasan penjualan makanan dan pengaturan hiburan malam, pekerja seks dan minuman keras. Di tingkat materi peraturan masih diperdebatkan, misalnya bahwa peraturan serupa memperburuk kriminalisasi terhadap perempuan pekerja seks.

Kedua adopsi dari peraturan yang lebih tinggi misalnya UU Anti-Pornografi, sebagaimana tercantum dalam surat edaran Kominfo Dinas Perhubungan Pemkot Tangsel kepada 225 warnet untuk menutup situs porno dan membatasi operasional warnet dari 08.00 – 20.00 WIB selama Ramadhan. UU yang pada proses pengesahannya penuh perdebatan tersebut, terbukti memberi dampak buruk melalui turunan-turunan peraturannya. 


Materi peraturan tahun ini juga meluas dengan dua cara. Pertama reinterprestasi Pemkot Serang terhadap Perda No. 2/2010 tentang penanggulangan dan pencegahan penyakit masyarakat: pekerja seks, minuman keras, anak jalanan, gelandangan, pengemis, yang makna ketertiban umumnya diperluas menjadi termasuk kekhusuan bulan Ramadhan. Dengan reinterprestasi tersebut sweeping kepada miskin kota menjadi semakin masif di bulan Ramadhan. 

Kedua kelompok miskin kota yang mencari nafkah di jalan dan dengan demikian dianggap mengganggu ketertiban umum. Yang mengejutkan alih-alih memikirkan perubahan sistem untuk kaum dhuafa, di bulan Ramadhan ini, malah terjadi perluasan reinterprestasi bahwa yang termasuk ketertiban umum juga adalah kekhusuan bulan Ramadhan, akibatnya razia terhadap miskin kota menjadi lebih buruk di bulan Ramadhan. 


Dari aspek warga yang disasar oleh peraturan-peraturan tersebut kita dapat memetakan pada beberapa kelompok warga:  Pertama para pekerja sektor hiburan, terutama perempuan pekerja seks yang tanpa bulan Ramadhan pun, mereka telah menjadi sasaran peraturan mengenai ketertiban umum. Mereka kelompok warga yang paling rentan didiskriminasikan dan mengalami kekerasan pada proses razia Satpol PP, akibat diskriminasi gender, kelas sosial, dan jenis pekerjaan yang mereka tempuh.  Dalam hal ini pemerintah dan ormas Islam seperti MUI dan FPI, lebih berkonsentrasi pada  memikirkan pembersihan kemaksiatan dari pada mencari jalan untuk penanganan diskriminasi dan kemiskinan yang melahirkan kelas perempuan pekerja seks.  

Seandainya orang-orang yang menjalankan ibadah puasa menyadari bahwa kemiskinan tidak ada yang alami, bahwa miskin kota produk kebijakan pembangunan yang tidak mendukung penghidupan di desa dan pedagang kecil, akankah mereka ‘cukup beriman’ membiarkan reinterprestasi itu terjadi?  Ketiga adalah warga masyarakat yang minoritas baik secara agama maupun kebudayaan, sebagaimana razia yang dihadapi warung nasi Batak yang menjual  daging babi dan anjing.

Sedangkan dilihat dari ormas yang membonceng kebijakan ini adalah mereka yang beberapa tahun terakhir ini cenderung memaksakan penafsiran berislam  tanpa menghitung kebhinekaan warga dalam NKRI. Antara lain MUI (Majelis Ulama Indonesia) melalui fatwanya baik sebelum maupun sesudah penyerangan Ahmadiyah, menutup ruang dialog terkait Islam yang sesat dan boleh hidup di Indonesia. FPI (Front Pembela Islam) sudah memiliki daftar panjang sebagai pelaku kekerasan terhadap berbagai penyerangan kepada warga lain yang tidak islami menurut mereka.

Mempertimbangkan situasi tersebut, sudah saatnya umat Islam di Indonesia yang juga terbesar di dunia untuk terus awas terhadap berbagai kebijakan negara dan tindakan ormas atas nama Islam. Adalah tidak tawaduh, kita membiarkan negara turut mempermudah kita agar tidak tergoda makanan dan hiburan di waktu Ramadhan sambil membiarkan warga lain yang sebangsa lebih menderita demi kekhusuan puasa kita. Juga tidak terus memelihara penafsiran tunggal berislam oleh MUI dan pendekatan kekerasan oleh FPI hanya karena kedua ormas tersebut mengatasnamakan Islam.

Negara dalam hal ini pemerintah Provinsi Banten beserta jajarannya di tingkat pemerintah kota dan kabupaten, mesti mengkonsultasikan setiap peraturan yang akan mereka berlakukan terutama dengan warga yang akan menjadi sasaran peraturan tersebut. Bangsa ini tidak homogen hanya muslim saja, atau kelas beruntung yang punya pilihan untuk mencari hidup pada sektor yang oleh negara tidak dianggap kriminal atau maksiat dalam bahasa MUI dan FPI.  Apalagi di tingkat pelaksanaan negara tidak memantau dan menghukum jika para pelaksana seperti Sat Pol PP melakukan tindakan di luar kewenangan yang mengakibatkan kekerasan pada warga yang disasar peraturan tersebut.(E3)